MOJOK.CO – Jenderal Sudirman terpilih menjadi adalah Panglima TNI termuda. Pengalamannya di palagan besar juga menunjukkan mantan guru SD Muhammadiyah di Cilacap ini juga layak disebut sebagai gurunya tentara.
Lewat sebuah rapat akbar yang dilakukan Tentara Keamanan Rakyat pada 12 November 1945, terpilihlah Sudirman sebagai pemimpin TKR, cikal bakal TNI. Lokasi rapat akbar pertama TKR berlangsung di markasnya yang saat itu berada di sisi timur perempatan Gramedia Sudirman atau yang saat ini menjadi Museum TNI Angkatan Darat.
Dalam pemilihan, Sudirman mengalahkan Oerip Soemohardjo yang lebih senior lewat pemungutan suara ketat. Dua kali pemungutan suara, hasilnya imbang. Pada pemungutan terakhir, Sudirman mendapatkan 22 suara sedang Oerip mendapatkan 21 suara. Sudirman baru berusia 29 tahun saat terpilih sebagai pemimpin TKR.
Muhiddin M Dahlan dalam Jas Merah YouTube Mojok mengatakan, kemungkinan Oerip tidak terpilih menjadi pemimpin TKR karena perwira-perwira muda mempersoalkan latar belakangnya sebagai bekas tentara KNIL atau tentara Hindia Belanda. “Sementara revolusi sedang mendelete semua yang berbau kolonial,” kata Muhiddin M Dahlan.
Menurut Muhiddin M Dahlan, sosok Sudirman yang menjadi Panglima TKR juga layak disebut sebagai gurunya tentara. Bukan sosok Oerip Soemohardjo atau AH Nasution yang menulis buku tentang Pokok-Pokok Gerilya, atau Soeharto. “Sudirman adalah guru bangsa, gurunya tentara,” kata Muhiddin.
Setidaknya ada dua alasan, mengapa Sudirman layak disebut sebagai gurunya tentara. Pertama, usai Jepang menyerah kepada sekutu, Sudirman mampu meyakinkan pasukan Jepang untuk menyerahkan persenjataannya kepada tentara republik. “Tanpa pertumpahan darah, senjata dan mesiu dari Jepang itu kemudian didistribusikan kepada tentara republik di daerah lain,” kata Muhiddin Dahlan.
Prestasi ini menyebar di kalangan militer, dari donasi itu muncul kesan, ini Sudirman bukan tentara kaleng-kaleng.
Alasan kedua mengapa Jenderal Sudirman layak disebut sebagai gurunya tentara, karena Sudirman benar-benar menjadi seorang guru. Ilmu kemiliterannya pertama kali ia kenal saat aktif di Hizbul Wathan, gerakan kepanduan milik Muhammadiyah. Sudirman juga menjadi guru di HIS Muhammadiyah atau setingkat sekolah dasar (SD).
“Ketika sekolah itu dilikuidasi Belanda, Sudirman bikin koperasi dagang rakyat di Cilacap yang namanya Perkoperasian Bangsa Indonesia. Sukses dengan Perbi, Sudirman membuat Persatuan Koperasi Indonesia Wikaya Kusuma,” kata Muhiddin. Bukan itu, saja Sudirman mendirikan Badan Pengurus Pangan Rakyat, untuk menjamin penduduk di Cilacap tidak kelaparan. Di sela-sela itu, ia tetap mengajar menjadi guru dakwah.
“Artinya pemimpin tertinggi tentara kita ini berasal dari rahim guru, maka nggak salah Sudirman disebut gurunya para tentara. Bukan Urip Sumoharjo, bukan AH Nasution, bukan Soeharto melainkan Sudirman,” kata Muhiddin.
Menurut Muhiddin, portofolio Sudirman dalam kemiliteran terpahat dalam dua palagan besar selama menjadi Panglima TKR, yaitu Palagan Ambarawa dan saat melakukan perang gerilya. Palagan Ambarawa adalah pertempuran 4 hari 4 malam dari 12 Desember hingga 15 Desember 1945. Sudirman yang sekaligus Panglima TKR menggunakan taktik perang yang pernah dipakai oleh Diponegoro namanya taktik supit udang.
“Maka hari kemenangan 15 Desember 1945 di Ambarawa itu kemudian dijadikan sebagai Hari Jadi TNI Angkatan atau Hari Juang Kartika,” kata Muhiddin.
Gelanggang besar kedua bagi Jenderal Sudirman saat menjadi Panglima Besar, adalah perang gerilya dilakukan usai Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948. Panglima Besar Sudirman melakukan gerilya di wilayah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur hingga kemudian Belanda menarik pasukannya setelah perjanjian Roem-Royen yang berlangsung 7 Mei 1949.
Bagi Sudirman, perang gerilya adalah siasat bagaimana menjaga benteng pertahanan wilayah paling akhir di wilayah republik. Pemerintah boleh rontok tapi tentaranya masih ada dan eksis. Pilihan Sudirman itulah yang kemudian menjadi energi dan modal bagi pejuang lain di meja tempur yang lain, di meja perundingan bahwa Indonesia masih ada, walaupun pejabat-pejabat elitnya berada dalam pembuangan.
“Kombinasi semua portofolio Jenderal Sudirman itu yang kemudian membuat dirinya layak menjadi guru tentara. Tentu saja Ini adalah guru dalam pengertian sebenar-benarnya pengertian yang denotatif,” kata Muhiddin.
Sebagai guru, Panglima Besar Jenderal Sudirman berpesan dalam sebuah acara di pelataran Candi Borobudur yang ungkapannya bisa Anda baca kembali di Museum Sasmita Loka. “Kira-kira kata-katanya begini, ‘anak-anakku tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, melainkan tentara yang berideologi yang sanggup berjuang menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu’,” kata Muhiddin Dahlan.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Kisah lengkap tentang Sudirman bisa disaksikan di Jas Merah YouTube Mojok berikut ini