Hari-hari belakangan ini, dinding facebook saya dipenuhi dengan ajakan menandatangani sebuah petisi daring mendukung Koh Ahok supaya tetap menjabat Gubernur DKI—menjadi RI-3, kata Ahok—, dan melawan persekongkolan anggota DPRD Jakarta yang menyelipkan anggaran siluman sebesar 12,1 triliun dalam APBD mereka.
Saya bukan tidak mau membela Ahok, tapi perseteruan antara anggota DPRD ibukota dengan gubernurnya itu sejatinya masih tidak jelas, membingungkan seperti lagu Infineta Tristeza dari Manu Chao yang mencampur-adukkan tiga bahasa sekaligus: Rusia, Perancis, dan Spanyol.
Ahok, melalui petisi daring tadi, mau tidak mau ditampilkan seperti pahlawan super (superhero) yang sedang menghadapi gerombolan penjahat (villain), para anggota DPRD yang dikomandani M. Taufik. Ketika meme dukungan untuk Ahok mulai menggeser meme Polwan Dewi Sri Mulyani, saya tahu bahwa orang-orang sudah menyalahpahami tugas mulia yang dibebankan Partai Gerindra kepada M. Taufik, salah memahami faedah villain bagi superhero, dan tepat di sinilah saya merasa sedih.
Saya tidak bisa menyalahkan orang banyak yang menganggap bahwa Ahok adalah pahlawan bagi mereka. Ada tiga hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi pahlawan. Pertama, dilahirkan. Kedua, dibuat. Dan ketiga, kecelakaan. Demokrasi modern melarang kita membaiat pahlawan dari sisi keturunan, sementara pahlawan-Jakarta-yang-dibuat sudah jadi presiden, maka yang tersisa bagi Ahok memang tinggal satu itu: kecelakaan. Semacam pembela kebenaran, pahlawan kebetulan.
Selain itu, ada tiga hal juga yang wajib dimiliki oleh pahlawan. Satu, pendamping (sidekick). Dua, penggemar (fans). Dan tiga, penjahat (villain). Untuk urusan penggemar, Ahok tidak perlu dicemaskan. Gubernur yang berani mengajak pedagang kaki lima berkelahi tapi dapat Bung Hatta Anti-Corruption Award ya cuma dia doang.
Nah, sekarang tinggal dua pintu yang bisa dimasuki Partai Gerindra untuk membantu Ahok menampilkan aura kepahlawanannya. Ketika Ahok mengalami kecelakaan menjadi gubernur, Gerindra menyiapkan Om Taufik untuk sebagai pendampingnya. Tapi sayang beribu sayang, Ahok ternyata lebih memilih mantan Walikota Blitar.
Cinta ditolak racun serangga ditenggak hanya berlaku bagi anak-anak alay yang tidak pernah menonton acaranya Mario Teguh. Partai Gerindra adalah partai terhormat yang tidak kurang akal. Di sinilah kemudian, Om Taufik diberi peranan lain, sebagai villain, menyediakan dirinya menjadi tameng bagi para kompatriotnya untuk ditembaki—meminjam istilah dari pengamat politik Burhanuddin Muhtadi—dari delapan penjuru mata angin.
Roger Ebert, seorang kritikus film, pernah berkata bahwa film pahlawan-pahlawanan cuma sebaik penjahatnya—karena pahlawan dan gimmick-nya cenderung berulang. Semakin hebat penjahatnya, semakin bagus pula filmnya.
Hal ini sejalan dengan sabda filsuf gila, Friedrich Nietzsche, bahwa kalau seseorang ingin menjadi pahlawan, maka ular harus berubah jadi naga terlebih dahulu; atau sang pahlawan akan kekurangan lawan yang pantas. Dan inilah tugas mulia yang dibebankan Partai Gerindra kepada Om Taufik tadi: supaya jadi lawan sepadan bagi Ahok, dia harus berubah dari ular menjadi naga.
Om Taufik bukan Joker yang membenci Batman seumur hidupnya. Joker bilang, dia tidak membenci Batman karena dia gila, tapi dia gila karena dia membenci Batman. Orang mengira Om Taufik gila karena membenci Ahok. Orang-orang salah paham, sekali lagi, dia ular yang mau berubah jadi naga.
Berubah dari ular menjadi naga jelas bukan perkara mudah. Itu sulit, baik dari segi teknis maupun psikologis.
Secara teknis, korupsi pengadaan barang dan alat peraga saat pemilukada tahun 2004 sebesar Rp 488 juta hanyalah ular kecil, tidak berbisa, dan cenderung imut. Maka disusupkanlah angka sebesar 12,1 triliun di APBD yang akan mengubah Om Taufik jadi naga.
Dari sisi psikologis, tidak kurang Joker pun menghadapi persoalan yang tidak ringan. “Aku selalu terlihat tertawa. Senyumku hanya kulit luar saja. Kalau kau bisa melihat ke dalam, aku sebenarnya menangis. Kau mungkin mau meratap bersama-sama denganku,” begitu kata Joker suatu kali.
Menjadi sasaran kebencian dari begitu banyak orang bukanlah hal yang bisa ditanggung orang biasa. Hanya Om Taufik yang bisa. Ada yang sudah mulai merasa sedih dan ingin meratap bersama Om Taufik?
Ahok, seperti kata Eddward S. Kennedy, memang masih sebatas aktor watak. Dia belum menjadi siapa-siapa, belum mengubah apa-apa. Tapi orang tidak boleh melupakan siapa yang paling berjasa di balik meruapnya citra Ahok sebagai pahlawan: Om Taufik!
“Kita berdua akan jadi orang besar, Sup. Kita punya takdir yang sama, hanya berada di sisi yang berbeda,” ujar Lex Luthor kepada Superman.
Memikirkan penjahat-penjahat seperti Joker, Lex Luthor, dan Om Taufik, yang sebenarnya sudah berjasa besar tapi disalahpahami oleh orang banyak, di situ kadang saya merasa sedih. Kesedihan yang tak berbatas.
Infineta tristeza.