MOJOK.CO – 10 karung sampah pakaian dalam yang kebanyakan milik perempuan dibersihkan di Situs Nagara Padang, Kacamatan Ciwidey, Bandung. Belakangan diketahui bahwa ritual buang sial yang dilakukan sejumlah pengunjung situs tersebut adalah penyebabnya.
Para pengunjung percaya, membuang pakaian dalam setelah mandi di mata air dekat situs tersebut, merupakan cara untuk buang sial. Sayangnya, ritual ini banyak dikecam karena selain dianggap hanya mengotori Situs Nagara Padang dengan sampah, tradisi ini juga dianggap keliru.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, misalnya, menganggap para pengunjung telah salah mengartikan ritual ini. Menurut Sekretaris MUI Jabar Rafani Akhyar, tradisi buang pakaian dalam adalah salah kaprah, terlebih itu dilakukan saat peringatan Maulid Nabi.
“Mereka salah memaknai esensi Maulid Nabi. Harus diberi pemahaman oleh ustaz, kyai, yang ada di sana,” ungkap Rafani, seperti dikutip Detik.
“Peringatan [Maulid Nabi] seperti itu salah. Itu malah mengotori lingkungan, malah menimbulkan penyakit juga,” sambungnya.
Pihak kepolisian, yang dibantu sejumlah elemen masyarakat, telah membersihkan tumpukan pakaian dalam perempuan berupa bra dan CD. Bahkan, mereka secara tegas juga telah melarang segala bentuk aktivitas yang berpotensi mengotori Situs Nagara Padang, termasuk tradisi membuang pakaian dalam.
“Kami telah melarang tindakan membuang pakaian bekas ataupun sampah di sekitaran Situs Budaya Nagara Padang, Desa Rawabogo, Kecamatan Ciwidey,” jelas Kapolresta Bandung, Kombes Pol Kusworo Wibowo.
Dalam budaya tradisional, tradisi buang sial memang menjadi sesuatu yang lumrah. Di banyak daerah di Indonesia, tradisi ini banyak ditemui dengan bentuk dan istilah yang berbeda-beda.
Misalnya, di masyarakat Jawa terdapat tradisi ruwatan yang dilakukan untuk menolak bala. Adapun, bagi mayoritas penduduk suku Anak Dalam Jambi, buang sial dilakukan dengan cara meninggalkan tempat tinggal mereka sejauh mungkin dalam tradisi Melangun.
Kendati demikian, untuk tradisi buang sial di Situs Nagara Padang, sebuah studi justru menunjukkan bahwa ada mispersepsi atau kekeliruan masyarakat dalam memaknai ritual ini. Budayawan sekaligus penulis buku Cerita Rakyat Karawang Asep Ruhyani Sundapura mengatakan, sebenarnya di Situs Nagara Padang ada banyak hal yang dilarang, termasuk mengotori lokasi tersebut.
“Tidak boleh mengotori. Ketika ingin naik [ke Situs Nagara Padang] kita hanya diperkenankan mengambil air untuk sembahyang. Untuk bicara yang kotor saja dilarang,” katanya, sebagaimana dikutip Arifudin dkk. dalam penelitiannya di Jurnal Prima.
Asep juga mempertanyakan, sejak kapan tradisi ini bermula. Hal ini karena curug-curug di situs tersebut, yakni Cigentis dan Kejayaan, sejak awal memang tidak digunakan untuk ritual buang sial. Bahkan, masyarakat setempat pun tidak pernah mengenal tradisi itu.
“Pengunjung yang salah persepsi melakukan ritual buang sial di sana. Lantas ini diikuti yang lain dan mungkin dibiarkan saja oleh warga setempat selama itu tidak menggangu mereka,” duga Asep.
Situs tersebut, lanjut Asep, hanyalah lokasi wisata ziarah saja. Di sana, juga terdapat kuncen-kuncen yang akan mengarahkan tentang apa yang boleh dan dilarang. Setelah berziarah, ritual yang diperbolehkan hanya mandi di curug-curug di situs tersebut.
“Masyarakat memerlukan lambang untuk melengkapi ritualnya. Buang pakaian dalam pun dianggap sebagai buang sial,” lanjutnya.
Akhirnya, karena dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan dianggap sakral, tradisi membuang pakaian dalam di sana pun terus berlanjut. Bahkan hingga hari ini.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi