MOJOK.CO – Pandji Pragiwaksono dibuli habis-habisan gara-gara sebut NU dan Muhammadiyah elitis, nggak kayak FPI yang dekat sama masyarakat.
Saya harus menyampaikan disclaimer bahwa saya sama sekali bukan fans Pandji Pragiwaksono.
Saya blas nggak kenal dia, sebel lihat sikap anti-rokok-nya, iklan kelas public speaking-nya berseliweran mengganggu iklan kelas menulis saya, dan bertahun silam dengan akun saya @iqbalkita yang followernya hampir 1M itu saya pernah twitwar juga dengan dia.
Semua itu penting saya utarakan, hanya agar sampeyan tidak mengira saya membela Pandji atas dasar alasan-alasan kelewat subjektif. Titik. Oke, kita mulai.
Sampeyan tahu, baru saja Pandji Pragiwaksono dibuli ribuan orang? Ada bagian dari pernyataannya di YouTube yang menyebut FPI disukai karena organisasi NU dan Muhammadiyah tampil elite, jauh dari rakyat dan yang membuka pintu bagi persoalan masyarakat bawah justru FPI.
Warga NU dan Muhammadiyah berang. Tahu apa Pandji soal realitas di lapangan?
Semua menyaksikan kiprah dua ormas Islam terbesar itu di level akar rumput, dan semua bersepakat bahwa tuduhan elitis itu ngawur. Saya sendiri pun sepakat. (Lagi pula, dilogika saja gampang, bagaimana bisa NU dan Muhammadiyah jadi ormas Islam terbesar kalau selama ini cuma ngider di kalangan elite yang jumlahnya segelintir?)
Ujungnya, corong megafon diarahkan ke wajah Pandji, sambil semua teriak, “Heh kamu, eh, elo, komedian seleb! Udahlah gak usah sok-sokan paham persoalan sosial! Biar ahlinya aja yang ngomong, elo gak usah bikin rusuh!”
Oke. Lagi-lagi saya menyepakati suara itu, bahwa posisi komedian semestinya tidak merebut peran pakar ilmu-ilmu sosial. Nah, masalahnya adalah… Pandji juga cuma mengutip pendapat pakar!
Betul. Pandji cuma menukil kata-kata Thamrin Amal Tomagola. Pandji mengatakan bahwa dia mendengar langsung pendapat Thamrin tentang elitisme NU dan Muhammadiyah itu, juga bagaimana FPI membuka tangan lebar-lebar untuk membantu masyarakat bawah.
Dan siapakah Thamrin?
Thamrin itu sosiolog Universitas Indonesia, dapat master di Australia National University, dan dapat PhD sosiologi di University of Essex, Inggris. Kurang pakar sosiologi apa dia?
Dia bukan pakar-pakaran, bukan pakar kesehatan yang tiba-tiba bicara ekonomi, bukan pula macam pakar teknologi nuklir yang mendadak sok tahu tentang masalah-masalah kebudayaan. Thamrin jelas sosiolog, dan dia bicara tentang bidang yang memang di atas kertas sangat dia kuasai.
Lalu, siapakah Pandji Pragiwaksono?
Pandji itu pelawak, kelahiran Singapura, sekarang jadi seleb ibukota, anak muda yang tinggal di “pusat”, dan silakan tambahkan sendiri. Artinya, dia kelas menengah, kemungkinan tidak cukup paham dunia akar rumput, dan karena ketidakpahamannya itu dia berpendapat dengan mengutip sosiolog kondang yang dia percayai sangat paham persoalan sosial.
Lalu, di mana salahnya Pandji? Bukankah langkah yang dia ambil itu sudah sangat tepat secara etis dan secara metode, dan justru di titik itulah dia tidak melangkahi otoritas pengetahuan? Ye, kan?
Tentu kita jadi ingat ribut-ribut matinya kepakaran yang jadi gerundelan Tom Nichols. Para pakar (atau minimal mereka yang merasa diri sebagai pakar) di Indonesia menyebarkan gerundelan itu.
Mereka protes karena masyarakat-era-empat-kosong kita lebih percaya mikro-seleb dan influencer, alih-alih para ahli. Konsekuensinya, publik harus meninggalkan kebenaran-amplifikasi, lalu kembali kepada kebenaran ilmiah. Dan, kebenaran ilmiah itu dipegang para pakar.
Lha tapi ruwetnya, orang mengutip pakar malah disalah-salahkan, dan pakarnya sendiri sulit dipercaya! Coba, apa landasan seorang sosiolog mengatakan NU dan Muhammadiyah jauh dari rakyat, kalah sama FPI? Saya kok sulit membayangkan penjelasannya.
Betapa konkretnya peran kedua ormas terbesar itu di masyarakat bawah tidak usah saya sampaikan, cukup sampeyan gugling juga ketemu. Saya ogah mengulang-ngulang, apalagi karena seumur hidup saya juga menyaksikan sendiri, dan lingkungan tempat tinggal saya pun masyarakat kelas bawah bukan masyarakat jetset ibukota.
(Terus terang saya malah curiga, kasus ini hanya semakin menegaskan pernyataan Irfan Afifi di Youtube Mojok saat menanggapi tudingan seorang pakar yang mengatakan jilbab-kerudung di desa-desa itu pengaruh Islam fundamentalis: “Bener-bener kita tahu, betapa riil, bahwa para akademisi itu nggak kenal masyarakat kita!”)
Artinya, jika yang dikutip Pandji memang benar Pak Thamrin, maka moncong meriam kamu, kamu, dan kamu, selayaknya ya digeser dikit ke Pak Thamrin.
Tanya baik-baik dengan segala hormat, bagaimana Pak Thamrin menjelaskan pernyataannya itu. Belio sosiolog hebat, punya tanggung jawab moral-intelektual, dan semestinya dengan gagah akan memaparkan pandangannya secara ilmiah dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar.
Tapi, itu cuma “semestinya”. Pada kenyataannya, orang lebih suka mendelik ke arah Pandji, dan media yang haus klik juga ngompori orang untuk ramai-ramai menghajar Pandji.
Coba simak saja judul-judul berita yang tersebar. Saya ambil acak terkait kerusuhan ini. “Sebut NU dan Muhammadiyah Jauh dari Masyarakat, Pandji Pragiwaksono: FPI Selalu Ada Saat Dibutuhkan”; “Sanjung FPI, Pandji Pragiwaksono Dicibir Usai Sebut NU Jauh dari Rakyat”; “Pernyataan Soal NU & Muhammadiyah Dipersoalkan, Begini Reaksi Pandji Pragiwaksono”; “Catut NU Muhammadiyah dan FPI, Pandji Pragiwaksono Dibilang Komedian Karbitan”; “Pemuda Muhammadiyah Anggap Pandji Ngawur dan Kurang Baca”.
Lha lha lha. Pondja-pandji-pondja-pandji terus, Pak Thamrin-nya mannaaaa??
Dalam hal ini, kentara sekali media lebih suka menembak Pandji, mengadu antara Pandji di satu sisi dan NU-Muhammadiyah di sisi lain. Saya rasa jelas banget motifnya: Pandji lebih terkenal daripada Pak Thamrin, nama Pandji menjadi kata kunci SEO yang super-manjur untuk mendulang traffic, sehingga tentu saja mengangkat Pandji dalam keributan ini jauh lebih menguntungkan bagi kepentingan industri media. Ye, kan?
Walhasil, ribuan clicking monkey menangkap Pandji-nya saja, sambil mengabaikan fakta bahwa sumber utama Pandji adalah Pak Thamrin Sang Sosiolog, sedangkan Pandji tak lebih dari “humas”-nya Pak Thamrin.
Sekarang coba mikir. Kalau kebiasaan salah tembak begini kita tradisikan, dan kalau ada orang awam nebeng pendapat pakar malah disalah-salahkan, jangan kaget jika nanti publik jadi berlipat-lipat lebih tidak percaya lagi kepada kepakaran.
Akhirnya, ketika publik malas mengacu kepada pakar, lantas merasa lebih aman mengutip influencer, para pakarnya bakalan komplain lagi, “Haduuh rusak negara ini. Rusak! Kepakaran telah mati! Kami tak lagi dihargai!”
Halaaah, basi.
BACA JUGA Mengapa NU Lucu dan Muhammadiyah Tidak dan tulisan Iqbal Aji Daryono lainnya.