MOJOK.CO – Pasangan Nurhadi dan Aldo (Dildo) sebagai poros ketiga hadir meredam ketegangan Pilpres. Bikin beberapa projo dan probo bersatu jadi cebong dan kampret garis lucu.
Dunia politik (dan pershitpostingan) di Indonesia mendapat angin segar. Satu pasangan capres dan cawapres alternatif telah lahir sebagai poros ketiga, mereka adalah pasangan Nurhadi dan Aldo yang disingkat jadi Dildo.
Sebuah pasangan monumental yang seharusnya bikin para politikus Indonesia mesti belajar dari mereka. Eh, jangan ketawa, ini serius.
Masuknya Dildo sebagai poros ketiga bursa capres bukan sekadar meredam ketegangan antara cebong dan kampret garis keras, melainkan juga membuat para cebong dan kampret radikal beralih wujud menjadi cebong dan kampret garis lucu. Sebagai bonus, gaya komunikasi politik mereka terbukti mampu menggaet para kalangan apatis politik untuk mendukung paslon ini.
Bagi para fakir kuota atau orang yang jarang nongkrong di medsos, atau kalian yang terlalu banyak nyebar hoaks dan ujaran kebencian sampai-sampai lupa bersenang-senang di medsos, Nurhadi-Aldo adalah pasangan capres dan cawapres poros ketiga di luar daftar resmi KPU. Mereka diusung oleh Partai Untuk Kebutuhan Iman (disingkat PUKI).
Meski mereka merupakan capres dan cawapres fiktif yang dibuat berdasarkan sosok dua tokoh pershitpostingan Indonesia, nyatanya page Facebook mereka sudah di-like lebih dari 50.000 orang dalam kurun waktu dua pekan.
Melihat respons di FB, seminggu yang lalu pasangan Dildo ini membuka akun Instagram dan Twitter. Masing-masing medsos itu saat tulisan ini dibikin sudah diikuti hampir ribuan sampai puluhan ribu followers. Warbiyasak!
Data tersebut menunjukkan mereka memiliki peluang besar untuk menjadi penantang kuat dalam Pilpres 2019 mendatang. Belum percaya akan popularitas mereka? Page Nurhadi Aldo baru saja membuka polling tentang capres pilihan 2019 nanti. Hasilnya luar biasa, mereka unggul 89% dibandingkan Prabowo atau Jokowi. Mantap to?
Walaupun laman ini tujuannya bercanda, tapi belakangan mulai banyak yang sadar bahwa cara berkampanye capres dan cawapres ini bahkan lebih konkret dan nyaman disimak ketimbang dua poros utama Pilpres 2019.
Bahkan secara tidak langsung page shitpost ini menampar timses kedua paslon dan para politikus yang akan maju di Pemilu 2019 dengan memberikan contoh berkampanye yang baik dan benar sesuai kaidah dan tata krama yang berlaku. Tidak percaya? berikut saya rangkumkan untuk Anda para Mojokers sekalian!
Mengampanyekan Visi dan Program Kerja
Banyak yang mengkritik bahwa energi paslon Pilpres 2019 lari untuk hal-hal yang tak berfaedah. Misalnya ngurusi rumah tangga atau kemampuan mengaji para capres. Dildo menolak terjebak pada narasi wacana tak bermutu itu.
Daripada heboh dengan isu receh ala gosip selebritis, Nurhadi dan Aldo lebih memilih untuk mengampanyekan pandangan mereka berbagai fenomena dan menawarkan sederet program kerja yang di luar kotak dan—kadang-kadang—di luar otak sehat.
Visi ini yang bagi sebagian politikus lupa mereka sampaikan. Kebanyakan hanya sekadar lari ke citra fisik namun lupa kemampuan bernalar dan berpikir.
Simak pandangan Nurhadi yang mengkritik marxisme dengan cerdas. Dalam salah satu postingannya sang capres idola baru menuliskan:
“Jika Karl Marx memimpikan tatanan masyarakat tanpa kelas, lalu di mana kita akan belajar?”
Kritik ini membuka sudut pandang baru dalam memandang dan mengkritik marxisme. Sebuah perspektif yang belum pernah disinggung secara luas sebelumnnya. Keberanian Nurhadi untuk menyampaikan visi ini menunjukkan keunggulannya sebagai sosok capres alternetif yang luar biasa cerdas dan mencerahkan.
Sang cawapres pun tak kalah brilian. Aldo menyebut:
“Rajin bekerja hanyalah slogan yang diciptakan pemerintah saat ini agar kelas pekerja lebih giat memperkaya para investor.”
Waw, betapa cerdas dan antimainstream sekali.
Dari dua kutipan ini sesungguhnya kita sedang melihat bagaimana dua orang calon pemimpin saling melengkapi. Tidak terlalu nganan, tidak pula terlalu ngiri. Berada di titik ekuilibrium yang imbang dan stabil.
Visi itu kemudian diwujudkan dalam bentuk program kerja. Target kerja Dildo tak hanya fokus pada satu sektor masyarakat. Program yang mereka usung merangkul banyak kalangan, dari petani, pedagang, sampai anak warnet.
Semua diakui sebagai elemen bangsa yang memiliki kontribusi besar. Tidak ada peminggiran, semua dirangkul. Hal inilah yang membuat sebagian cebong dan kampret kemudian memilih insyaf dan beralih ke poros ketiga.
