Syahdan, tersebutlah seorang yahudi buta dan tua yang gemar sekali mencaci maki Rasulullah saw. Ia menolak risalah yang Rasulullah bawa dengan berbagai cara kasar, mulai dari mengumpat, meludah, hingga mengabarkan ke seantero negeri untuk memengaruhi orang lain. Tiap hari, seorang laki-laki datang memberinya makan dan menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Kepada laki-laki itu, ia pun tak lupa mengumbar kata-kata kasar untuk Rasulullah Muhammad saw.
Si laki-laki tadi senantiasa sabar dan telaten saat menyuapi si yahudi buta itu. Jika ada daging yang terlalu keras, ia suwir dagingnya agar si yahudi buta tak kesulitan memakannya. Suatu ketika laki-laki itu tak datang. Abu Bakar yang kebetulan lewat pun berhenti, ganti menyuapi si buta.
“Ini bukan tangan yang biasa menyuapiku. Kemana laki-laki yang biasa menyuapiku?” tanyanya ketika merasakan perangai yang berbeda, juga tangan yang tak biasa.
“Ia sedang ada urusan, Tuan.”
“Siapa sesungguhnya laki-laki yang setiap hari memberiku makan itu?”
“Ia Rasulullah. Muhammad saw.”
Dongeng yang jamak kita dengar tersebut menyebutkan bahwa pada akhirnya, si yahudi buta masuk Islam di tangan Sayyidina Abu Bakar. Ia mendapat petunjuk iman lewat akhlak Sang Rasul yang bukan merupakan perisai, namun sudah menjadi pakaian keseharian, dari zahir hingga batin.
Pekan lalu, seorang blogger menceritakan pengalamannya saat menjumpai Buya Profesor Ahmad Syafii Maarif sedang bersepeda dengan stang tergantung tas kresek berisi buku. Kesederhanaan Buya Syafii memang bukan bualan. Publik mengetahui bahwa ia adalah peraih Ramon Magsaysay Award yang berkali-kali menolak tawaran untuk menjabat sebagai direktur atau komisaris Perusahaan Negara. Buya memilih mundur ke pojok, menulis, mengembangkan ilmu pengetahuan lewat berbagai lembaga keilmuan dan kebudayaan, dan menjalani hidup sehari-hari dengan tenang.
Cerita apik semacam itu, sayangnya harus dirisak oleh komentar semacam “tua bangka”, “liberal”, hingga “sesat” yang ditudingkan kepada Buya. Awalnya, saya pikir akun bebal semacam itu adalah akun palsu tanpa identitas. Saya mencoba meluangkan waktu untuk melihat lebih jauh, dan hasilnya menyedihkan, saya melihat sebagian besar mereka memanglah akun yang nyata. Akun nyata yang mungkin sudah penuh dengan kebencian. Dinding akun mereka penuh dengan postingan serupa: link-link berita yang ia bumbui dengan umpatan dan caci maki.
Ini tentu membuat saya mengelus dada. Betapa prinsip yang harusnya begitu sederhana: menghormati orang yang lebih tua adalah wajib, ternyata bisa dengan mudah dirobohkan hanya karena perkara kepentingan. Tentu ini bukan sekadar identitas “sesat” atau “tidak sesat”, namun bagaimana perilaku kita, terutama saat berada di mimbar publik.
Mengingat akhlak Rasulullah adalah mengingat sesuatu yang terlalu tinggi, dan barangkali terlalu jauh kita gapai. Ia kemudian memiliki pewaris yang menyebar di seantero dunia. Di Indonesia, mereka yang dapat kita lacak secara garis keturunan, kesamaan sanad keilmuan serta kiprahnya, salah satunya adalah walisongo. Adalah syeikh Akhmad Rahmatillah, yang semua keturunannya ‘alim dan amir. Dewi Asiqoh, istri kesultanan Demak. Sayyid Hasim atau Qosim Drajat, bapak dari para fakir dan miskin. Ia juga seorang ekonom dan menguasai bidang agraria hingga wilayahnya makmur dan sejahtera. Sayyid Maulana Ibrahim atau Sunan Bonang adalah guru para Sultan dan gurunya guru pada masanya. Imam Ja’far Shodiq alias Sunan Kudus yang memajukan daerahnya lewat pendidikan dan tradisi. Dewi Aisyah, istri Syeikh Syarif Hidayatullah yang merebut Sunda Kelapa. Hingga Dewi Ruqoyyah yang merupakan menantu dari Sunan Ampel.
Hingga kini, makam mereka selalu ramai dikunjungi para peziarah serta menggerakkan ekonomi kerakyatan. Apalagi ketika hari Jumat, ratusan bis berduyun-duyun datang. Mereka yang datang bukan sedang mendatangi sebuah mitos atau dongeng. Akan tetapi, bagi orang yang mau membaca sejarah, mereka sedang menziarahi jejak perjuangan dan potret akhlak yang dapat dilacak dan nyata.
Raden Said Sunan Kalijaga, yang keturunan Adipati Tuban misalnya, meninggalkan syi’ir-syi’ir Jawa yang sarat nilai. Ia mengubah pesan syair pada masa Majapahit yang masih membawa pesan kasta dan feodalisme dengan memasukkan nilai-nilai Islam yang egaliter dan setara dalam suluk gubahannya. Di Cirebon, makan Maulana Syarif Hidayatullah dikunjungi tak hanya oleh peziarah Muslim, bisa kita bilang: separonya Non-Muslim! Hal serupa itu jamak terlihat pada makam beberapa tokoh, seperti Mbah Mutamakkin hingga Gus Dur. Akhlak yang baik memang semestinya menembus sekat warna kulit dan kepercayaan.
Tokoh-tokoh luhur itu semasa hidupnya mampu menunjukkan perubahan-perubahan berharga dalam beragama. Menunjukkan sikap dan semangat hijrah seperti yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. yang senantiasa menjunjung tinggi keluhuran akhlak.
Sayang aduhai sayang, di era sekarang ini, ternyata keindahan dan semangat hijrah a la Rasulullah semakin terkikis dan hilang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Infid, salah satu LSM yang bergerak di bidang kajian dan penelitian seputar demokrasi, kesetaraan, dan HAM, menunjukkan bahwa sekarang ini, makin banyak golongan yang menyalahpahami makna hijrah. Hijrahnya Rasul adalah dari zaman jahiliyah ke zaman Islam, sedangkan mereka justru nampak kembali ke masa pra-kenabian. Ciri-cirinya adalah gemar menjadi kaum yang merasa tertindas tetapi pada waktu yang bersamaan justru suka menindas, padahal Nabi kita adalah manusia yang merangkul dan melindungi. Muncul kaum yang merasa benar sendiri, kemudian melanjutkan kebebalannya berlandaskan kekuasaan, bukan asas keadilan. Indikator lain, yang telah banyak kita ketahui, adalah suka memusuhi yang berbeda serta suka menyerang bahkan siap berperang.
Hhhh, Kalau sudah begini, apa yang bisa kita lakukan?
Gojekan gentho, bercanda yang enak-enak saja dengan sesama teman. Dan, jika perlu, ramaikan obrolan dengan tagar yang woles-woles seperti #IndonesiaRumahBersama, #IndonesiaSudahFinal, atau kalau lagi pengen misuh saking kzl-nya, bilang saja: #MuslimOraKayaRaimu #IslamOraKayaDapuranmu.
Eh, tapi ya jangan sering-sering ding…