MOJOK.CO – Mestinya kabar ini tidak mengejutkan. Secara resmi iuran JKN-KIS yang dikelola BPJS Kesehatan naik 100% dengan keluarnya Perpres 75/2019.
Besar kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS, nama program yang dikelola BPJS Kesehatan) bervariasi tergantung kategori kepesertaan. Ada tiga kategori kepesertaan JKN-KIS, yakni: (1) Penerima Bantuan Iuran, PBI; (2) Peserta Penerima Upah, PPU; dan (3) Peserta Bukan Penerima Upah, PBPU).
Besaran kenaikan masing-masing kategori tersebut adalah sebagai berikut:
PBI (disubsidi pemerintah daerah) naik dari 23 ribu jadi 42 ribu. Kenaikan berlaku per 1 Agustus 2019.
Iuran JKN-KIS PPU sebesar 5% dari gaji atau upah, plus tunjangan. Batas maksimal gaji/upah + tunjangan yang dikenai persentase adalah Rp12 juta, naik dari semula Rp8 juta. Sebanyak 4% dari iuran dibayarkan pemberi pekerjaan, sisa 1% dibayar oleh pekerja. Kenaikan berlaku per 1 Januari 2020.
Kenaikan iuran JKN-KIS PBPU naik per 1 Januari 2020 juga dengan rincian:
Kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu
Kelas II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu.
Kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu
Perpres 75/2019 diundangkan pada 24 Oktober 2019.
Kenaikan ini tidak tiba-tiba karena didahului dengan gonjang-ganjing kondisi keuangan BPJS yang tiap tahun selalu defisit. Puncaknya, tahun ini BPJS Kesehatan diprediksi defisit Rp32,84 triliun. Defisit BPJS Kesehatan sempat membuat Menteri Keuangan periode sebelumnya yang sama aja dengan Menteri Keuangan sekarang, Sri Mulyani, marah-marah saat berapat dengan BPJS Kesehatan dan DPR RI beberapa bulan lalu.
Sri Mulyani sebal sekali, BPJS yang punya utang ke rumah sakit, BPJS yang pesertanya pada nunggak, tapi mereka mau enaknya aja dengan terus menadah tangan minta ditalangi defisitnya oleh Kementerian Keuangan. Padahal kita semua tahu, Kementerian Keuangan cuma bendahara keuangan negara, bukan tukang cetak uang. Tukang cetak uang kan Perum Peruri. Oh nggak lucu ya. Skip.
Kenaikan ekstrem, apalagi sampai 100 persen, sudah pasti dong mengundang pro-kontra masyarakat. Terutama buat peserta bukan penerima upah (PBPU). Bayangkan saja, jika satu rumah ada 5 orang PBPU dan yang bekerja cuma 1, itu pun gajinya UMR, semisal dia ambil kelas III saja itu artinya Rp42 ribu x 5 = Rp210 ribu per bulan. Tentu berat.
Namun, pihak yang pro mengajukan solusi agar kenaikan iuran ini tidak memberatkan. Misalnya, dengan turun kelas. Atau kalau sudah mentok, mengajukan diri menjadi peserta PBI yang dibayari oleh pemda. Apalagi kalau ingat ada banyak orang yang merasakan manfaat luar biasa asuransi kesehatan dari negara ini. Apabila dulu orang sakit bisa menyebabkan kebangkrutan dalam keluarga, BPJS Kesehatan meminimalisir kemungkinan itu.
Selain kenaikan iuran, Kementerian Keuangan menekan BPJS Kesehatan untuk makin keras pada peserta nakal yang suka nunggak atau bayar pas ada maunya aja. Sebab, ada data, misalnya, 64,7% ibu hamil yang melahirkan pakai BPJS, mereka baru bikin BPJS Kesehatan satu bulan sebelum melahirkan. Tipikal orang Indonesia, mau enaknya aja.
Dan tidak cuma itu, 43,2% dari ibu yang melahirkan pakai BPJS tadi langsung berhenti bayar iuran sebulan setelah melahirkan. Bagooos.
BPJS Kesehatan memang punya sejumlah masalah, misalnya pelayanan rumah sakit yang diskriminatif, kalau peserta BPJS aja, pelayanannya seadanya. Tapi perilaku tidak taat hukum seperti itu mestinya dilaporkan ke BPJS, bisa lewat aplikasi, petugas BPJS di faskes, kantor cabang BPJS, atau lewat telepon ke 1500400. Artinya, itu semua bukan alasan untuk nunggak.
“Sedang tidak sakit/butuh perawatan” juga bukan alasan nunggak. Karena konsep BPJS adalah subsidi silang. Iuran dari yang sehat menalangi biaya yang dikeluarkan peserta yang sakit.
Per 1 Agustus 2019, ada 223,34 juta orang yang sudah menjadi peserta JKN-KIS. Dari angka itu, 43%-nya adalah peserta PBI yang jumlahnya 96,5 juta jiwa.
Kini, selain menaikkan iuran, pemerintah juga makin keras memaksa peserta rajin bayar iuran. Misal, dengan menjadikan kepatuhan bayar BPJS sebagai syarat ngurus paspor, SIM, STNK, sampai IMB. Kabarnya juga akan ada penagih yang datang ke rumah jika peserta nunggak.
Selain itu, jika peserta habis makai layanan kesehatan BPJS terus dia nunggak, ada ancaman denda maksimal Rp30 juta yang menghantui. besarnya 2,5% dari ongkos rumah sakit plus ongkos itu sendiri. Rp30 juta adalah batas maksimal dendanya. Tapi ancaman yang satu ini belum dibuat dasar hukumnya, baru sekadar wacana, walau kalau kejadian, mengerikan juga.
Ngomong-ngomong, sejak Askes berubah nama jadi BPJS Kesehatan pada 2014, direktur utamanya belum pernah ganti, masih dr. Fahmi Idris aja. Pada Desember 2015 dia memang pernah dicopot, tapi dilantik lagi jadi dirut pada Februari 2016. Dan jangan sampai tertukar, dr. Fahmi Idris Dirut BPJS Kesehatan tidak sama dengan Fahmi Idris politis Golkar yang bapaknya Fahira Idris itu.
(prm)
BACA JUGA Melihat BPJS Kesehatan dari Logika Kesehatan, Bukan Logika Untung-Rugi atau kabar terbaru di rubrik KILAS lainnya.