MOJOK.CO – Merayakan Lebaran dengan sukacita bisa mendadak jadi ruwet kalau dapat kiriman broadcast ucapan “Minal Aidzin wal Faizin” salah kaprah, ziarah kubur ke makam keluarga itu sirik, sampai kasih THR ke keponakan dianggap didikan jadi pengemis. Duh.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar..
Laa Ilaha Illallahu Allahu Akbar..
Allahu Akbar Walillahilhamd..
Yes, lebaran akhirnya datang!
Banyak orang yang mulai nulis status sedih ditinggalkan Ramadan bulan yang mulia, sedih karena takut enggak bisa ketemu Ramadan tahun depan, sedih karena enggak bisa beribadah yang diganda-gandakan pahalanya. Akan tetapi sebagai manusia kurang relijiyes, saya justru termasuk golongan keballikan yang malah enggak sabar makan lontong opor.
Semua saudara sudah mudik, rumah sudah tidak muat menampung para keponakan, tapi bukankah kehangatan itu yang kita tunggu-tunggu dari hari Lebaran? Tapi ternyata, tidak semua orang merayakan Lebaran dengan gembira, ada pula golongan yang hobi bikin Lebaran jadi agak ruwet, salah satunya ya lewat broadcast haram-haraman.
Pertama, golongan yang meng-haram-kan ngucapin maaf pas hari raya dan mengingatkan penggunaan kalimat “minal aidzin wal faizin” secara kebahasaan. Golongan ini punya pendapat kalau minta maaf harusnya tidak hanya dilakukan ketika hari raya. Biasanya golongan ini satu geng dengan golongan haram merayakan ulang tahun dan haram merayakan Hari Ibu dengan pendapat bahwa bersyukur dan bilang terima kasih itu harusnya tidak hanya pada hari-hari tertentu saja.
Wong nyatanya kalau hari biasa kita ini tergolong hamba-hamba khilaf yang tidak pernah ingat bersyukur, bilang terima kasih dan meminta maaf, apalagi yang dengan sungguh-sungguh penuh ketulusan. Hari biasa untuk hamba penuh dosa adalah hari ngomongin temen lama di whatsapp geng temen SMA, sambil ngomongin temen lain di grup lainnya lagi. Oleh karena itu, minta maaf secara khusus dengan momentum pas lagi bersih-bersihnya setelah berpuasa sebulan penuh tentu sesuatu yang bagus.
Soal ucapan maafnya pakai kalimat apa yang benar? Aduuuuh. Kita ini bahkan cukup bilang: “Luuur, minal-minul ya?” Atau: “Cuy, kosong-kosong ya?” kadang-kadang sudah cukup. Esensinya bukan pada kalimat ucapan, tapi pada makan nastar bersama dan ngobrol berjam-jam setelahnya.
Jika suasana sudah akrab, apalah arti “minal-minul” yang katanya salah kaprah tadi? Minal aidzin wal faizin memang secara kebahasaan berdimensi vertikal, akan tetapi, “minal-minul” yang berdimensi horizontal alias menyampaikan salam persaudaraan langsung kepada sesama manusia, justru itulah yang melebur dosa. Lagian dosa sama Allah kan pintu maafnya seluas alam raya.
Kedua, golongan yang mengharamkan segala macam tradisi hari raya. Mulai dari ziarah kubur sampai pawai obor. Ziarah kubur katanya syirik, sedangkan pawai obor pasti dianggap meniru suatu kaum. Haduuuh, orang Majusi kalau jaman dulu sudah ada listrik juga mungkin jadi kaum penyembah listrik. Kalau situ enggak mau ziarah ya monggo. Enggak usah rasan-rasan atau nyalah-nyalahin yang mau ziarah juga.
Orang-orang yang berziarah hanya bertujuan untuk dzikrul maut dan bertawassul. Kalau situ bisa dzikrul maut cukup dengan lihat ceramah ustaz di youtube ya silakan, tapi ada banyak anak yang mengasihi almarhum orangtuanya hingga medium apa saja tidak dapat membendung rasa rindu. Berkunjung ke pemakaman adalah cara paling mudah yang dapat dilakukan untuk menuntaskan rasa kangen itu.
