Hari ini salah seorang kru Mojok memutuskan untuk menyepi di pantai. Ia habis mendengar kabar bahwa seseorang yang pernah ia cintai di masa lalu akan menikah dalam waktu dekat. Perkara ditinggal nikah saja bisa bikin orang melakukan hal-hal dramatis. Tapi, ya itu dia, yang dramatis itu sebenernya yang paling hakiki, murni dan jujur. Perasaan kok, bukan janji politik, apalagi Nawacita.
Kru Mojok ini datang ke pantai sendiri, subuh-subuh, berdiri di tepi tebing, melihat ke horizon yang masih dilingkupi gelap. Lha piye ndak gelap, pukul empat pagi kok. Dia mendengar suara debur ombak di laut yang hitam dan menyadari bahwa dirinya tidak signifikan, sepele, semenjana, dan tak penting. Pelan-pelan ia menangis.
Lha, kok cowok nangis? Jadi gini, Bro, cowok itu harus kuat, nggak boleh nangis. Kalau nangis, maka ia lemah, kalau ia lemah, maka ia cewek, bukan cowok. Nah, ini merepotkan. Seolah kalau kamu laki-laki, butuh bantuan, kamu mesti menahan perasaanmu sendiri, harus macho, harus jadi jagoan, dan mesti selalu kuat. Dikira setiap manusia ini kayak leher Mike Tyson apa ya, terbuat dari beton.
Sesungguhnya lebih mudah berlagak kuat ketimbang menjadi kuat itu sendiri. Mereka yang menyimpan perasaan lukanya sendiri kerap kali tak sadar bahwa ia sedang menabung duka, memelihara kebencian, dan mendendam pada diri sendiri. Kamu tahu apa hasilnya? Gangguan kesehatan jiwa seperti depresi. Dan depresi itu membunuh. Itu mengapa setiap 10 Oktober hari kesehatan jiwa sedunia diperingati.
WHO menyebut saat ini ada 350 juta orang yang mengalami depresi, ringan maupun berat. Depresi dan gangguan kesehatan jiwa bisa datang dari mana saja: beban kerja yang berat, tuntutan kuliah yang nggak masuk akal, gagal nyaleg, bikin video editan, apa pun. Masih ingat Aris Wahyudi si pembuat Nikahsirri.com? Atau Dik Amp yang kemarin curhat di Mojok?
Depresi menjadi semakin mengerikan ketika orang-orang menganggap kondisi kesehatan jiwa macam ini adalah tanda kelemahan. Seseorang dengan jemawa bisa berkelakar, “Halah, ditinggal mantan nikah aja sampai mau mati”, “Yaelah, beban kuliah berat aja depresi”, “Ebuset, gubenurnya nggak seagama saja udah histeris.”
Omongan macam ini adalah racun. Kita nggak pernah tahu kondisi kejiwaan orang lain, masalah mereka, kondisi yang mereka lalui, dan juga beban yang mereka rasakan. Setiap orang semestinya berhak mendapatkan kesempatan untuk dilindungi, diayomi, dan dihormati haknya untuk memilih terapi kesehatan mental.
Into The Light pernah membuat panduan apa yang harus dilakukan saat seorang yang kamu kenal memiliki kencenderungan depresi dan hendak bunuh diri. Misalnya, menahan asumsi diri terhadap orang yang menderita depresi. Jangan pernah lemparkan asumsi-asumsi seperti itu di saat orang hendak bercerita/curhat kepada Anda. Biarkan ia berbicara lebih dahulu, dan kita menjadi pendengar yang baik. Jangan sok tahu dan sok heroik memberikan nasihat jika Anda bukan tenaga medis profesional.
Hal lain yang bisa kita lakukan adalah tidak meremehkan niat bunuh diri dari orang yang depresi. Mereka pasti merasa dalam kondisi tidak ingin dilahirkan, merasa terperangkap, merasa tidak ada masa depan, atau hendak tidur selamanya. Alih-alih menganggap lemah mereka dan merasa diri superior, seseorang baiknya peduli, mau mendengar keresahan mereka. Jika orang itu hendak bercerita dengan identitas tersembunyi, jangan sebarkan identitasnya meskipun Anda tahu. Semudah dan sesederhana itu untuk menunjukkan kepedulian kepada orang lain.
Terus bagaimana kru Mojok yang di tepi pantai itu? Sampai tulisan ini dikerjakan, orang itu masih tidur, ngorok, dan kentut tak terkendali.