MOJOK.CO – Soal aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat, Jokowi mengajak mereka untuk bersikap memaafkan dan bersabar.
Senin (19/08) sejumlah massa melakukan aksi unjuk rasa di Manokwari, Jayapura, dan Kota Sorong. Aksi tersebut adalah bentuk protes dari pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Beberapa fasilitas umum dibakar dan dirusak. Di Manokwari, massa juga merusak Kantor DPRD. Sementara di Kota Sorong, massa juga sempat merusak Bandara Domine Eduard Osok (DEO).
Mengenai hal ini, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa ada hal yang membuat masyarakat Papua tersinggung. Akan tetapi, ia mengajak masyarakat Papua dapat bersikap memaafkan dan bersabar. Serta untuk tenang dan tidak meluapkan emosi berlebihan.
“Jadi, Saudara-saudaraku. Pakce mace, mama-mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan. Oleh sebab itu sebagai saudara sebangsa setanah air, yang paling baik memaafkan. Emosi itu boleh tapi memaafkan itu lebih baik. Sabar itu juga lebih baik,” Ungkap Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (19/08).
Selain itu, Jokowi juga meminta masyarakat Papua percaya pada Pemerintah. “Yakinlah pemerintah menjaga kehormatan dan kesejahteraan pakce mace, mama-mama yang ada di Papua dan Papua Barat.”
Akan tetapi, saat ditanya terkait proses hukum terhadap pihak-pihak yang telah memicu kemarahan masyarakat Papua, Jokowi enggan berkomentar lebih jauh. Jokowi hanya menjawab singkat, “Ya, cukup.”
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo mengungkapkan, “Mereka boleh dikatakan cukup terprovokasi dengan konten yang disebarkan oleh akun di medsos terkait peristiwa di Surabaya.”
Pasalnya, menurut Dedi, konten di media sosial tersebut tersebar di antara warga Papua. Ia mengklaim bahwa hal ini telah membangun opini masyarakat di Papua bahwa penangkapan yang terjadi di Malang dan Surabaya adalah bentuk diskriminasi.
Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid menilai justru penangkapan puluhan mahasiswa Papua di Surabaya memperlihatkan aparat negara dan kelompok non-negara melakukan tindakan diskriminatif bernuansa rasial.
“Polisi pun membiarkan lontaran kata-kata bernada penghinaan rasial seperti menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi. Seharusnya kepolisian mencegah tindakan persekusi yang dilakukan oleh massa dan menindak tegas pelaku,” ujar Usman.
Kasus ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan penegak hukum. Kerusuhan yang terjadi di Papua tentu terjadi bukan tanpa sebab. Tampaknya tidak hanya masyarakat Papua saja yang diminta bersabar, rakyat lain juga dibuat bersabar menunggu solusi tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini. (A/L)