MOJOK.CO – Penyair Chairil Anwar genap berusia 100 pada tahun ini. Gramedia Pustaka Utama menerbitkan kembali ‘Aku Ini Binatang Jalang’ dengan sampul baru dan membuat serangkaian acara sepanjang April-Juli 2022.
‘100 Tahun Chairil Anwar: Sebuah Puisi Konser’ yang digelar toko buku Gramedia, Jalan Sudirman Kota Yogyakarta, Kamis (14/7) malam. Acara ini digelar di tiga kota untuk memperingati ulang tahun Chairil yang lahir di Medan, 26 Juli 1922. Beberapa fakta unik tentang Chairil Anwar terungkap saat acara. Berikut 3 diantaranya yang Mojok rangkum.
#1 Pernah kena ‘tikung’ dokter
Selain sajak-sajaknya yang abadi, penyair Chairil Anwar dikenal dengan rekam jejaknya dekat dengan sejumlah perempuan. Hubungan asmara itu kerap kandas, termasuk kalah bersaing dengan seorang dokter.
Putri Chairil Anwar, Evawani Alissa (75), mengungkapkan hal itu saat menceritakan kembali pertemuannya dengan Sri Ayati. Sri adalah pujaan hati Chairil yang disebut dalam sajak ‘Senja di Pelabuhan Kecil’. “Ternyata Sri Ayati cantik sekali. Rupanya Chairil Anwar kasmaran,” kata Eva.
Namun sayang, saat itu Sri sudah bertunangan dengan seorang dokter. Asmara sang ‘binatang jalang’ pun kandas. Belakangan, Chairil menikahi Hapsah, ibunda Eva.
“Bahkan Sri Ayati bilang ibu kamu nekad, berani nikah sama Chairil Anwar karena kan Chairil nyentrik sekali. ‘Untung kamu dibesarkan sama ibumu’,” tutur Eva mengenang perbincangannya dengan Sri.
#2 Tak mau dipanggil bapak
Eva menyebut Chairil enggan dipanggil dengan embe-embel bapak atau ayah, cukup Chairil saja. “Enggak usah panggil bapak atau papa. Saya masih terlalu muda untuk jadi bapak,” pesan Chairil untuk Eva lewat sang ibu.
Usia Chairil belum genap 27 tahun saat ia meninggal. Saat itu Eva berusia 1 tahun 10 bulan. Eva mengakui tak meneruskan jejak bapaknya di bidang sastra. “Saya tidak jadi deklamator, tapi (terjun) di bidang hukum. Tapi alhamdulillah saya menjaga nama baik ayah,” ujar dia.
#3 Gagal dibuat film
Menurut dia, sosok Chairil Anwar telah coba dihidupkan melalui sejumlah medium, terutama film. Namun upaya itu selalu gagal. “Mira Lesmana itu lima tahun mau bikin film Chairil Anwar belum terlaksana. (Aktor) Slamet Rahardjo pernah datang ke saya, bilang enggak berani meranin Chairil Anwar karena takut salah dan mengubah imej Chairil,” tuturnya.
Sembari duduk di kursi roda, Eva lalu membacakan dua sajak karya Chairil, ‘Aku’ dan ‘Cintaku Jauh di Pulau’. Di belakangnya, di panggung kecil yang dibuat layaknya serambi rumah, foto legendaris sang ayah yang tengah mengisap rokok tergantung di atas pintu.
“Saya tidak bagus baca sajaknya. Saya cuma anaknya Chairil Anwar,” kata dia disambut tepuk tangan 300-an hadirin yang didominasi anak muda.
“Mudah-mudahan di 100 tahun ini masih bergaung sajak-sajaknya. Kalau di sajak ‘aku ingin ihidup 1000 tahun lagi’, itu bukan hidup dirinya, tapi sajak-sajaknya.”
Selain Eva, dua penulis membacakan karya Chairil, yakni penyair Joko Pinurbo dan novelis Eka Kurniawan. Jokpin, sapaan Joko, membacakan sajak Pencuri Jam Malam dan Jalan Kita Berhenti di Sini. “Puisi-puisi ini luar biasa, tapi jarang mendapat perhatian,” kata dia.
Jokpin juga berseloroh dengan membandingkan Chairil dengan penyair saat ini. “Kehebatan Chairil itu seakan-akan puisi-puisinya dibuat kemarin sore, sedangkan penyair-penyair sekarang puisinya seolah dibuat 70 tahun yang lalu,” ujar dia disambut sorak penonton.
Adapun Eka menarasikan surat-surat Chairil kepada HB Jassin yang menerbitkan karya-karya Chairil. Diselingi canda, Eka mengomentari surat Chairil soal keengganannya berkantor seharian. “Ternyata dari dulu sampai sekarang masalah kita sama,” ujarnya.
Menurut Eka, Chairil amat kerap mengirim surat ke Jassin, misalnya hanya terpaut dua hari atau bahkan pada satu hari yang sama. “Kalau sekarang (di email), ini sudah jadi spam,” celotehnya.
Di sela pembacaan karya, grup musik Melancholic Bitch mengisi acara itu lewat musikalisasi puisi. Mereka menafsirkan sajak-sajak Chairil, seperti ‘Aku Berkisar Antara Mereka’ dan ‘Derai-derai Cemara’, ke dalam aransmen khas Melbi. Sisa acara itu pun bak konser mini bagi band yang kerap dianggap band mitos—karena jarang manggung—ini.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi