Kepolosan anak kecil terkadang menjadi sebuah komedi spontan yang bisa menyegarkan suasana, seakan mereka lahir untuk menjadi bocah pemain Srimulat. Namun, entah kenapa kepolosan ini hanya akan lucu jika dilakukan oleh anak kecil. Di video-video viral, kita kerap terpingkal-pingkal karena tingkah anak-anak. Tingkah yang sama jika dilakukan orang dewasa tak akan sama lucunya.
Ini kisah Akila, anak saya yang baru berusia lima tahun, usia ketika seorang anak sedang lucu-lucunya.
***
Suatu Jumat saya dapat WA dari istri.
“Yah, air di botol dekat TV punya Ayah?”
“Iya, kok tahu?”
“Kata Akila, ‘Itu air terminalnya Ayah, Ma, tak (aku) minum ya?’”
Dengan polosnya kata-kata terminal meluncur dari mulut kecil itu. Maksudnya air mineral. Ah, tak apalah, yang penting ada “al”-nya. Akila memang sering tertukar dalam menyebut kata-kata.
Namun, istri saya selalu mengingatkan jika saya agak gemas dengan kebiasaan Akila yang satu itu.
“Coba, siapa yang dulu menyebut daster dengan sebutan destar?” tanya istri saya.
“Tapi destar itu lebih cocok untuk menyebut pakaian jenis itu, Ma, bukan daster.”
Ya, saya akui, saya yang menyebut pakaian favorit ibu-ibu rumah tangga itu destar. Jangan tanya alasannya, menurut telinga saya sebutan itu lebih cocok. Tapi, itu dulu waktu saya masih kecil. Sekarang sih, kadang-kadang ya masih salah sebut.
***
Tawa Akila meledak melihat video yang tersimpan di hape saya.
“Ma, Ma, lihat, Ma,” kata Akila sambil menunjukkan sebuah video anak kecil belajar membaca. Dalam video itu ada adegan anak kecil yang sedang diajar membaca oleh seseorang (mungkin kakak atau ibunya) dengan menggunakan media buku bergambar. Di bawah gambar itu ada tulisan yang menyebut nama gambar.
Adegannya begini, sang anak mengeja,
“Je-a, ja. Ge-o, go.”
“Dibaca?”
Sang anak diam beberapa saat, kemudian menjawab,
“Pitik ….” (ayam)
“Lha kok iso pitik ki lho?” (Lah, kok bisa jadi ayam?)
“Lha kuwi gambare pitik lho.” (Lah, itu gambarnya ayam.)
Akila tertawa karena mendengar logatnya, (mungkin) logat Malang/Surabaya, yang memang kurang familier di telinganya. Selama ini yang sering dia dengar ya logat nggalek (Trenggalek) dari ayah dan mbahnya, dan logat Caruban dari mamanya.
Setelah melihat video tersebut beberapa waktu, Akila bersuara,
“Benar kan, Ma, itu gambar pitik.”
Iya, Nduk, itu gambar pitik.
***
“Ma, lampunya dimatikan, ya … di luar banyak rawon,” teriak Akila suatu malam.
“Rawon?” tanya saya.
Istri saya melongok keluar.
“Laron, Yah,” ujarnya
Ooo.
***
“Kok sepi, Akila mana, Ma ?” tanya saya.
“Di dalam kamar.”
Sebelum saya membuka pintu kamar sudah terdengar teriakan dari dalam. “Jangan dibuka dulu, Yah!”
Oke, saya kembali ke depan TV. Tidak berapa lama Akila keluar dari kamar dan berteriak
“Halo, Ayaaah.”
Dengan memakai jarik merah milik mbahnya yang dililitkan di pinggang, dan dibiarkan terseret di lantai, ia membawa penggaris yang dilem dengan potongan kertas berbentuk bintang, daaan … kulot mamanya dipakai di kepala.
“Akila jadi apa hari ini?” tanya saya sambil menahan tawa.
“Akila princess, ini tongkatnya (penggaris), ini gaunnya (jarik), dan ini rambutnya (kulot).”
Ooo … paham sih princess berambut panjang. Tapi kenapa kulot?
***
Kepolosan anak kecil terkadang menjadi sebuah komedi spontan yang bisa menyegarkan suasana, seakan mereka lahir untuk menjadi bocah pemain Srimulat. Namun, entah kenapa kepolosan ini hanya akan lucu jika dilakukan oleh anak kecil. Di video-video viral, kita kerap terpingkal-pingkal karena tingkah anak-anak. Tingkah yang sama jika dilakukan orang dewasa tak akan sama lucunya. Saya pernah mencoba memakai kulot di kepala, dan … hasilnya bukan lucu, malah saya enek melihatnya.