Zawjiyah (berpasangan), dalam hal ini menikah, jika kita melihat dan memahaminya dalam perspektif Alquran, maka ia merupakan salah satu sunnatullah. Ditegaskan oleh firman Allah QS: 51 ayat 49, yang kurang lebih artinya, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasang supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.”
Memang ini hukum yang bersifat umum, melingkupi manusia, hewan, tumbuhan, keadaan, dan lain-lain. Namun untuk manusia seperti kita, cara berpasangan yang fitrah tentu saja adalah dengan cara menikah. Jadi menemunkan pasangan kita dan bersanding bersamanya merupakan bagian dari cara kita mengingat akan kebesaran Allah.
Lantas pertanyaannya, “Kenapa sih kalian kebelet sekali menikah?”
Oiya, tentunya pertanyaan ini ditujukan kepada yang sudah cukup umur lho ya. Dan 5 hal ini sebagian dari jawabannya. Kenapa kok 5? ya terserah saya, wong saya yang nulis, kok, tugas anda kan cuma baca.
Pertama, sebagian besar dari kita sudah mulai jarang yang menyukai puasa. Loh? Iya, puasa. Baginda Nabi Muhammad SAW sudah bersabda yang kurang lebih artinya “Wahai kaum muda, siapa diantara kalian mampu menikah, menikahlah. Dan siapa yang tidak mampu hendaklah berpuasa. Karena sesungguhnya puasa menjadi tameng baginya.”
Nah, lha wong menyambut bulan puasa Ramadan saja terkadang kita masih cuma sekadar mengikuti tren, pasang status, spanduk, ngetwit, bikin tagar dll. Pas giliran menjalani puasa dan kena cuaca panas semacam cuaca Surabaya, misuhnya nggak ketulungan.
Kita sudah mulai hilang sikap kewarasan, seruduk sana sini, ngempot-ngempot dijalan, klakson telolet bersahutan saat traffic light nyala merah masih menyisakan 2 detik. Bukankah puasa itu menahan diri? Lah, apalah daya nafsu ini menutupi nurani yang ingin bersabar dan berpasrah pada-Nya. Aduh mak’e, daripada menahan diri dengan cara puasa yang kurang ikhlas semacam itu, mending mbribik eh ta’aruf ke cewek yang kelihatan cocok, trus ngomong sama emak, beres toh?
Logikanya, kalau puasa ramadan yang wajibnya banget dan cuma satu bulan saja kita masih sering lemah, apalagi puasa karena belum menikah yang lamanya bakal entah sampai kapan.
Kedua, kita ini mengaku saja kalau kecintaan kita terhadap ilmu sangat biasa-biasa saja, janganlah lalu membandingkan kita dengan ahli ilmu Ibnu Taimiyah yang nggak menikah, Terlalu tinggi mbak. Buku bacaan yang kita miliki saja nggak sebanyak kaos oblong yang tertata di lemari, pesantren yang kita kunjungi nggak sebanyak pantai yang kita singgahi, niat sowan ke Ulama atau ustadz pun selalu terkendala jam kerja dan tontonan seasyik Anak Langit, paling mentok ya belajar dari paman Google, ngikuti akun Abah Mustofa bisri, Prof. Nadirsyah Hosen, dll. Itu bagi kita sudah cukup lumayan untuk tetap menjaga kewarasan dalam berpikir ditengah berkecamuknya perang ideologi sesama tetangga sendiri.
Dan karena ilmu kita yang pas-pas-an ditambah beban hidup yang makin menyudutkan, maka kita butuh teman berbagi, teman yang menjadi alas(an) untuk tetap berjuang, teman yang selalu mengingatkan bahwa, meminjam lirik lagunya Wali band, hidup ini indah bila mencari berkah. Lagi-lagi cara halalnya ya dengan cara menikah.
Ketiga, ini soal mempunyai keturunan biologis. Bagi setiap anak, membahagiakan emak adalah kuntji. Tujuan mulia yang akan kita capai. Dan salah satu kebahagiaan emak adalah keberhasilan kita di masa muda dan mempersembahkan cucu yang imut sebagai wadah baru untuk mencurahkan kasih sayangnya. Kan nggak mungkin emak dengan senyum bahagia menggendong sambil menimang-nimang kita yang sudah segede gaban di pelataran rumah di pagi hari.
Nah, solusinya lagi-lagi ya itu, menikah.
Keempat, memuliakan perempuan. Dalam Alqur’an, perempuan disebut sebanyak tidak kurang dari 114 kali. Entah itu disebut nisa’ atau kata yang seakar dengannya, juga disebut untsa atau kata-kata yang seakar dengannya. Kita hidup sebagai manusia tidak dikehendaki oleh Allah untuk mengumbar naluri tanpa kendali. Di dunia hewan, jantan-betina hidup tanpa aturan menikah karena memang mereka nggak punya departemen agama dan KUA. Perempuan dalam islam begitu dimuliakan, Allah menetapkan aturan yang selaras dengan kemuliaan mereka. Mereka halal jadi istri jika dinikahi, mereka bertelapak surga jika jadi ibu. Maka seperti bagaimana lagi kita sebagai laki-laki menunjukakan sikap memuliakan perempuan yang kita sayangi selain menginginkan dari rahimnya akan terlahir keturunan sah kita jika bukan lewat jalan pernikahan?
Kelima, agar supaya kita tidak berjalan ditempat. Fire-walking atau juga dikenal sebagai walking on fire dipopulerkan oleh Anthony Robbins. Robbins menggunakan fire walking sebagai simulasi untuk pelatihan NLP (Neuro Linguistic Programming), yaitu bagaimana mengubah persepsi diri melalui visualisasi baru di otak sehingga mengubah reaksi tubuh terhadap realita. Dari teknik yang dijelaskan Robbins kita menjadi tahu bahwa ketakutan terhadap tantangan untuk berjalan di atas api lebih banyak disebabkan oleh persepsi di pikiran kita. Kenyataannya, berjalan di atas api tidak semenakutkan dan tidak seberbahaya seperti yang disangkakan. Apalagi dengan diberi contoh oleh instruktur yang sudah menjalani. Maka persepsi bahwa kita juga bisa menjadi semakin kuat.
Bisa disimpulkan bahwa segala sesuatu yang menakutkan seringkali tidak semenakutkan yang ditampakkan. Jalani saja maka kita akan dapatkan hal yang menakutkan itu tidak terlalu menakutkan, justru menyenangkan. Terus berjalan, maka kita akan aman.
Demikian pula dalam menghadapi hidup, strategi terbaik adalah terus menjalaninya hingga akhirnya masalah terselesaikan. Berhenti dan diam justru berakibat celaka. Kalau kata Einstein, “Hidup itu seperti naik sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak” Maka, sama halnya dengan tahapan menikah, jangan berhenti di masa lajang, ada tahapan serius menanti di masa yang lain. Berkeluarga. Takut tak bisa mendidik anak-istri, atau takut tak bisa patuh terhadap suami? Bagaimana kita bisa tahu jawabanya kalau kita tidak menjalaninya? Masa iya kita harus jadi jomblo-lajang tapi punya ‘sephia’? Kan mending nikah. Ya toh…