MOJOK.CO – Tingkat literasi yang bagus, tak berbanding lurus dengan minat baca tinggi. Buktinya, orang pakai GPS pun masih bisa tersesat di jalan.
Banyak orang teriak tak setuju—bahkan tersinggung—saat disebut bahwa bangsa kita punya tingkat literasi yang rendah.
Kebanyakan dari mereka akan menyangkal dengan mengatakan kalau sebenarnya minat baca masyarakat kita itu tinggi. Stigma literasi rendah untuk bangsa kita itu lalu dianggap hanyalah mitos yang diembuskan oleh orang-orang dengan perspektif kebarat-baratan.
Betul sih kalau kita menganggap tingginya tingkat literasi kita sama dan sebangun dengan volume penjualan buku, jumlah pengunjung pameran buku, dan tingginya jumlah share tulisan para buzzer.
Kalau istilah buzzer disebut, para fanboy politisi tidak perlu baper. Ini istilah netral.
Kalau mau membuka wawasan lebih, being literate itu sangat berbeda dengan melek huruf. Minat membaca bagus, tidak serta merta membuat kita mudah memahami isi atau kandungan bahan bacaan kita.
Beli buku juga bisa jadi karena impulsif saja, karena seneng mengeluarkan duwit. Halaman tak kunjung beranjak dari daftar isi.
Bagaimana seharusnya?
Katakanlah Anda membaca buku tentang literasi keuangan dari A sampai Z. Dari bacaan tersebut Anda akan tahu dari mulai menabung, produk reksadana, sampai pilihan investasi. Tetapi saat mengimplementasikan, Anda lebih menyukai perilaku Benny Tjokro dibandingkan Warren Buffet.
Penjelasan sederhana tentang apakah literasi seseorang itu bagus atau tidak, sederhananya seperti itu.
Kalau cerita tentang keuangan kurang menarik, kita beranjak ke dunia keagamaan saja, hehe.
Di kultur keagamaan, orang mengaji itu sejatinya memang bukan sekadar membaca dan atau mendengarkan saja. Orang yang mengaji kitab yang diyakininya, 100 persen tidak akan melakuan hal yang jadi pantangan dalam beragama. Nggak akan nyolong, memperkosa, dan hal-hal merugikan lainnya. Ini belum membahas yang lebih literatif, mentadaburi.
Sebagian orang cenderung akan menyangkalnya. Kalau mengaji mampu menangkal perbuatan jahat, kok bisa ada anggota DPR bernama Al Amin (itu nama gelar Nabi Muhammad btw) jadi maling? Bahkan ada pengasuh sebuah ponpes bisa memperkosa santriwatinya!
Ini sama kasusnya dengan membaca buku keuangan tadi. Baru membaca, belum mengaji. Apa yang dipelajarinya belum membuatnya beradab!
Sebenarnya tidak perlu ragu mengatakan bahwa kemampuan seseorang dalam membaca Al-Quran itu sama saja dengan kemampuan membaca rambu lalu lintas. Tak pernah ada jaminan dengan bisa membaca Al-Quran, Anda otomatis terbebas dari salah. Sama. Ada yang bisa membaca rambu larangan berhenti, tapi tetap saja parkir di tempat itu dan kemudian nguntal soto.
Literasi dapat diartikan juga sebagai konsekuensi untuk tidak sekadar membaca saja. Karena memang hafal sekali pun dengan apa yang kita baca tidak menjamin orang paham dengan apa yang tersurat. Tentu saja pernyataan ini tidak perlu dibenturkan kalimat, “Lalu apa gunanya orang membaca/menghafal Al-Quran?”
Beradab silam, potensi problem literasi juga sudah disadari benar oleh Sunan Bonang. Di tembang karyanya, “Tombo Ati”, yang berisikan lima petunjuk untuk mengatasi kegalauan, Sunan Bonang menanamkan ke santrinya untuk paham dengan apa yang dibacanya, apa makna di balik kata. Itu dikemukakan sebelum ibadah lainnya; salat malam, bersosialisasi dengan orang saleh, puasa, dan berzikir.
Semua orang kalau diajari membaca pasti akan bisa. Pada zaman modern, satu bangsa yang buta huruf hanya perlu puluhan tahun saja untuk menjadi melek huruf. Tapi bagaimana kalau literasinya buruk? Hitungannya sangat mungkin seperti kalau kita akan memperbaiki fungsi hutan rusak. Kalkulasinya sudah bukan tahun lagi, tetapi generasi.
Perlu kesinambungan. Karena memang problemnya bukan sekadar mengeja huruf, mengenalkan pena untuk menulis. Tetapi juga mental, mengingat tak jarang buruknya literasi juga kerap diwakili oleh sebuah pertanyaan yang mengerikan.
“Kok bisa ya salatnya rajin, ngebom gereja?”
Pertanyaan tersebut secara logika bukan saja keliru, tetapi babak belur. Orang yang salatnya baik, tidak akan pernah berhenti pada ritual, tapi mewujud dalam memelihara kehidupan. Jauh dari menjadikan teologi maut sebagai rujukan.
Ini bukan perkara saya atau siapa pun yang punya pendapat seperti ini defensif. Juga bukan ogah mengakui bahwa teologi maut itu hidup di sementara orang Islam. Tapi memang dibuat hipotesis pun tidak bisa, kalau pertanyaan tersebut di atas dianggap benar.
Orang yang memutuskan untuk menjadi pembunuh, secara kejiwaan sudah pasti sakit. Bukan salah bahan bacaannya, juga bukan salah cara menafsirkannya. Orang yang jiwanya sehat, mempelajari paham apa pun tidak akan tergoncang. Diperintahkan untuk membunuh dengan iming-iming surga pun bergeming. Pilih melaporkan ke polisi.
—000—
“Berapa pengguna GPS yang hari ini tersesat, misal, niatnya ke warteg malah masuknya rumah makan Padang?”
Beberapa tahun silam, Kiai Mustofa Bisri, ulama besar yang lebih kita kenal dengan sapaan Gus Mus, ditanya seorang netijen cabang Twitter.
“Maaf, apa yang sudah Kiai lakukan untuk menahan paham sesat Syiah?”
Jawaban Gus Mus pendek saja, “Aku sendiri belum tentu tidak sesat.”
Persoalan terpenting dalam soal literasi itu memang “merasa tahu dan tidak merasa tersesat”. Padahal potensi tersesat itu bisa berasal dari banyak sumber. Dan yang paling tidak disadari potensi tersesat yang bersumber dari dalam diri sendiri.
Seperti orang yang tersesat padahal sudah menggunakan GPS. Kalau kita langsung menyalahkan alat, itu sama saja artinya kita memasung ruang berpikir.
Tak mau menyadari adanya kemungkinan keliru dalam memahami navigasi, kurang memperhatikan keterbatasan alat, dan tak tahu harus berbuat apa kalau mengalami kebuntuan. Gunakan Pacar Setempat, misalnya.
Salah diagnosis akhirnya jamak terjadi. Orang melihat remaja hilang sopan santun, langsung bertanya, apa karena tidak ada lagi pelajaran PPKn?
Mereka lupa bahwa 100 persen koruptor itu selain sudah membaca kitab suci masing-masing, juga dapat pelajaran PPKn. Silahkan bertanya pada Surya Dharma, Juliari, dan Made Oka.
Jangan tanya Pak Harto, kalian bukan malaikat penjaga kubur.
BACA JUGA Enak Zaman Pak Soeharto? Enak Ndasmu dan tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya.