Rasanya tak pernah ada langit yang lebih mendung ketimbang langit yang hadir di hari berpulangnya seorang alim ulama. Dan betapa pilu, langit mendung itu hadir hari ini. Salah seorang alim ulama berpulang: KH. Ahmad Hasyim Muzadi.
Abah Hasyim, demikian kami para santri di Al Hikam Malang biasa memanggil beliau, adalah sosok ulama sekaligus negarawan yang rasanya tak pernah bosan mengkampanyekan moderasi Islam yang penuh kedamaian melalui Manhaj Ahlussunah Wal Jamaah yang dikembangkan NU di masa dua periode kepemimpinannya. Ia meneruskan estafet kepemimpinan NU pasca Gus Dur setelah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU di arena Muktamar NU ke 30 di Ponpes Lirboyo Kediri tahun 1999.
Nahdlatul Ulama yang didirikan Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asyari tumbuh menjadi jangkar yang tangguh bagi peradaban pribumisasi nilai-nilai keislaman nusantara. Jika Mbah Hasyim Asyari adalah peletak dasar nilai-nilai NU, maka Abah Hasyim Muzadi boleh dibilang adalah adalah figur yang menata organisasi NU secara sistemik dari tingkat ranting hingga pusat. Kedua Hasyim ini bisa dipandang sebagai ideolog (Mbah Hasyim Asyari) dan organisator (Abah Hasyim Muzadi) di jantung struktural Nahdlatul Ulama.
Abah Hasyim merintis jejak perjuangan dan menggerakkan NU dari tingkat paling bawah. Selepas menjadi ketua PMII cabang Malang tahun 1966, ia menjabat ketua PAC GP Ansor Bululawang Malang tahun 1967, lalu kemudian menjadi ketua Ranting NU Bululawang Malang. Kecemerlangan karir ke-NU-anya terus berlanjut, hingga di tahun 1992, ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang kelak kemudian mengantarnya menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.
Perjumpaan pertama saya dengan beliau terjadi di bulan Agustus tahun 2000, sesaat setelah peneriman santri baru Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. Ia menyalami satu per satu ratusan santri baru di masjid Al Ghazali di komplek pesantren pada suatu malam selepas salat maghrib berjamaah. Sambutannya begitu hangat dan bersahaja di tengah-tengah kesibukannya menahkodai PBNU dan situasi politik nasional yang tak menentu di fase awal transisi demokrasi Indonesia. “Abah tentu tak bisa setiap hari ngurusi pondok, Abah akan banyak tersita waktunya di Jakarta ngurusi NU dan hanya pulang ke Malang tiap akhir pekan” ujarnya kala itu saat memberikan sambutan.
Di kalangan anak-anak muda NU, sosok Abah Hasyim dikenal sebagai ulama yang hangat, ngemong, mengayomi, serta cakap merangkul lintas generasi dan mampu mengimbangi pergumulan sosial berbagai kalangan. Di Ponpes Al Hikam Malang, setiap akhir pekan selepas ia menggawangi kantor PBNU di Jakarta dari hari senin-jumat, Abah Hasyim menyediakan waktunya untuk mengasuh pesantren dan melayani tamu-tamu yang datang dari berbagai daerah di rumah pribadinya yang terletak di dalam komplek pesantren. Abah juga kerap bergaul dengan para santri dan aktivis-aktivis muda NU yang datang hingga larut malam untuk berdiskusi seputar kebangsaan, NU, dan acapkali membahas situasi politik nasional dan positioning NU dalam menyikapinya.
Seperti lumrahnya kiai NU, Abah Hasyim adalah sosok yang selalu mampu menyampaikan hal-hal subtantif dengan balutan ilmu dan humor. Maka tak heran jika dalam berbagai kesempatan, Abah sering melempar kelakar terhadap lawan-lawan bicara maupun diskusinya. Terlebih jika berhadapan dengan kaum muda NU.
Abah, misalnya, pernah menyindir kebiasaan baru anak-anak muda NU yang datang ke rumahnya dengan menenteng banyak perangkat gadget. “Anak-anak muda NU entah itu PMII atau Ansor sekarang hebat-hebat. Punya dua HP tapi tak bisa beli pulsa. Bolak-balik hanya missed call agar ditelepon balik.”
