MOJOK.CO – Jangan suka protes dulu kalau buruh sering demo mengajukan kenaikan upah! Kali ini Om Haryo akan melakukan hitung-hitungan untuk mengetahui kira-kira bisakah UMK 1,7 Juta Kota Jogja cukup untuk memenuhi kebutuhan para pekerja?
Halo pembaca rubrik celengan yang selalu kesulitan menabung,
Sebagian kaum kelas menengah sering menaruh prasangka bahwa dalam jiwa buruh bercokol sifat-sifat manusia yang rakus dan tidak kenal puas. Ada beberapa pernyataan yang cukup merendahkan para buruh seperti: etos kerja SDM (Buruh) Indonesia rendah, produktivitas rendah, dan selalu menuntut hak perbaikan kesejahteraan (upah).
Hanya karena sinis dengan “kebiasaan” buruh menggunakan demonstrasi sebagai alat untuk menekan pengusaha dan pemerintah, kita membenarkan rezim upah murah dari para pemilik modal. Ambil contoh saja perusahaan seperti Nike, yang di awal usaha menjadi distributor sepatu Otnisuka Tiger dari Jepang yang memang dikenal sebagai “pemburu upah murah”. Perusahaan jenis ini memang selalu mencari lokasi berbasis biaya rendah, soal keahlian bisa dilatih.
Dari Korea dan Taiwan, mereka berpindah ke beberapa negara seperti Indonesia dan Vietnam, dari Indonesia ke Bangladesh, alasannya selalu sederhana sekali: upah murah, bukan etos kerja!
Tidak ada negara yang makmur dan sejahtera tapi tingkat upahnya rendah. Di negara sedang berkembang, Investor bisa menekan biaya produksi dan mendapatkan margin yang besar. Sedangkan untuk Industri strategis dan padat modal lainnya tetap dipertahankan di negara maju tersebut. Bedanya, kepintaran Korea dan Taiwan, setelah pabrik Nike relokasi ke Indonesia, mereka tetap menempel sebagai pemasok dan membuka perusahaan di Indonesia.
Kesalahan kita adalah tidak memanfaatkan momentum transfer teknologi. Tidak membangun industri untuk estafet kalau investor hengkang. Kita terlalu dininabobokan oleh majikan-majikan kita di luar sana, dan antek-antek asing yang menolak bangsa sendiri sejahtera. Selalu ada upaya melanggengkan “rezim upah murah”.
Kalau Om sedang mengatakan “rezim upah murah”, jangan langsung dikaitkan dengan Jokowi. Itu keliru besar. Di dalam ilmu ekonomi istilah rezim upah murah digunakan untuk menggambarkan pengunaan input tenaga manusia dalam industri padat karya. Padahal, industri yang ada saat ini dapat dikatakan produktivitasnya tinggi dan menggunakan tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan tinggi.
Kembali ke soal etos kerja. Sebenarnya seberapa paham kita menilai etos kerja sumberdaya manusia suatu negara? Dari Karakter pekerjanya, kemampuan mengaktualisasi diri atau produktivitas kerjanya? Saya takut sebenarnya banyak orang tidak paham dengan etos kerja. Hanya karena beberapa investor hengkang dari negeri ini kemudian menganggap bangsa sendiri etos kerjanya rendah.
Di negeri ini, mungkin ada kalian di antaranya, banyak orang yang bekerja hingga larut, bangun awal dalam kondisi kurang istirahat dan langsung kerja lagi, tapi tetap saja belum sejahtera walau sudah menjalaninya bertahun-tahun. Satu keadaan yang diibaratkan “kaki jadi kepala, kepala jadi kaki” tidak selamanya membuahkan hasil yang sama.
Sementara kita dengan mudahnya mengatakan mereka tidak maju karena etos kerjanya rendah. Tidak semua orang mempunyai keleluasaan untuk menentukan pilihan seperti halnya Jon Jandai, keluar dari pekerjaan-bertani-membangun usaha-sukses. Tidak semua orang mempunyai kemudahan berpindah pekerjaan atau mengembangkan diri.
“Mbok sudah, jangan terlalu banyak menuntut. Masih untung lho kalian mempunyai pekerjaan. Susah lho sekarang ini cari kerja. Bayangkan kalau perusahaan bubar karena perusahaan tidak kuat membayar upah kalian”
Begitukah seharusnya? Menerima apa yang ada sambil menunggu kesempatan lebih baik? Tidak usah demo, crewet menekan pengusaha untuk menaikkan kesejahteraan (upah).
Baik. Sekarang kita uji bagaimana seorang pekerja dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebesar 1,7 juta seperti Kota Yogyakarta berdasarkan ketetapan pemerintah provinsi tahun 2017. Apakah para pekerja bisa hidup layak dengan jumlah upah?
Layak menurut siapa dulu? Kata layak dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berisi sederet daftar kebutuhan yang disetujui dewan pengupahan sebagai basis untuk menetukan upah minimum sebenarnya bermasalah. Layak menurut orang yang tidak mempunyai banyak keinginan? Layak untuk untuk asal bisa makan sehari 3 kali? Layak untuk yang masih jomblo?
