Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Rasanya Jadi Batak-Jawa yang Kena Stereotipe Etnis Mahapekok di Indonesia

Keenan Nasution oleh Keenan Nasution
30 Juni 2019
A A
SUKU JAWA BATAK
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sebagai separuh Batak dan Jawa. Penulis sering kena stereotipe etnis. Batak pasti begini, Jawa pasti begitu. Bhinneka kok Bhinneka streotipe.

Indonesia itu serba majemuk. Saking majemuknya, stereotipe etnis mahapekok pun ikut majemuk. Dan, kalau ada yang tanya, sebagai anak hasil kawin gado-gado, besar peluang saya menjadi sasaran empuk stereotipe-stereotipe mahapekok—yah, moga-moga cuman kegeeran saya doang sih.

Memang sulit ditampik bahwa penisbatan rupa-rupa cap, baik yang “positif” atau ugal-ugalan, ada di tengah masyarakat yang beragam identitasnya. Dan, sejujurnya, bahaya bukan main. Sudah seberbahaya cap PKI di masa Orde Baru.

Saya, sebagai (setengah) Batak Mandailing, kena juga stereotipe etnis sebagai orang yang kasar atau urakan atau kikir. Tiga sterotipe etnis yang kayak sudah bawaan lahir, sepasti key to happiness adalah kunci kebahagiaan.

Bahkan konon, kasar dan urakan dipercaya merupakan sifat alamiah orang Batak secara keseluruhan, dan kikir adalah mutlak-mutlakan sifat orang Mandailing—atau sifat uda-uda dan uni-uni.

Kepercayaan ini tak sedikit pengikutnya. Mau Batak totok, setengah atau seperempat, sama saja. Hal ini tentu menyebalkan, apalagi bagi orang-orang Batak yang berjiwa hello kitty, yang berkebalikan total dari penggambaran stereotipikal tersebut.

Lha memangnya nggak ada orang Batak yang kasar dan urakan?

Ya ada. Tapi kasarnya bagaimana dulu? Kalau doyan menganiaya bini seperti, berarti bisa dengan serampangan pukul rata semua orang Batak pelaku kekerasan—itu mah emang orangnya yang brengsek.

Kalau cuma nada bicaranya yang kasar dan urakan, nggak usah menjatuhkan vonis berat pada sekian juta orang Batak yang belum tentu Anda kenal benar.

Lalu soal cap positif tentang orang Batak. Orang Batak itu pekerja keras, makanya sakses di perantauan. Kalau tidak jadi pengacara, juragan metromini, ya pemilik perkebunan sawit sekian ribu hektar. Bahkan jadi mantu presiden—nah, yang ini semarga dengan saya, meski nggak ada hubungannya juga sih.

Dus, cap positif pun nggak kalah bermasalahnya dengan cap yang keblinger. Kerja keras itu keharusan bagi siapapun yang kepengin selamat di dunia yang mahakejam ini. Semua orang bekerja keras, bahkan jika harus 56 jam dalam sepekan, untuk memenuhi kebutuhan. Ya minimal cukup buat makan dan bayar sewa rumah tahunan yang biayanya bikin nangis darah.

Sementara sakses, yang entah kenapa patokannya selalu kebendaan, ditentukan you lahir dari keluarga mana dan punya atau tidak klik dengan penguasa. Anda kira tajirnya Hotman Paris semata-mata berkat kerja keras dari subuh ketemu subuh?

Maka saya, atau Batak-Batak lain, yang “nggak sakses”, nggak jadi pengacara atau menantu presiden (boro-boro punya mertua presiden, laku aja sulit), berarti “nggak normal” dan, ujung-ujungnya, jadi sasaran empuk buat di-bully.

Kayak gini: istri pasti pintar masak, dan bila ada yang masak air saja nggak becus, berarti bukan “istri yang baik”, ujung-ujungnya di-bully mertua. Percayalah, sinetron hidayah itu nggak absurd-absurd amat. Memangnya enak di-bully?

Iklan

Dan, sebagai (setengah) Jawa, suatu kali saya ketiban apes. Lagi-lagi, semua gara-gara stereotipe etnis seenak jidat. Dan tentu saja sudah menjurus rasis.

Di Bali, lima tahun silam, kenalan bapak saya, sebut saja Budi, orang asli Bali—bahkan doi merupakan anggota Laskar Bali, Yakuza-nya Bali yang punya koneksi dengan penggede-penggede setempat—dengan wolesnya mengatakan semua pendatang asal Jawa adalah pemalas, akhirnya jadi copet dan maling dan selalu bikin perkara di tanah orang .

Dia katakan kalimat itu di depan saya punya muka. Apa pula maksudnya? Kejadian sepet pada 2014 itu sangat membekas dalam ingatan saya.