Lain waktu, ketika berdiskusi dengan anak-anak muda NU, Abah mengomentari fenomena banyaknya anak-anak muda NU yang melanjutkan pendidikan tinggi ke Timur Tengah. “Senang sekali banyak anak-anak muda NU yang sekarang belajar ke Saudi. Sayangnya kalau pulang tak jadi ulama tapi berbisnis travel Umrah.” ujarnya penuh canda.
Hal yang paling saya kenang soal kelakar Abah tentu saja adalah kelakar nakalnya terhadap beberapa pengurus PMII Malang. Peristiwa ini bermula saat A. Malik Haramain terpilih sebagai ketua umum PB PMII di kongres Kutai Kartanegara tahun 2003, saat itu, beberapa pengurus PMII Cabang Malang menghadap KH. Hasyim Muzadi untuk melaporkan terpilihnya kader PMII Malang untuk pertama kalinya sebagai Ketua Umum dalam sepanjang sejarah perjalanan PMII berdiri.
Ketua cabang Malang menceritakan bagaimana perjalanan sepanjang Malang hingga Kutai dengan menumpang kapal laut yang melelahkan akhirnya terbayar dengan kemenangan sahabat Malik.
Kyai Hasyim lantas berucap “Saya ini dari pesawat selepas pulang dari Kutai juga sempat berpapasan dengan rombongan sampean di kapal, saya dadah-dadah (melambaikan tangan) dari jendela pesawat, sampean saja yang tidak memperhatikan ke atas.” Dan ketua cabang PMII Malang tersebut hanya bisa melongo mendengar penjelasan Kyai Hasyim.
Seperti jamak dalam tradisi kultural NU, baik di pesantren atau di kalangan Nahdliyin, kelakar dan humor khas kaum sarungan memang selalu menjadi bahan cerita sehari-hari yang melingkupi kehidupan Abah Hasyim. Di kalangan para kiai NU, Abah Hasyim (dan juga Gus Dur, tentu saja) dikenal sebagai kiai gudangnya cerita humor dan banyolan khas NU. Banyak kiai NU yang kalau berceramah kulakan cerita humor dan kelakar pesantren dari keduanya.
Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) pernah berkisah dalam suatu kesempatan saat mengisi diskusi bulanan di Ponpes Al Hikam Malang tentang kedua tokoh NU yang gemar bertukar banyolan dan kulakan cerita humor itu. Gus Mus mengisahkan salah satu nostalgia saat keduanya tukar-menukar guyonan. Jika bercerita lucu, Abah Hasyim biasanya meyakinkan lawan bicaranya dengan menyebut nama orang berikut jabatannya di kepengurusan NU. Suatu ketika, Gus Dur penasaran dan iseng mengecek kebenaran cerita-cerita itu pada KH. Muchit Muzadi (kakak kandung Abah Hasyim). Sambil berseloroh, Mbah Muchit menjawab, “Sampeyan ini kayak nggak kenal Hasyim saja. Semua haditsnya, kalau enggak dhaif ya maudhu.”
Oleh Gus Dur, kelakar ini diomongkan kepada Abah Hasyim. Tapi dasar Abah Hasyim, Ia malah membalas kelakar itu dengan olok-olok yang tak kalah cerdik, “Ah, sampeyan ini kayak nggak kenal kakak saya saja. Dia itu memang ingkarus sunnah.”
Ah, Kini, Abah yang suka ngemong dan berkelakar itu telah usai menunaikan perjalanannya di dunia. Ia telah kembali menuju alam yang damai. Mungkin di sana, Ia dipertemukan kembali dengan Gus Dur. Meriung dan bersulang kopi sambil terkekeh riang gembira melepas rindu. Menjadi sumber kulakan humor para malaikat yang mungkin iri dengan para santri NU.
Selamat berpulang Abah, damai dan tetap bergembira selalu di sana.
(Ditulis di sembari memantau layar kaca tayangan langsung prosesi pemakamam KH. Ahmad Hasyim Muzadi di kompek Pondok Pesantren Al Hikam 2 Depok)