MOJOK.CO – Daripada kita sibuk menduga-duga dengan prasangka buruk, lebih baik kita berhusnuzan tentang pemaparan visi misi maupun bocoran soal debat capres.
Setelah kita sempat dihebohkan dengan wacana tes baca Al-Qur’an untuk pasangan capres-cawapres. Lalu, ada hoaks tentang sejarah yang dibuat salah satu calon sebagaimana disinggung Alkaf dalam esainya beberapa waktu lalu. Saat ini, kita dikejutkan dengan kehebohan lain: pembatalan penyampaian visi misi capres-cawapres dan adanya wacana ‘pembocoran’ pertanyaan debat.
Saya sungguh yakin, ini bukanlah keanehan terakhir yang muncul di panggung demokrasi kita. Akan masih banyak lagi keanehan dan kegilaan lainnya yang sedang diproduksi, disusun, ditata, dan akhirnya dihempas ke publik untuk kemudian ditertawakan secara massal.
Sebetulnya, tidak terlalu jelas apakah fenomena janggal bin aneh ini adalah bagian dari ‘kekurangajaran’ demokrasi kita. Ataukah sekadar lakon sandiwara belaka guna menghibur publik dan para sales capres yang sedang larut dalam pertempuran dua armada besar—cebong versus kampret. Namun, dengan tetap berhusnuzan kepada KPU, rasa-rasanya kok ini memang sebuah trik untuk mengalihkan kegaduhan cebung versus kampret supaya rahang mereka nggak kaku-kaku amat.
Konon, pembatalan pemaparan visi misi capres-cawapres yang dilakukan KPU dilandasi karena tidak sepakatnya kedua pihak tentang siapa yang akan menyampaikan visi misi itu. Pihak Prabowo-Sandi ingin visi misi itu disampaikan sendiri oleh capres-cawapres. Sementara pihak Jokowi-Ma’ruf meminta visi misi tersebut disampaikan tim sukses. Beginilah jadinya jika hanya ada dua pasangan kandidat, maka keputusan yang diambil pun tidak bisa diambil dengan voting.
Dengan tidak bermaksud bersikap diskriminatif kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf, kita tentu boleh menebak-nebak kenapa mereka menolak menyampaikan langsung visi-misi. Mungkin bagi mereka visi-misi itu hanya soal kecil, remeh temeh dan terlalu teknis sehingga cukup disampaikan oleh tim sukses. Capres tak perlu terlibat dalam hal-hal kecil seperti itu. Memangnya sejak kapan capres mengurus hal-hal teknis? Toh nanti ketika terpilih, tim sukses juga yang akan komat-kamit buat konferensi pers untuk menjawab pertanyaan publik.
Tentu tidak etis jika soal kenaikan BBM, kenaikan cabai, bawang, gula, garam harus disampaikan presiden. Itu soal teknis. Cukup tim sukses menteri saja yang buat klarifikasi dan berdebat dengan publik. Presiden harus tetap menjaga marwahnya. Kecuali kalau ada penurunan harga BBM atau pengangkatan honorer menjadi PNS, itu baru disampaikan oleh presiden. Bukankah presiden harus selalu menyertai kegembiraan rakyat? Makanya sejak jadi capres jangan suka mengurusi hal-hal teknis, biar tim sukses saja (kamu tidak akan kuat) sekaligus memberi panggung gratis kepada mereka untuk numpang keren.
Selanjutnya, mengenai sikap KPU yang ‘membocorkan’ pertanyaan debat juga bisa dicurigai sebagai trik. Tapi saya belum menemukan rasionalisasi yang memadai dari trik ini. Kononnya, ‘pembocoran’ dilakukan agar jawaban para capres tepat sasaran dan detail, sehingga tidak terjadi debat kusir. Para capres juga memiliki waktu untuk mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang sudah diketahui sebelum debat. Pokoknya debat capres nantinya akan terlihat semacam opera yang sudah diawali oleh latihan yang intens. Mohon maaf, saya tidak cukup berani menyebutnya sebagai debat pura-pura.
Sebetulnya, yang justru dikhawatirkan, jika kekonyolan ini kemudian merembes ke mana-mana atas alasan persamaan hak. Jika para capres yang notabenenya adalah calon pemimpin bangsa negara boleh mengetahui pertanyaan dari awal untuk menyiapkan jawaban, maka anak-anak sekolah tentu patut menuntut hak serupa. Mereka juga perlu diberi waktu untuk menyiapkan jawaban di rumah untuk kemudian disalin saat ujian. Alasannya sama dengan capres: supaya jawaban anak-anak ini bisa benar, fokus, dan detail, sehingga tidak ada anak yang tidak lulus. Demikian juga dengan tes pegawai negeri, tentara, ataupun polisi juga harus diberikan pertanyaan lebih awal agar mereka semua memiliki kesempatan lebih besar untuk lulus.
Meski demikian, di lubuk hati terdalam, kita sebetulnya sepakat saja dengan KPU yang mungkin tidak ingin mempermalukan capres di hadapan publik. Bagaimanapun juga, kehormatan capres tentu lebih penting dibandingkan dengan kehebatan mereka saat debat. Lagi pula, kita juga sudah cukup berpengalaman menyaksikan debat yang isinya entah itu apa.
Yang bertanya—kemungkinan—tidak terlalu paham pertanyaannya. Sementara yang menjawab tidak tahu harus memulai dari mana. Yang satu memakai istilah-istilah sulit sementara yang satu lagi tidak paham istilah sama sekali. Lalu, yang satu bicara terus tanpa titik sementara yang satu lagi memilih parade membisu. Ada yang bermaksud ingin menjebak akhirnya justru terjebak. Meski banyak drama, hebatnya penonton tetap semangat. Semakin konyol, semakin riuh. Rating acara semakin tinggi.
Alasan-alasan logis seperti di ataslah yang mendorong kita untuk menyatakan ‘sepakat’ dengan KPU. Namun, saya mau usul. Supaya lebih mantap lagi sebelum mengikuti debat, para capres ini diwajibkan ikut kursus dulu agar bisa mengeluarkan jawaban yang cerdas, lengkap dengan kutipan. Jangan juga lupa untuk ditambahi footnote, innote, maupun endnote.
Selain itu, mereka juga perlu membagikan makalah kepada penoton debat yang berisi pertanyaan dan jawaban para capres. Makalah ini juga harus dibagikan lebih awal sebelum debat berlangsung. Akan lebih menarik lagi, jika semua pertanyaan dan jawaban tersebut ditayangkan di televisi satu hari sebelum debat, sehingga para penonton juga memiliki kesempatan untuk menganalisis jawaban setiap kandidat. Dengan demikian, nantinya kita akan menyaksikan debat capres rasa kuliah, atau seminar, atau bahkan pelatihan.
Satu lagi, nanti sebelum pemilu dimulai, ada baiknya jika para capres juga diberi tahu lebih awal, berapa total suara yang mereka peroleh. Jadi, bisa sujud syukur lebih awal. Sangat visioner, bukan?