Dua pekan lalu kita ramai membincangkan kasus PR matematika seorang anak SD di Semarang. Terlepas dari perdebatan apakah sama atau beda antara 4 x 6 dan 6 x 4, yang jelas kita mafhum bahwa matematika merupakan monster bagi banyak anak sekolah di Indonesia.
Selain karena menghadirkan kerumitan hidup yang merampas indahnya masa kanak-kanak dan remaja, matematika hanya berhenti menjadi pajangan yang beku di kelas-kelas. Ia tidak bisa hadir dalam realitas keseharian. Imbasnya, matematika gagal menjadi lifeskill. Ia sekadar alat untuk mendapatkan nilai di buku rapot. Itu saja.
Ini saya kasih contoh yang paling asyik: tipuan angka pada kampanye antirokok.
Biar teman-teman yang antirokok nggak keburu ngamuk duluan, saya berpesan: tetaplah menjadi antirokok. Bumi harus terus berputar. Baik yang pro maupun antirokok sama-sama dibutuhkan semesta raya. Tapi di saat yang sama, mari berbareng melawan pembodohan dan penistaan atas nalar. Deal? *Salaman*
***
Sejak sekitar enam tahun silam, saya terus-menerus mendengar bahwa korban tewas akibat rokok telah, sedang, dan akan terus berjatuhan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kematian itu dalam lingkup Indonesia sangat mengerikan: 427.000 orang per tahun. Data ini akurat dari WHO, dan telah saya baca puluhan kali dari berbagai sumber. Untuk keperluan tulisan pendek ini, saya memeriksa ulang, hingga data itu membawa saya masuk ke blog Bapak Tulus Abadi. Beliau adalah salah satu tokoh utama tobacco control di Indonesia.
Angka 427.000 tersebut memang sudah agak out of date, dirilis WHO pada tahun 2008. Namun dengan pengandaian sesuai asumsi gerakan antirokok sendiri bahwa prevalensi merokok di negeri ini semakin tinggi, otomatis mestinya angka itu sekarang terus membesar.
Melihat data 427.000 orang Indonesia mati per tahun karena rokok, apa yang pertama kali terlintas di kepala? Kemungkinan besar Anda menyebut nama Tuhan. “Ya Tuhan, terlaknat sekali barang satu itu! Benda pembunuh!!” Lantas Anda bertekad mengajak segenap orang tercinta untuk stop merokok, sembari mengkhotbahi mereka semua tentang angka 427.000 nan ajaib itu.
Adapun sebagian yang lain, mungkin lebih progresif. Mengelus dada, lalu bertekad bergabung dengan para ksatria antirokok di belakang Pak Tulus Abadi, Pak Kartono Mohamad, Pak Hakim Sorimuda Pohan, dan sebagainya.
Tapi, adakah yang mau berdiam sebentar, mengunyah baik-baik, mencoba memahami apa arti “per tahun 427.000 orang di Indonesia mati karena rokok”? Hampir semua di antara kita memilih tidak memahaminya dengan nalar. Penyebabnya simpel saja, yakni alam bawah sadar kita sudah kapok dengan angka-angka. Momok pelajaran matematika bukan hanya menciptakan trauma. Ia juga membentuk diri kita menjadi manusia-manusia pasrah, yang menerima begitu saja tiap kali mulut kita disumpal dengan timbunan angka.
Biar tidak ikut-ikutan pasrah, saya mencoba mengutak-utik kalkulator.
Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 228.523.000 jiwa. Pahami dulu bahwa angka itu adalah konteks, di mana terletak kematian 427.000 manusia per tahun.
Dengan angka kematian per tahun 427.000 tersebut, artinya kita harus menghitung 228.523.000 dibagi 427.000. Ketemunya 535,18. Sebutlah 535. Nah, jika data WHO itu memang benar, maka artinya “pada setiap populasi 535 orang di Indonesia, terjadi 1 kematian per tahun”. Betul, bukan? Silakan dicerna lagi.
Persoalannya, apakah data kematian manusia yang sangat bombastis itu cukup berhenti di berita website, atau di laporan-laporan akhir tahun kerja LSM untuk para penyandang dana? Tentu tidak. Kita (yang setiap saat menjadi sasaran tembakan informasi) bisa mengambil sikap cerdas dan kritis, bahkan bisa melakukan “verifikasi” dalam segenap keterbatasan.
Caranya amat sangat mudah. Lihat populasi terdekat Anda. Mulai anggota keluarga, tetangga sekampung, hingga teman-teman. Nah, saya yakin, jumlah lingkaran terdekat Anda tersebut cukup untuk membentuk populasi 535 orang. Pasti cukup. Jika tidak, misalnya Anda cuma berhasil menghitung 200 orang, misalnya, saya curiga dalam diri Anda ada problem psiko-sosial yang akut. Datanglah ke konsultan kepribadian terdekat di kota Anda.
Setelah terkumpul populasi lingkaran terdekat sejumlah kira-kira 535 orang, lihatlah umur Anda. Jika Anda berusia 20 tahun, misalnya, berarti semestinya Anda menyaksikan ada 20 orang di lingkungan Anda sendiri yang mati karena rokok. Logikanya, karena kematian itu terjadi 1 orang per tahun di tiap populasi 535 orang. Benar, bukan?
Mmm, oke. Itu agak sulit ya. Anda mengalami masa kecil hingga umur 10, sebutlah begitu. Hingga umur 10, Anda tak terlalu paham pada lingkungan sekitar. Baik, kalau memang demikian, dengan umur Anda yang 20 tahun, minimal Anda melihat kematian akibat rokok sebanyak 10 kematian! Bagaimana?
Mari kita bikin rumus toleransi saja. Ini semacam diskon 50%, karena kebaikan hati saya. Jika umur Anda 30 tahun, maka minimal Anda melihat kasus kematian karena rokok sebanyak 15 kasus. Jika umur Anda 40 tahun, minimal kasus kematian akibat rokok Anda lihat sebanyak 20 kasus. Dan seterusnya.
Nah, bagaimana? Betulkah demikian? Betulkah sebanyak itu kasus kematian akibat rokok Anda saksikan selama hidup Anda?
Rumus ini berlaku untuk setiap orang di Indonesia. Sebab, dengan pembagian 427.000 atas jumlah penduduk total 228.523.000 jiwa, otomatis setiap orang (termasuk Anda) akan menjadi bagian dari kelompok populasi terdekat yang berjumlah 535 orang itu tadi.
Maka, kepada siapa pun yang membaca sentilan ini, saya persilakan menghitung, ada berapa kematian akibat rokok di lingkungan terdekat Anda yang Anda ketahui sendiri. Jika ternyata memang benar jumlahnya sesuai rumus di atas, ah, saya sungguh ingin berjumpa dengan Anda. Tapi jika ternyata hasilnya jauh di bawah rumus, atau bahkan sama sekali kematian itu tidak pernah Anda temui di lingkungan terdekat Anda, maka saya ingin mengucap selamat.
Selamat, sebab selama ini Anda telah dibodohi oleh mereka. Hahaha.