MOJOK.CO – Selama ini Grace Natalie selalu mencitrakan PSI sebagai partai anak muda. Lha begitu iklan PSI masuk tipi kok yang keluar malah selera humor bapak-bapak?
Jagat periklanan partai di tipi semakin semarak sejak Grace Natalie dari PSI terus-menerus muncul di layar kaca dengan guyon garingnya. Buat kamu yang belum tahu iklannya, oke, ini saya kasih contoh salah satunya.
Jadi gini. Tiba-tiba di layar tipimu muncul sosok Grace Natalie dengan latar belakang warna merah. Lalu dia memperkenalkan diri dari Partai Solidaritas Indonesia. Tiba-tiba tanpa ada juntrungan yang jelas, Grace Natalie kasih tebak-tebakan.
“Buah apa yang kulitnya kuning, dagingnya putih, namanya pisang, hayoo buah apa?”
….
….
….
Hm.
Bentar.
….
Oke baiklah, niat iklan PSI yang aneh ini mungkin bagus ya biar ada kesan beda, namun dengan berat hati saya menyebut strategi Grace benar-benar nggak sukses kalau niatnya mau bikin ketawa.
Ya, oke, sukses lah kalau indikatornya cuma sebatas popularitas. Faktanya toh nama Grace dan PSI semakin banyak diperbincangkan.
Yap, itu faktanya.
Bahkan Mbak Grace masuk jajaran peringkat empat ketum partai terpopuler versi Google Trends periode Januari-Februari 2019. Bersanding manis dengan Prabowo, SBY, dan Megawati. Tiga ketum partai yang udah jauh lebih senior.
Masalahnya indikator popularitas itu nggak serta merta bisa dikonversikan ke elektabilitas. Gampangnya, jadi terkenal itu gampang, tapi jadi idaman itu lain soal.
Ingat kan dengan iklan Partai Perindo yang dulu hampir selalu tayang berulang-ulang di stasiun tipi MNC Group sampai taraf mengganggu?
Nah, Partai Perindo memang semakin populer dengan model kampanye kayak begitu, tapi apa iya dengan itu orang lantas kepincut buat nyoblos Partai Perindo di Pemilu 2019 nanti? Hm, kok saya nggak yakin.
Tidak ada yang instan di dunia ini, begitu juga urusan lawakan receh model gitu biar dikenal cepat. Ngebom media massa arus utama dengan humor jayus bisa dikategorikan sebagai upaya instan buat jadi memelord.
Percayalah, memaksakan diri untuk jadi memelord bukan hal yang bagus. Kalau jadinya beneran lucu sih lumayan lah untuk hiburan, tapi kalau bikin cringe ya berabe juga.
Untuk urusan menjadi memelord, Indonesia sebenarnya sudah punya beberapa nama politikus yang secara natural sering nampang sebagai meme. Selain dua pasang kontestan Pilpres 2019 yang namanya sudah tak perlu lagi disebut, setidaknya ada satu pejabat publik yang punya reputasi lumayan bagus di kancah guyonan receh.
Ridwan Kamil namanya.
Saya bukannya mau bilang Ridwan Kamil sempurna sebagai memelord, tapi reputasinya sebagai bahan ketawaan sudah dibangun sejak lama dan bertahap.
Berbeda dengan politikus lain yang jadi bahan guyonan karena keisengan netizen, Ridwan Kamil secara sadar tampil dengan gayanya sendiri. Sejak belum menjadi pejabat publik, sosok ini sudah membanyol. Kebiasan ini dibawa ketika dia menjadi Walikota.
Bisa dibilang tren pejabat publik menjadi selebtwit dan selebgram juga diawali dari kiprah Ridwan Kamil. Memang kontennya nggak jauh-jauh dari dunia jomblo, namun harus diakui kontennya generik dan bukan hasil karya tim admin medsos yang dipaksa buat ngelucu. Itu sebabnya walaupun kadang norak, Ridwan Kamil selalu punya hati di kalangan pengikut setianya.
Jika dibandingkan dengan upaya Grace Natalie buat ngebodor, langkahnya agak tergesa-gesa dan terlalu maksa. Itu pun masih terasa guyonan yang difabrikasi, bukan becandaan yang secara alami muncul dari Grace Natalie sendiri sehingga bisa bikin orang tertawa secara langsung.
Percayalah Mbak Grace, humor itu urusan seni, seni tidak bisa diproduksi secara massal oleh tim kreatif begitu saja karena akan ada “rasa” yang hilang kalau ngejarnya cuma popularitas.
Humor pabrikan itu diperparah dengan distribusi yang kelewat masif. Dalam sehari, dalam perhitungan saya yang sangat tidak ilmiah, masyarakat Indonesia dipaksa nonton “kelucuan” ketua umum partai ini lebih dari 10 kali.
