MOJOK.CO – Pasar Ikan Giwangan, atau Jogja Fish Market (JFM), digadang-gadang bakal menjadi tempat jual beli hasil laut terbesar di Jogja. Sayangnya, kini sepi, sempat tak beroperasi, hingga akhirnya mati dan beralihfungsi.
Pasar Ikan Giwangan terletak di Jalan Tegalturi, Giwangan, Umbulharjo. Bangunan berwarna biru laut ini memang masih kokoh berdiri. Gedungnya pun juga masih tampak terawat. Namun, tak ada lagi keramaian maupun kegiatan yang merepresentasikan namanya sebagai “pasar”.
“Sempat beberapa kali lewat sana, tapi ya sepi-sepi aja, bau amis aja enggak,” kata Alam (21), pria asal Bantul yang memang kerap melewati pasar ikan ini.
“Malah tak kira tuh ini kantor dinas yang ada hubungannya sama perairan, soalnya gedungnya warna biru,” terang mahasiswa jurusan Administrasi Publik UNY ini.
Tak cuma pasarnya yang sepi. Bahkan, kios usaha terakhir yang berada di pasar ini, yakni Doeloe PIH Resto juga harus gulung tikar karena merugi.
Alhasil, pasar ini benar-benar mati dan bangunanannya kerap disewakan untuk acara-acara besar seperti resepsi pernikahan. Kalau tidak dipakai acara, pasar ini malah kalah ramai dengan warung-warung dan angkringan yang berada di sekitarnya.
Inisiatif awalnya sudah bagus
Ketika pertama kali diresmikan pada 2005 lalu oleh Kementerian Kelautan RI, niatnya Jogja Fish Market bakal jadi pusat penjualan atau pasar ikan dan hasil laut higienis pertama di Jogja.
Tujuannya pun mulia: di satu sisi ingin memudahkan masyarakat Jogja bagian utara agar tak perlu jauh-jauh ke pesisir untuk mencari ikan segar; dan di sisi lain sekaligus melebarkan sayap penjual ikan di Jogja selatan untuk mendapat pasar yang lebih luas.
Demi mengakomodasi tujuan tersebut, setahun berselang Pemkot Jogja selaku pengelola menggandeng pihak ketiga untuk menjadikan Jogja Fish Market tempat pelelangan ikan. Tempat ini pun di-rebranding menjadi Pasar Ikan Higienis (PIH) Jogja.
Jika boleh jujur, sebenarnya PIH Jogja punya segala prasyarat untuk menjadi pasar ikan modern terbesar di Jogja. Tempatnya luas, mencakup kurang lebih 9.000 meter persegi; kios-kios yang tertulis nama-nama ikan pun rapi berjajar, lengkap dengan AC; hingga tersedia juga gedung pertemuan dan arena bermain anak.
Sayangnya, panggang jauh dari api. Menurut catatan pengelola, per 2009 atau tiga tahun setelah peresmian, pihak PIH justru merugi. Pasar ikan ini sepi; yang jangankan pembeli, penjual pun minim yang mau datang kesini.
Alhasil, demi menutup biaya perawatan gedung, beberapa kios disewakan untuk restoran yang menyajikan menu ikan. Beberapa lahan juga dialihfungsikan untuk kegiatan-kegiatan seni seperti pentas wayang, hingga rapat dan resepsi pernikahan.
Sebab-sebab layu sebelum berkembang
Ada banyak faktor yang bikin satu dari 24 pasar ikan di Indonesia ini mati total sebelum menjadi besar. Kalau kata Mananger SDM dan Area Publik PIH Wigiharto, salah satunya karena promosi yang kurang gencar.
“Sejak kami mengelola, pasar ikan masih sepi karena promosi masih kurang,” ujarnya kala itu, menjelaskan alasan sepinya PIH Jogja.
Dalam hemat Wigiharto, harusnya Pemkot Jogja bisa lebih menggenjot lagi promosi pasar ikan tersebut. Misalnya, dengan lebih sering mengadakan agenda-agenda publik di lokasi ini, hingga menawarkan ikan ke konsumen-konsumen tetap seperti hotel-hotel atau katering.
Konsumsi ikan warga Jogja itu besar. Kata Wigiharto, sehari saja bisa menghabiskan 14 ton. Sayangnya, tentu tak sebanding dengan penjualan ikan di PIH Jogja yang tiap bulan rata-rata hanya 5 ton.
Kebutuhan ikan warga Jogja, kalau kata Wigi, mayoritas memang dari wilayah pantai utara Jawa, seperti Semarang dan Jepara.
Selain kurangnya promosi, faktor lain yang bikin lini usaha ini sepi adalah susahnya membawa pedagang ikan dari pantai selatan Jogja ke PIH.
Menurut Wigi, meskipun sewa kiosnya gratis, banyak penjual ikan yang enggak pede berjualan di PIH. Mereka lebih senang berjualan hasil laut di pasar tradisional yang sudah eksis karena memang jualan ikan bukanlah bisnis umum.
Para pedagang ikan, kata Wigi, tidak mau gambling karena bisnis ikan butuh itung-itungan yang matang.
“Operasional pedagang ikan itu besar, sementara resiko tinggi. Kalau tidak laku malah mereka rugi karena ikan tidak bisa bertahan lama. Jadi menjualnya di tempat yang pasti-pasti aja,” ungkapnya.
Akhirnya, jadilah pasar ikan di Giwangan itu seperti sekarang ini: mati segan hidup pun susah. Dibilang mati, tapi kok sebagian gedung masih beroperasi; mau lanjut hidup tapi sepi pembeli.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi