Kemarin medsos riuh oleh berita seruan Adhyaksa Dault kepada Ahok untuk masuk Islam. Terlepas dari bantahan yang muncul kemudian, juga terlepas dari konsep ideal cara berdakwah dalam Islam, dari kasus ini terlihat jenis sikap “tak sudi hidup bersama kelompok berbeda”.
Bukan cuma dalam hal agama, dalam soal-soal lain pun sebenarnya ya sama saja. Tak terkecuali dalam isu perokok vs antirokok.
Berkali-kali saya berdebat dengan teman antirokok tentang konsep berbagi ruang, membangun kenyamanan bersama satu sama lain. Coba tebak, apa ujungnya? Tul, ujungnya mereka bilang, “Aaaaah, udahlah, nggak usah ngerokok aja napa? Peraturan-peraturan dibikin ketat memang bukan untuk berbagi ruang, tapi biar para perokok itu segera meninggalkan kebiasaan terkutuknya!”
Aduhai, cara berpikir yang yoi banget. Memang sekilas jadi gagah ketika yang dibahas semata soal rokok. Tapi bagaimana kalau nalar begituan tetap dipakai untuk aspek perbedaan yang lain? Contoh: “Aaaah, ribet banget sih ngeributin izin gereja? Pindah agama keluar dari Kristen ajalah!” Atau bisa juga “Aaaah, reseh banget sih, tinggal di Bali kok ke sekolah minta pakai jilbab segala? Siapa suruh jadi muslim?”
Nah, ancur kan?
Semangat untuk menjalankan visi agung dalam menihilkan kelompok yang berbeda itu lebih berkobar lagi, ketika seorang seleb cum penulis besar mengatakan dengan yakin: “Akan tiba masanya ketika perokok gemetar ketakutan saat merokok di tempat-tempat umum, seperti terjadi di negara-negara maju.”
Membaca itu, saya jadi mak-wow. Negara maju? Sebegitu nistakah kita di hadapan negara-negara yang konon maju itu?
Berangkat dari celetukan Mas Seleb itulah saya ingin memberikan saran konkret untuk para aktivis antirokok, agar ikut gabung ke grup Backpacker Dunia atau apalah. Tentu saja itu semua demi lebih kerennya lagi kampanye antirokok, sehingga tidak menggunakan landasan yang asal-asalan dan waton mangap.
Saya ngomong begini sudah pasti karena pegang data konkret di lapangan. Ketahuilah, “negara-negara maju” yang dipuja-puja bak Erdogan itu sebenarnya nggak segalak yang “diharapkan” oleh Mas Seleb dan segenap wadyabala antirokok.
Pernah saya buktikan dengan mata kepala sendiri. Di Singapura, misalnya. Di sepanjang tepian sungai dekat Clark Quay, yang selalu riuh dengan orang nongkrong, juga kafe-kafe, merokok mah bebas-bebas saja. Di situ ada deretan tempat sampah banyak sekali. Di tiap bagian atas tempat sampah dibubuhkan tanda bahwa benda itu sekaligus berfungsi sebagai asbak umum. Maka, di sekeliling asbak-asbak publik itu orang bebas merokok. Dan memang mereka pada ngerokok. Dengan tenang, nggak pakai gemetar.
Itu baru di Clark Quay. Belum di banyak tempat umum lain. Silakan cek pula di Universal Studio, Sentosa Island. Di arena piknik keluarga semacam itu, enam area merokok disediakan. Yang sedang di sana coba saja cek, salah satunya di seberang wahana Madagascar. Sembari menunggu anak-anak naik komidi putar di sebelahnya, para perokok bisa leyeh-leyeh kebal-kebul di tempat duduk outdoor pinggir danau yang nyaman, segar, sambil memandangi orang-orang jerat-jerit naik roller coaster. Apakah non-perokok terganggu? Enggak dong. Itu posisinya relatif berjarak dengan kerumunan.
Itu di Singapura lho ya, satu negeri di muka bumi yang terkenal paling antirokok!
Coba kita tengok contoh lainnya. Jepang, salah satu negara di dunia dengan harapan hidup sehat tertinggi bagi penduduknya. Nah, ini lebih keren lagi. Saya saksikan dengan mata kepala sendiri dan cium dengan hidung muka sendiri, betapa sebenarnya orang Jepang leluasa merokok.
Di perempatan Shibuya, Tokyo, yang terkenal dengan banjir manusia tiap kali lampu hijau penyeberangan menyala itu, minimal ada dua smoking area luar ruang. “Pengunjung” pun selalu membludak di situ, sehingga sering tumpah ke luar-luar area. Apakah lantas mereka digebuki atau kena denda puluhan juta macam aturan resmi di Jakarta? Hahaha, enggaklah. Toh jaraknya dengan kerumunan yang tidak merokok juga terjaga.
Itu baru di Shibuya. Belum di tempat-tempat lain, di emper-emper convenient store, tepi-tepi jalan, tak terkecuali arena keluarga. Tak bedanya dengan Universal Studio Singapore, Tokyo Disneyland pun menyediakan area-area merokok yang representatif. Bandingkan dengan Kid Fun Park di Jogja, misalnya, yang dengan gagah perkasa memajang papan “Area Bebas Rokok”, yang artinya siapa pun yang mau merokok harus minggat dulu jauh-jauh dari kawasan itu.
Masih kurang? Saya punya bejibun contoh berikut foto-foto lengkapnya tentang smoking area di Australia. Jauuh, jauh sekali dari bayangan orang-orang tentang sikap negara maju kepada para perokok. Makanya, udahan lah mental inlandernya. Memuja negara maju kok jadi hobi. Syirik lhooo hahaha!
Ide berbagi ruang antara perokok dan nonperokok (wabilkhusus antirokok) ini saya kira solusi final dalam ketegangan tujuh turunan perokok vs antirokok. Prinsipnya, sanksi tegas namun masuk akal wajib diterapkan bagi perokok sembarangan. Namun di saat yang sama, smoking area dalam porsi layak juga mesti disediakan. Mirip logika orang tak boleh pipis sembarangan, maka disediakan toilet-toilet umum. Mirip tindakan mempersulit orang untuk naik mobil pribadi di kota besar yang padat, namun di saat bersamaan transportasi publik juga diadakan. Kira-kira begitu.
Berbagi ruang, sekali lagi. Kecuali kalau kita enggan hidup bersama dalam sebuah masyarakat yang berisi bermacam-macam manusia, manusia-manusia yang punya identitas berbeda, pandangan berbeda, selera berbeda, dan keyakinan berbeda. Pindah ke Kutub Utara aja kalau gitu. Atau Timbuktu.