Ketiga, atau yang paling baru adalah golongan yang menyamakan anak yang berharap sangu lebaran ke orang dewasa bagaikan pengemis yang meminta-minta. Broadcast ini diedarkan oleh sesosok umi dilengkapi dengan dalil-dalil mencengangkan hingga menghebohkan jagat emak-emak syar’i, emak setengah syar’i, maupun emak enggak syar’i babar blas.
Saya jadi ingat masa kanak-kanak dulu, ketika Bapak kasih komando pada saya buat memalak sangu lebaran ke Paklik-paklik yang punya potensi ngasih jatah duit banyak. Kadang-kadang, Ibu malah sengaja membelikan celana yang banyak kantongnya biar cukup buat menampung jatah palakan hari raya. Persis seperti broadcast umi-umi yang menyamakan laku semacam ini dengan mengajarkan anak menjadi pengemis.
Ya begitu itu saya kira kalau hidup kurang selow. Manusia itu hidup ya sesrawungan saja. Manusia punya insting, akal dan perasaan yang mendorongnya buat makan kalau lapar, berteduh kalau hujan atau kepanasan. Demikian juga dorongan untuk sesrawungan karena takut sendirian dan bercanda tawa juga membangun kehangatan hubungan dengan orang lain.
Perkara-perkara semacam itu sebetulnya alamiah. Hanya saja bakalan jadi mengerikan kalau insting baik begitu malah diancam-diancam dengan dalil multitafsir biar keren. Anak manja sama Paklik ya tidak perlu lah disamakan dengan belajar jadi pengemis. Justru itu bukti kedekatan antara keponakan dengan pamannya. Kecuali kalau memang sama paman sendiri sudah enggak pernah nyapa, enggak pernah silaturahmi, lalu tiba-tiba minta sangu seperti yang sebar broadcast “mengajari anak belajar jadi pengemi”, nah itu beda perkara.
Saya ingat suatu ketika saya berkunjung ke sebuah desa. Ke tempat saudara jauh, jauuuuh hubungan darahnya. Tetapi, pulangnya saya dikasih bekal segala macam hasil pertanian juga keripik-keripikan. Nilainya besar. Saya bilang, “Wah enggak perlu Pakde, bawaan ini kalau dijual bisa besar sekali nilainya lho. Beras saja sudah sekarung.”
Pakde itu marah. Meskipun hubungan darah jauh sekali (mungkin dari jalur kakek buyut yang sudah terpisah lama), tapi ia merasa sudah menjadi keluarga. Dalam ruang hidup khas petani, akan sangat menyinggung jika menghitung-hitung pemberian buat keluarga.
Kembali ke Paklik-paklik yang gemar saya jadikan objek rampokan ketika kecil, kini toh kondisi sudah berubah. Sekarang Paklik itu telah beranak tiga. Dan saya sebagai Budhe lah yang gantian harus memberi kepada anak-anaknya. Apakah saya merasa harus mencari dalil untuk melakukan itu semua?
Bisa saja saya menguatkan diri dengan ayat-ayat sedekah, apalagi hidup ini tak lain juga berharap berkah. Tapi kadang-kadang itu juga tak perlu-perlu amat. Ya kemanusiaan saja. Manusia merasa tenang berkumpul dengan manusia lainnya dalam kehangatan perkawanan, apalagi kekeluargaan.
Indonesia adalah negeri yang diberkati dengan tradisi hari raya yang meriah. Tak ada negeri mana pun di dunia ini yang menurut Prof. Azyumardi Azra bahkan menyambut rangkaian hari raya selama tiga bulan berturut-turut sejak bulan Sya’ban (Ruwahan), Ramadan hingga Syawal, kecuali negeri ini.
Pada bulan-bulan tersebut, konsumsi memang meningkat karena ada muslim berlomba-lomba memberikan bahan makanan pokok, makanan sahur dan buka, dan parcel kepada mereka yang kekurangan, namun hal tersebut bukan berarti konsumerisme. Justru pada bulan-bulan inilah migrasi finansial dari kota ke desa jadi merata.
Akhirul kalam, rayakanlah lebaran dengan suka cita. Selamat berbahagia dengan keluarga besar tanpa direpoti dengan broadcast haram-haraman yang bikin ruwet.