Tidak heran banyak Yutuber muncul dengan konten react nonton iklan PSI. Kenapa? Ya karena nggak mutu dan—parahnya—ketidakmutuan itu malah menjadi pundi-pundi uang dari adsense bagi para Yutuber lokal.
Alasan lain yang membuat langkah PSI ini nggak sukses-sukses amat adalah Grace dan PSI nongol dengan materi yang basi. Tren meme ini seperti tren batu akik atau tanaman gelombang cinta. Telat.
Ketika Grace nongol dengan guyon “seberapa gereget”, kancah per-meme-an Indonesia sudah move on. Tim kreatif PSI agaknya cukup sadar dengan ini dan segera mengganti strateginya dengan tebak-tebakan receh dan guyonan oneliner yang nggak kalah remeh.
Lawakan yang muncul terlalu acak dan tidak terarah. Padahal kan, secara sederhana suatu lelucon itu bakal lebih kena kalau muncul dari kegelisahan.
Lha kalau ngomongin buah-kulitnya-kuning-dagingnya-putih-namanya-pisang itu sampeyan gelisah di mananya, Mbak Grace?
Poin berikutnya adalah target guyonan yang nggak jelas.
Soal ini saya sampai sekarang masih nggak habis pikir. PSI kan mencitrakan diri sebagai partai milenial, partainya anak muda. Artinya target utama partai ini ada di kisaran pemilih pemula sampai sekitar usia 35 tahunan.
Saya menduga ide untuk membuat iklan PSI dengan gaya jokes receh ini terinspirasi dari tren “recehkan Twitter” yang membuat orang berlomba-lomba membuat twit humor singkat yang menggelitik. Biasanya humor begini direspons dengan balasan “yawla-selera-humorku” yang klise itu.
Namun jika ditinjau dari karakteristiknya, candaan Mbak Grace Natalie ini lebih cocok masuk kategori lelucon bapak-bapak di grup Whatsapps keluarga.
Ciri-cirinya antara lain humor receh yang lebih sering memicu reaksi bingung penikmatnya. Saya sih nggak akan protes, sebagai penikmat jokes bapak-bapak juga, toh saya menikmati reaksi ketawa orang bingung. Ya memang urusan selera lelucon itu bebas, tapi jujur saja, kalau targetnya ke pemilih muda, jokesnya agak kematangan.
Selain itu jokes yang dibawakan di iklan PSI ini dibawakan dalam format audio visual dengan durasi cepat. Beda dengan jokes dalam format visual seperti di Twitter atau Facebook, mengonsumsinya cukup dengan melihat dan membaca dan sisanya imajinasi khalayak yang dibebaskan mengonversikan candaan menjadi tawa.
Format visual juga membebaskan penikmatnya untuk berlama-lama melihat dan memberi waktu berpikir. Itu sebabnya belakangan ini banyak sekali guyon plesetan yang memaksa penikmatnya untuk mikir keras lucunya di mana, tapi ketika ketemu akan ada tawa puas karena serasa berhasil memecahkan puzzle humor.
Karena iklan PSI ada unsur audio dan visual, maka teknik pembawaan juga harusnya lebih tepat. Urusan ini yang bisa jadi merupakan zonk terbesar dari iklan PSI karena Mbak Grace tidak mencoba teknik delivery seperti para stand up comedian profesional.
Durasi iklan yang terlalu pendek juga membuat penonton kaget karena tidak ada set up yang cukup untuk membuat para penonton tune in dan siap menerima punchline tebak-tebakan niat lawakan itu.
Bayangkan saja bagaimana rasanya saat kita masih sedih karena tokoh utama dianiaya di sinetron azab, tahu-tahu disodori lawakan instan Grace Natalie. Ya kan canggung. Mau ketawa kok ya masih ingat dosa.
Saran saya untuk Mbak Grace Natalie, daripada miliaran rupiah dibuang buat ngereceh di tipi yang absurd, lebih baik fokus deh ke dunia Internet. Toh dari survei lembaga riset Nielsen terakhir menyatakan generasi Y dan Z Indonesia yang akrab disapa millenials itu lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya daripada tipi.
Jadi ketimbang itu duit dipakai buat bikin iklan tipi, mending bayar tukang bikin meme dan menyebarkannya di berbagai medsos. Lagi pula survei kecil-kecilan saya udah membuktikan ketimbang tambah bayar listrik karena pasang tipi, para milenials lebih milih beli kuota unlimited.
Saya jamin Mbak Grace, iklanmu lebih tepat sasaran.
Kecuali kalau Mbak Grace mau kerja sama dengan saya. Bisa kok dibikin tulisan yang mengritik sampeyan padahal isinya juga ikut ngiklanin PSI tanpa disadari pembaca dan saya sendiri sebagai penulisnya.
Gimana?