Mudah Dipahami dan Diingat Masyarakat
Pasangan Nurhadi dan Aldo juga jeli dalam membuat masyarakat memahami visi mereka. Kebanyakan politikus terjebak pada penggunaan bahasa yang keminter. Sudah begitu kadang-kadang meleset pula penggunaanya.
Dampaknya tidak hanya membuat si tokoh kelihatan konyol, tapi juga membuat pesan tidak bisa terkomunikasikan dengan baik karena masyarakat nggak paham dengan bahasa mereka yang ndakik-ndakik.
Bandingkan dengan gaya komunikasi Dildo yang lugas. Bahasa yang mereka pakai santai, layaknya bahasa sehari-hari. Mereka tak butuh bahasa sulit untuk menyampaikan pemikirannya.
Bahkan keduanya tak ragu untuk membalas komentar para simpatisannya untuk sekadar menanggapi masukan sampai melempar guyon tak senonoh. Kelihatannya selengean, namun pribadi yang jujur ini telah membuat puluhan ribu warganet kepincut karena mereka tampil apa adanya.
Untuk membantu masyarakat mengingat program mereka, tak jarang pasangan ini mengeluarkan singkatan atau akronim yang lekat dengan masyarakat. Simak program “Perekonomian Juara” mereka yang disingkat jadi Peju, atau langkah mereka menyusun “Kurikulum Pendidikan Tingkat Lanjut” yang kemudian disingkat menjadi Kulumpentil.
Simak juga bagaimana mereka menyingkat “Program Subsidi Tagihan Warnet Bagi Umum” yang agar mudah diingat diringkas menjadi Prostatbau. Sangat merakyat dan mudah diingat kan?
Langkah ini tampaknya cukup efektif mengingat masyarakat kita cenderung pelupa dan kelewat pemaaf, wong mantan napi pembunuhan keji saja bisa bikin partai, didukung dengan gegap gempita pula.
Kecerdasan Timses Dildo tak hanya pada kemampuan mereka merangkai kata-kata. Dari sisi estetika, visualisasi pesan kampanye mereka dikemas dengan serius. Saking seriusnya, tak jarang para simpatisannya bertanya, desainer grafis macam apa yang sekurang kerjaan ini ngurusi fanpage shitpost?
Tampilan yang estetik ini sekaligus membuat banyak orang tak ragu untuk membaca dan mengikuti lebih jauh pemaparan Dildo tak peduli seabsurd apapun pernyataan yang mereka keluarkan. Tampilan yang segar ini juga membuat para simpatisan tak malu membagikan kiriman Dildo ke akun medsos mereka masing-masing karena selain berfaedah, visualisasinya juga memperindah feed.
Untuk urusan visualisasi ini, tolong jangan bandingkan dengan politikus yang lain, apalagi di level daerah. Lihat baliho mereka saja rasanya sudah pingin muntah.
Antihoaks dan Tanpa Kebencian
Pasangan capres ini juga terindikasi antihoaks. Program kerja yang mereka susun sering kali dibuat berdasarkan data yang riil, bukan hasil mengarang indah apalagi mark-up data seperti salah satu lawan politik mereka.
Simak pemaparan Dildo tentang pentingnya perhatian kepada petani agar mereka tidak mudah terserang penyakit. Timses Dildo menyiapkan data resmi dari Badan Pusat Statistik untuk menggambarkan situasi di lapangan. Langkah serupa juga mereka lakukan saat berorasi tentang tingginya angka perceraian dengan merujuk data Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung.
Saya salut atas sikap konsisten pada data ini karena di sinilah sesungguhnya sikap negarawan diuji. Saya yakin memimpin negara tanpa data yang akurat hanya akan menggiring negeri ke dalam kehancuran. Rasanya konsep ini juga mesti dipahami para capres dan politikus di sekitarnya.
Timses Dildo juga responsif atas kabar hoaks yang beredar. Ketika muncul gambar Nurhadi dengan kutipan “Pendukung Prabowo ga bisa ngemim”, mereka sigap melakukan klarifikasi. Langkah ini mereka lakukan tak lain karena mereka antihoaks dan berupaya menjadi contoh kampanye damai.
Contoh yang mestinya juga ditiru politikus Indonesia mengingat hoaks sesungguhnya adalah akar terpecahnya suatu bangsa.
Dari semua keunggulan paslon ini, cara kampanye Dildo yang tanpa mengumbar kebencian adalah yang paling saya suka. Timses dan paslon Dildo menyebarkan kampanye dengan penuh cinta. Mereka bahkan tak ragu mengumpat cebong atau kampret yang nyasar ke kolom komentarnya. Hal ini menunjukkan keseriusan mereka dalam mengakhiri kebencian tanpa dasar yang lahir sejak Pemilu periode sebelumnya.
Tak seperti timses atau simpatisan capres yang lain, simpatisan dan timses Dildo jauh lebih penuh kedamaian dan cinta yang jenaka. Mereka juga menghindari atau menjelek-jelekkan capres lain. Fokus mereka hanya satu, mengampanyekan program Dildo tanpa menjatuhkan lawan. Strategi ini agaknya mampu meraih perhatian dan dukungan di tengah situasi politik yang semakin gaduh.
Untungnya, Dildo fiktif belaka, kalau betulan, saya khawatir Jokowi dan Prabowo betul-betul nyungsep di Pilpres 2019. #SalamDildo!