Di rubrik ini, pernah ada mahasiswa yang menanyakan kesulitan mengelola uang sakunya yang “cuma” sebesar 2 juta rupiah. Bukan sulit menghabiskan ya, tapi sulit karena merasa kurang. Uang memang luwes, awet jika digunakan secara irit dengan menentukan skala prioritas. Apalagi digunakan secara boros, jauh lebih mudah.
Bagaimana mengelola penghasilan sebesar 1,7 juta per bulan?
Langkah pertama, keluarkan maksimal 30% untuk ditabung. Ini penting agar hidup kita jangan terlalu nggrantes, tidak mensyukuri hidup. Nggrantes itu hati sedih tersayat-sayat. Karena merasa penghasilannya kecil terus memutuskan tidak menabung. Dihabiskan semuanya untuk kebutuhan konsumsi.
Sahabat Celenger yang disayang pacar, dicukupkan warisannya oeh orang tua, dan dirahmati Tuhan,
Secara psikologi jangan pernah merasa penghasilan kita kecil atau besar. Rumus utama keberhasilan dalam pengelolaan uang ialah merasa cukup. Seperti menabung sebesar 30% dari penghasilan sebulan. Itu memang berat untuk penghasilan berapa pun. Apalagi jika penghasilan kita sesuai UMK, dalam waktu satu tahun “hanya” akan menggembungkan tabungan kita maksimal 6 juta saja.
Itu pun kalau tabungan tidak bocor di tengah jalan. Belum setengah tahun sudah memutuskan ganti gadget yang punya fasilitas “kamera jahat” atau beauty plus plus plus. Ya tidak salah, selfie sambil bibirnya monyong itu terkadang memang menjadi obat mujarab untuk sementara, utamanya perempuan.
Begitu memutuskan menabung, praktis hanya tersisa 1,2 juta. Sebanyak itu pula atau 70% dari pengasilan tersebut dapat digunakan seluruhnya untuk pengeluaran rutin: transpor, pulsa, makan dan hiburan. Untuk penghasilan sebesar ini, sebaiknya tidak ada utang, kecuali untuk utang produktif. Ini bukan soal pelanggaran HAM, Hak Ayo Mengutang. Tetai demi kesehatan pengelolaan keuangan yang kita lakukan.
Apakah 1,2 juta cukup untuk pengeluaran rutin?
Pertama kali keluarkan dulu anggaran kebutuhan pendukung kerja kita, transportasi. Kita anggarkan sehari 20 ribu, dalam sebulan total pengeluaran untuk transportasi sebanyak 600 ribu. Pos ini besar karena dihitung selama sebulan penuh. Kalau prakteknya hanya 25 hari, maka akan ada pengurangan sebesar 100 ribu. Bonus lagi kalau kita menggunakan kendaraan yang irit konsumsi bbm dan kebetulan dekat dengan tempat kerja, sangat mungkin kebutuhan biaya transpor kita hanya 250 ribu per bulan atau bahkan kurang.
Naik sepeda atau jalan kaki jelas lebih irit lagi, tetapi ingat kredo dalam pengelolaan keuangan: disiplin dalam pembuatan anggaran! Kalaupun tidak terserap, duh Gusti bahasanya pemerintah banget, dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.
Berapa yang tersisa setelah dikurangi transpor yang dianggarkan antara 250 ribu – 600 ribu? Antara 600 ribu – 950 ribu!
Selanjutnya untuk urusan makan, sebenarnya di Jogja tidak dapat juga dikatakan murah. Kata murah ini, seperti halnya kata layak, sebenarnya juga bermasalah. Murah menurut siapa dulu? Seperti nasi berlauk telor dan sayur ala kadarnya, variasi harganya antara 6 ribu – 10 ribu, sudah termasuk minuman. Jika sehari makan tiga kali, sebulan berarti antara 540 ribu – 900 ribu.
Bagi yang terbiasa puasa dan tidak sarapan, dalam sebulan akan ada penghematan antara 240 – 300 ribu. Nah, bener kan? Uang itu luwes, diirit-irit memang terlihat kita menderita. Dengan catatan tambahan, sudah ada rumah, tidak ngekos tidak ada utang dan belum berkeluarga.
“Sebentar, Om kok belum ada anggaran ngopi dan hiburan kaya nonton konser dangdut misalnya?”
Gampang, ngopi di warung Mojok tidak akan lebih dari 15 ribu. Pesan satu gelas sudah dapat untuk teman ngobrol selama 3 jam. Lah, kalau ditawari makan dan kita kepingin bagaimana? Hmmm… ingat, jawab saja baru saja makan, Mas. Hidup itu memang terasa ujian benar kalau kita nongkrong di warkop sementara dompet kita sedang tiris-tirisnya. Kalau konser dangdut biasanya gratis, mau lihat penyanyi dangdut nyanyi wik wik wik ihh ihh, ya? hahaha.
“Trus begini, Om, itu tadi kan anggaran untuk pekerja yang masih jomblo ya? Kalau untuk yang sudah menikah, anaknya sekolah dan istri tidak bekerja bagaimana?
Hmmm… hmmm… coba hubungi serikat pekerja, kapan ada demo lagi?