MOJOK.CO – Dua alumni UGM, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan sama-sama menyatakan, siap menjadi calon presiden (capres) dalam Pemilu 2024. Dua-duanya punya modal yang kuat.
Setidaknya ada dua nama yang selalu muncul di tiga besar berbagai survei untuk capres Indonesia 2024. Dua di antaranya: Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Ada satu lagi, yaitu Prabowo Subianto. Namun, di tulisan kali ini, kita hanya mencoba memindai bagaimana peta pertarungan antara Anies dan Ganjar. Tentu dengan catatan, keduanya belum tentu bisa maju sebagai capres. Namun, kita andaikan saja mereka maju dan head to head.
Sekitar dua pekan lalu, atau 3 Oktober 2022, Partai Nasdem, menyatakan mengusung Anies Baswedan sebagai capres partainya dalam kontestasi Pemilu 2024. Pinangan itu diterima oleh Anies dengan kesediaannya siap untuk menjadi capres.
Dua pekan kemudian, Selasa 18 Oktober 2022, dalam tayangan YouTube Beritasatu, Ganjar menyatakan siap jika dirinya dideklarasikan sebagai capres dalam Pemilu 2024. Ini adalah pernyataan resmi Ganjar untuk pertama kalinya setelah sekian lama menghindar ketika ditanya kesiapan menjadi capres.
Anies dan Ganjar, sama-sama lulusan UGM. Ganjar Pranowo masuk Fakultas Hukum UGM tahun 1987 dan lulus tahun 1995. Anies, masuk di Fakultas Ekonomi UGM tahun 1989 dan lulus pada tahun yang sama dengan Ganjar.
Keduanya sejak mahasiswa sudah aktif di gerakan mahasiswa. Anies aktif di HMI dan Ganjar aktif di GMNI. Artinya, passion politik dan rekam jejak politik keduanya sudah sangat panjang yakni semenjak mereka masih mahasiswa.Â
Namun, Anies kemudian melanjutkan studi ke luar negeri hingga mendapatkan gelar PhD. Sementara Ganjar langsung aktif di PDIP. Di sini, dari sisi akademis, Anies mendapatkan nilai positif. Di sisi lain, jika mengangkut pengalaman berpolitik, jelas Ganjar punya nilai lebih karena sudah ada dalam lingkungan kompetisi politik yang lebih ketat.Â
Anies kemudian menjadi Gubernur DKI satu periode, dan Ganjar setelah sempat menjadi anggota DPR, lalu terpilih berturut-turut sebagai Gubernur Jawa Tengah selama dua periode. Dari durasi kepemimpinan, Ganjar tentu lebih unggul karena menjadi gubernur selama dua periode. Sementara Anies baru satu periode.
Karakter wilayah yang mereka pimpin pun berbeda. Anies memimpin Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI) yang menjadi pusat ekonomi dan politik, dengan karakter penduduknya yang lebih kosmopolit. Problem yang dihadapi juga problem yang punya keunikan tersendiri sebagai sebuah kota terbesar di Indonesia. Sementara Ganjar memimpin daerah Jateng, yang boleh dibilang agraris dan juga maritim, karena selain memang salah satu lumbung pertanian penting, Jateng juga punya garis pantai yang cukup panjang. Serta memiliki jumlah nelayan yang cukup banyak, terutama di daerah Pantura.
Dari beberapa hal di atas, maka kita bisa mencoba melihat bahwa dalam isu soal manusia urban, problem kota kosmopolit, dan hubungan internasional yang terkait dengan portofolio akademik, Anies tentu lebih unggul. Itu artinya, ketika Anies bicara untuk kelas menengah dan kelas terdidik, serta teknokrat, akan lebih mudah.Â
Sementara Ganjar lebih mudah bicara dengan masyarakat langsung dengan problem yang mereka hadapi, baik sebagai petani maupun sebagai nelayan, dan profesi ‘wong cilik’ lain.Â
Hal itu bisa dilihat dengan gaya bahasa keduanya. Anies penuh dengan narasi yang konseptual, dan disampaikan dengan runtut, komprehensif, dan teoritis, yang mana itu sangat penting untuk memberi gambaran tentang visi serta gagasan yang hendak dia sampaikan.