Jika niatnya sengaja bikin kesal, ya saya kesal. Bukan sebagai (setengah) Jawa, tapi memang omongannya sama sekali bermasalah dilihat dari sudut pandang manapun. Namun, saya berusaha memahami alur berpikir si Budi. Barangkali, dalam bayangannya, setiap perantau asal Jawa pastilah berotak kriminil, tangannya hobi ngutil—bahkan selalu layak dicurigai.

Barangkali pula, setiap orang Jawa adalah anak kandung daripada Pak Harto dan keluarga bencananya, yang dengan, meminjam kata-kata Pram, Fasisme Jawa-nya telah bikin blangsak mayoritas rakjat Indonesia. Menimbun kekayaan dan tidak bisa menghargai nyawa manusia—biarpun penanggung konsekuensi jangka panjangnya adalah seluruh rakjat Indonesia.

Jujur, saya gagal memahaminya.

Pencopet, maling atau pelaku terorisme relijius bisa siapa saja. Tidak peduli apa etnisnya atau apa keyakinannya. Bisa jadi maling kelas teri, bandit kelas coro yang kebetulan dari Jawa beroperasi mengincar bule-bule lengah di seputaran Legian adalah orang-orang yang “tersingkir”.

Sementara urusan perut tak bisa ditunda. Tentu sulit untuk dibenarkan, sesulit membenarkan stereotip etnis mahapekok yang mengendap dalam Budi punya pikir.

Orang cupet seperti ini tentu hanya kerikil kecil dari masyarakat Bali yang terkenal toleran. Para pecalang akan menjaga perayaan hari raya umat Islam dan Kristen.

Bahkan lazim belaka apabila penduduk Bali kangen sama pedagang sayuran, nasi bungkus, dan lain-lain yang kebanyakan berasal dari Jawa, di hari raya idul fitri, yang pada mudik ke kampung halaman.

Maka orang seperti Budi memang sepantasnya tidak usah terlalu dipedulikan—walau sesungguhnya kalau ditulis kayak begini bisa dapat honor yang menjanjikan.

Orang seperti Budi ada dan berlipat ganda, dan gampang saja budaya mereka memberi segala macam cap, yang melahirkan prasangka dungu terhadap yang lain.

Ada sekian ribu (atau malah lebih) Budi-Budi lain yang manasuka kasih stereotipe etnis ke perantau Papua sebagai biang keonaran dan pemabuk. Imbasnya, mau ngekos dipersulit dengan alasan yang tak masuk akal, mau kumpul-kumpul nobar film dokumenter digrebek dengan tuduhan “meresahkan masyarakat.”

Bahkan, jika Anda bertanya pada kompor-kompor NKRI Harga Mati, setiap orang-orang Papua yang berbicara tentang represi brutal aparat pastilah dicap sebagai simpatisan OPM.

Ada sekian ribu (atau, sekali lagi, lebih) Budi-Budi seantero Indonesia yang berkeyakinan bahwa etnis Tionghoa culas, rakus, dan segala sematan label yang buruk. Tiga tahun silam, kalau memori kita berumur rada panjang, seorang Tionghoa dipukuli dalam TransJakarta, setelah diteriaki “Ahok.”

Sementara yang beneran Ahok, terlepas dari kebijakan gusur sana-sini, keok dalam pilgub plus dibui atas kasus “penodaan agama” tidak bisa dipisahkan dari penisbahan stereotipe etnis atau etnis terhadap dirinya; sebagai Tionghoa dan sebagai penganut Kristen.

Merayakan kebhinnekaan saja tidak cukup untuk membendung penyakit laten ini. Alih-alih, menolak kebhinnekaan stereotipe dan syak wasangka yang makin hari kok makin merajarela.

Meski, tentu saja, jauh lebih mudah menulisnya ketimbang menghadapinya.

Terakhir diperbarui pada 30 Juni 2019 oleh

Tags: Bhineka Tunggal Ikaetnisstereotipe etnissuku
Keenan Nasution

Keenan Nasution

Tinggal di Jakarta, asli Malang, Jawa Timur.

Artikel Terkait

Kita Mau Apa Kalau Minang Niat Minggat dari Negara Pancasila?
Esai

Di Jawa, Kenapa Sumatera Barat Selalu Dianggap Cuma Padang Doang?

25 Mei 2021
rasanya jadi orang tionghoa muslim cina muslim yang tiap tahun mendapat ucapan selamat imlek salah alamat mojok.co
Pojokan

Ucapan Selamat Imlek yang Salah Alamat

12 Februari 2021
Teori Konspirasi soal Suku Presiden Indonesia suku megawati sukarno soeharto habibie gus dur jokowi mojok.co
Esai

Teori Konspirasi soal Suku Presiden Indonesia

19 Mei 2020
stereotip suku perempuan MOJOK.CO
Pojokan

Gampang Amat Nilai Kepribadian Perempuan dari Stereotip Sukunya

16 Agustus 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.