MOJOK.CO – Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 baru saja ditetapkan pemerintah bersama DPR RI. Namun hingga kini kasus kekerasan seksual masih saja marak terjadi. Ada 400 laporan yang diterima LPSK.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat, hingga saat ini ada lebih dari 400 laporan diterima lembaga negara tersebut. Sebagian besar kasus yang dilaporkan merupakan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Padahal sebelumnya kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang lebih banyak masuk ke LPSK. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat regulasi yang dibuat pemerintah nyatanya belum bisa melindungi korban dan saksi.
“Terakhir-terakhir ini tren (laporan ke LPSK) yang naik ini adalah tren kekerasan seksual pada perempuan maupun anak. Dan ini yang aneh, temuan kami pelaku itu biasanya orang dekat, ayah kandung, ayah tiri, kakek kandung, kakek tiri, abang kandung, adik kandung, tetangga dan juga guru,” papar Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo dalam Kick Off Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas di Royal Ambarrukmo, Kamis (02/06/2022).
Tak hanya di lingkungan keluarga, menurut Hasto, banyak pelaku yang merupakan tenaga pendidik atau guru. Alih-alih mengajarkan ilmu dan akhlak, para pelaku di sekolah-sekolah umum maupun sekolah yang berbasis agama justru melakukan kekerasan seksual.
Sebut saja kasus kekerasan terhadap sejumlah santriwati di sejumlah daerah seperti di Magelang, Cilacap, Malang hingga Bandung. Pelakunya merupakan orang terdekat mereka yang mengajarkan ilmu agama.
“Itu artinya apa, kekerasan seksual ini didominasi oleh relasi kuasa. Jadi orang menggunakan kuasanya untuk melakukan kekerasan seksual pada korban,” tandasnya.
Menurut Hasto, sebagian korban dan saksi sudah mendapatkan pendampingan dari LPSK. Namun khusus untuk kasus-kasus asusila, masih banyak korban yang tidak bisa mendapatkan pendampingan karena mereka tidak mau melaporkan kekerasan yang dialami.
Kekerasan seksual yang sering dianggap aib membuat korban akhirnya malu untuk melapor ke LPSK. Akibatnya mereka diam saja dan cenderung tidak melakukan apa-apa. Apalagi bila muncul ancaman dari pelaku terhadap korban yang membuat mereka semakin takut untuk speak up atau bersuara.
“Seringkali ada ancaman (dari pelaku). Dulu di Jogja ada anak 5 tahun diperkosa ayah kandungnya, kebetulan di daerah Bantul dan kemudian ibunya karena mengadvokasi atau menuntut secara hukum. Si ibu gitu malah dimusuhi sama keluarga dan juga komunitas tempat tinggal suaminya itu. Ini kan sudah jatuh tertimpa tangga korban ini,” tandasnya.
Upaya untuk pendampingan dan perlindungan korban dan saksi pun, lanjut Hasto juga bukan perkara mudah. LPSK mengalami dinamika serta tantangan yang beragam, mulai dari minimnya anggaran hingga terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM).
LPSK belum bisa menjangkau permohonan perlindungan yang masuk dari Sabang hingga Merauke. Kondisi rentang geografis Indonesia yang sangat luas serta terbatasnya SDM yang saat ini LPSK miliki juga merupakan salah satu tantangan yang harus dicarikan solusinya.
“Salah satu ihktiar LPSK untuk menjawab dan mengatasi problematika yang muncul adalah dengan menginisiasi lahirnya sebuah program yang berlandaskan nafas kerja kolaboratif antar berbagai pihak,” ungkapnya.
Untuk itu LPSK memperkenalkan Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas. DIY menjadi daerah sasaran awal digelarnya kick off program yang akan merekrut para relawan dalam sebuah komunitas bernama Sahabat Saksi dan Korban.
“Sebab kerja-kerja perlindungan saksi dan korban membutuhkan dukungan dari civil society. Konsepsi kerja kolaboratif inilah yang kemudian diwujudkan melalui program perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas ini,” paparnya.
Sementara anggota Komisi 1 DPR RI, Idham Samawi mengungkapkan, dirinya meyakini meski ada 400 laporan ke LPSK, masih ada banyak kasus yang hingga saat ini belum terungkap dan dilaporkan. Karenanya peran LPSK melalui program perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas harus dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia.
“Saya yakin (kasus) yang dibawah permukaan akan banyak sekali dan kegiatan ini sahabat saksi dan korban ini strategis sekali. Kita ini 170 juta manusia yang hamparannya sabang marauke, jadi memang kalau saya pribadi ya LPSK ini harus nantinya betul-betul punya perwakilan di 34 provinsi,” jelasnya.
Dengan adanya program perlindungan berbasis komunitas, diharapkan masyarakat memiliki perhatian ada mau ikut berperan. Sebab merekalah yang akan berkomunikasi langsung dengan para korban dan saksi.
“Saya punya keyakinan dengan program perlindungan berbasis komunitas ini akan luar biasa pada saatnya nanti masyarakat akan betul-betul menikmati. Jadi bagaimana diyakinkan, jangan malu, jangan aib karena ini hak, bicara mengenai hak warga negara,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Wakil Rakyat Jogja Studi Banding ke Italia demi Pengembangan Pariwisata dan kabar terbaru lainnya di KILAS.