Sementara Ganjar lebih membumi. Dia dengan mudah ‘menurunkan’ tensi obrolan yang rumit menjadi bahasa yang mudah dimengerti masyarakat biasa. Dia bisa dengan rileks bicara kepada ibu-ibu pedagang pasar, dengan tukang becak, seniman tradisional, dll.Â
Dalam beberapa hal, tentu itu akan membedakan satu sama lain terkait menghadapi isu tertentu. Misalnya saja soal isu rokok. Keduanya bukan perokok. Tapi Anies punya kecenderungan kuat untuk menjadi seseorang yang anti-rokok.Â
Sementara Ganjar berada di posisi yang berseberangan. Sebab di Jawa tengah, setidaknya ada lebih dari 10 kabupaten dengan penghasil tembakau terbesar, dan dua kota industri hasil tembakau. Isu juga menjadi modal yang sangat penting bagi Ganjar karena misalnya di Jawa Timur, terdapat lebih dari 15 kabupaten penghasil tembakau yang cukup besar, dan ada tiga kota besar industri rokok.Â
Perkara rokok atau Industri Hasil Tembakau (IHT) ini, juga bakal makin menjadi modal kuat bagi Ganjar jika kita telisik lebih dalam lagi. Sebab salah satu komponen Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah cengkeh. Cengkeh ini selain komoditas yang cukup mahal harganya, daerah persebarannya pun lebih luas dibanding tembakau. Kalau tembakau, kira-kira hanya ada 14 provinsi yang menanamnya (tentu paling besar di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan Jawa Barat).Â
Namun, untuk cengkeh, lebih dari 25 provinsi yang menghasilkan cengkeh, terutama tentu saja di daerah Maluku, Maluku Utara, dan hampir semua provinsi di Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan di beberapa provinsi di Sumatra. Besar sekali jumlahnya.
Anies mungkin akan mudah mendapatkan suara bagi warga milenial dan pemilih pemula, tapi Ganjar dengan mudah akan mengantongi suara dari sisi sektoral terutama sektor pertanian. Sebab selain IHT tentu Ganjar lebih fasih bicara soal pertanian hortikultura, peternakan, dan perikanan darat.Â
Namun, bukan berarti Anies tidak bisa merebut sektor itu dari Ganjar, pun sebaliknya kalau dilihat dari media sosial Ganjar, sangat mungkin perluasan suaranya untuk generasi milenial baik pemilih muda maupun pemilih pemula.Â
Anies tentu akan lebih mudah memukau jika berorasi di depan ribuan mahasiswa, tapi Ganjar lebih mudah bicara dengan para petani dan nelayan dengan gaya komunikasi dia yang lebih renyah dan paham persoalan.Â
Tentu pertarungan head to head Anies versus Ganjar akan seru. Itu baik buat politik kita. Asal tidak dibumbui dengan isu SARA dan kampanye hitam. Namun, jika menilik apa yang sudah terjadi bahkan sebelum jelas keduanya berhadapan, rasanya polarisasi politik tetap terjadi. Hal itu sudah terlihat di dunia media sosial, di mana pendukung antar-dua kubu yang belum tentu dapat tiket itu, sudah saling serang dan sudah saling menjelekkan satu sama lain.Â
Sebaiknya, mereka berdua meredam para pendukung mereka. Sebab ini baru babak awal. Jangan sampai jika mereka benar-benar berhadapan, pertarungan itu makin meruncing, dan apa yang sama-sama kita inginkan dengan jargon ‘politik tanpa pembelahan di masyarakat’, bisa benar-benar terjadi. Apalagi kita sedang menghadapi situasi ekonomi global yang tidak menentu.
Jangan sampai pemilu makin membuat runyam segalanya.
Penulis: Agung Purwandono