MOJOK.CO – Film Anak Iqro: My Universe adalah perlawanan sekulerisme di dunia sains, serta melawan pseudosains yang belakangan marak setelah dimotori kaum bumi datar.
Film anak bergenre sains religi Iqro: My Universe sudah menghantui penonton sejak trailer-nya muncul di bioskop. Trailer filmnya diputar sebelum penayangan film Annabelle dan Toy Story.
Dibandingkan dengan Toy Story yang sama-sama film anak, film Iqro: My Universe lebih masuk akal. Setidaknya tidak ada adegan benda mati bisa hidup saat tidak dilihat manusia. Tidak seperti Toy Story, yang bikin anak berkhayal bisa berbicara dengan boneka dan mainan.
Lalu, jika dibandingkan dengan film horor Annabelle yang juga mengandung unsur religi, film Iqro: My Universe justru lebih cocok dengan penonton Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tokoh utamanya tidak bermain dengan dunia hantu yang bagi sebagian orang hanyalah isapan jempol. Justru tokoh utamanya yang masih remaja sudah berambisi menjangkau luar angkasa. To infinity and beyond.
Bukankah ini kabar baik? Film religi dalam negeri biasanya dikaitkan dengan dunia gaib, entah itu perdukunan, hantu penasaran, atau azab-azaban. Bahkan film impor semacam Annabelle pun masih memakai metode lama. Sementara film Iqro: My Universe sudah mengantarkan genre film religi untuk anak menuju level selanjutnya: melakukan perkawinan antara iman dan sains.
Di poster filmnya, Aqila sang tokoh utama berbusana astronaut seperti Buzz Lightyear. Hal ini memicu kritik dari warganet yang menilai leher Aqila terlalu panjang. Editing yang kasar, ceunah.
Padahal itu sesuatu yang wajar terjadi di poster film Indonesia. Maklumi sajalah. Toh, di poster film Si Doel, kepala Rano Karno juga lebih gede daripada kepala Mandra dan Atun.
Selain desain poster, trailer filmnya juga kena cibiran kritikus karena sebuah dialog;
Seorang akhi: “Siapa astronaut pertama di dunia?”
Aqila: “Yuri Gagarin?”
Seorang akhi: “Nabi Muhammad SAW.”
Nabi Muhammad diyakini oleh sang akhi sebagai astronaut pertama di dunia karena peristiwa Isra Mi’raj. Nabi Muhammad telah menembus langit ketujuh, jauh sebelum Neil Armstrong bisa mendarat di bulan.
Pernyataan tersebut dianggap keliru karena Nabi Muhammad bukan astronaut. Dilansir dari Wikipedia, definisi astronaut atau antariksawan adalah orang yang telah menjalani latihan dalam program penerbangan antariksa manusia untuk memimpin, menerbangkan pesawat, atau menjadi awak pesawat antariksa.
Sementara kendaraan yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad dari masjid al-Aqsa menuju Mi’raj adalah buraq. Buraq bukan termasuk pesawat antariksa, melainkan sesosok makhluk berwujud binatang dengan kecepatan kilat yang diciptakan oleh Allah dari cahaya.
Jawaban Aqila juga kurang tepat. Bisa dibilang Yuri Gagarin bukan astronaut. Sebab astronaut hanya digunakan untuk menyebut antariksawan asal Amerika Serikat. Sementara Yuri Gagarin berasal dari Rusia atau Uni Soviet, maka ia disebut kosmonaut. Nah, kalau orang China beda lagi sebutannya: taikonaut.
Kalau umat sampai tahu fakta ini, tentu tidak terima Nabi Muhammad disamakan dengan orang Amerika.
Namun, konteks pesan yang ingin disampaikan film ini tentunya tidak sedetail itu. Kalau boleh menyimpulkan, amanat dari dialog itu: boleh saja kita mengandalkan ilmu, tapi jangan lupa dengan iman. Ilmu memang bisa mengantarkan manusia pergi ke bulan. Namun, dengan iman, manusia bisa dibawa menembus langit ketujuh dalam semalam dan bertemu dengan Sang Pencipta.
Film Iqro: My Universe bisa menjadi jawaban untuk sekulerisme dalam sains: jangan bawa-bawa agama ke dalam sains. Dalam sejarahnya, agama dan sains memang sering kali berbenturan. Misalnya, asal-usul manusia versi teori Charles Darwin yang tidak sesuai dengan isi kitab suci. Ketika mempelajari keduanya, seorang manusia akan bingung dengan leluhurnya. Jadi, nenek moyang manusia itu Nabi Adam atau monyet yang berevolusi?
Film ini mengamanatkan bahwa iman bisa berdampingan dengan ilmu. Seseorang yang iman dan ilmunya seimbang tentu akan mudah menjalani hidup dan mengejar cita-cita.
Dalam sejarahnya, sains berguna untuk menjalankan perintah agama. Contohnya, ilmu astronomi yang dipakai untuk menentukan awal bulan puasa dan hari lebaran.
Di sisi lain, kisah Aqila si muslimah cilik ini juga melawan pseudosains yang belakangan marak setelah dimotori kaum bumi datar. Aqila percaya bumi itu bulat, maka ia bermimpi menjadi astronaut.
Seandainya Aqila tergabung dalam Flat Earth Society, tentu ia menganggap bumi itu datar. Alih-alih berambisi jadi aktor astronaut NASA, Aqila justru ingin meruntuhkan dominasi konspirasi elite global. Aqila berencana menyibak misteri Antartika yang ditengarai dijadikan pangkalan militer Amerika Serikat.
Di filmnya, Aqila punya mimpi jangka panjang, yakni ingin mencari planet hunian baru selain Bumi. Sementara Aqila versi Bumi Datar, bakalan melakukan penjelajahan ke Antartika. Sebab, menurut kanal YouTube komunitas Bumi Datar, di balik Antartika ada sumber daya alam yang belum terjamah manusia. Konon, daratan impian itu ingin dikuasai sendiri oleh Amerika Serikat.
Sebagai film anak, Iqro: My Universe mengajak anak-anak untuk berani bercita-cita dan giat untuk mewujudkannya. Bagaimanapun rintangannya, seorang pejuang mimpi harus tangguh melaluinya. Obsesi Aqila dengan luar angkasa adalah simbol cita-cita anak Indonesia. Masa depan sebuah bangsa yang perlu diakomodir oleh negara.
Seperti anime Captain Tsubasa yang mampu membangkitkan dunia persepakbolaan Jepang, film Iqro: My Universe bisa saja melahirkan astronaut-astronaut baru yang terinspirasi dengan cerita perjuangan Aqila. So, jangan pernah remehkan kekuatan cerita fiksi.
Namun, sebagian ibu-ibu, alih-alih mengajak anak-anaknya menonton film anak, justru sibuk menolak film Dua Garis Biru—padahal mah, memang bukan ditujukan untuk anak-anak. Lantaran film yang dibintangi Zara JKT48 itu menghadirkan cerita anak SMA yang hamil di luar nikah, sehingga dikatakan mengajarkan yang tidak-tidak.
Hmmm.
Orang yang menolak Dua Garis Biru, tapi juga nggak menyerukan untuk nonton film Iqro: My Universe yang memenuhi standar religiusitas dan moralitas mereka, itu sama sekali tidak membantu perfilman Indonesia.