Yogyakarta dan bangunan tua adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Termasuk di antaranya banyak bangunan sekolah peninggalan masa lalu yang kemudian memunculkan mitos sebagai sekolah angker.
“Ketika suara piano itu mengalun, aku hanya bisa diam. Aku melihat sekitar, suasana sore terlalu membawa pikiranku ke dalam hal-hal yang mengerikan. Rasanya, ya, seperti aku dimakan pelan-pelan oleh senja yang perlahan menjadi gelap. Lantas… suara piano itu mengalun dengan getir,” tutur Drian dalam sebuah percakapan yang terjadi beberapa tahun yang lalu di sebuah taman salah satu sekolah favorit di Jogja.
“Suasananya sama seperti saat ini. Pukul setengah enam, cahaya matahari bersembunyi di balik dedauan. Angin yang bukan bikin segar tapi bikin bulu kuduk ini berdiri. Biasanya, akan terdengar suara piano yang mengalun, entah sumbernya dari mana,” Drian menceritakan. Pulang sore, bagi mantan Ketua OSIS sepertinya, adalah sebuah keharusan yang nggak bisa ditawar-tawar.
“Mungkin berasal dari ruang musik, Mas?” tanya saya.
Drian hanya diam beberapa saat, lantas melihat ke kanan dan ke kiri, mulutnya berkata dengan lamat-lamat. “Ya, memang bermuara dari sana. Kata para seniorku dulu, itu adalah permainan piano salah satu murid SMA ini yang tewas bunuh diri. Ia nggak sempat ikut lomba karena ada kawannya yang justru terpilih mewakili sekolah, dan pada akhirnya ia memutuskan tewas gantung diri di ruang musik sekolah ini.” Karena kejadian itu tempatnya belajar kemudian dikenal sebagai sekolah angker.
Saya hanya diam mendengarkan Drian. Ia yang kini menjadi salah satu mahasiswa berprestasi di salah satu universitas negeri favorit di Jogja itu hanya bisa mengusap-usap lengannya. Matanya seperti hendak menggapai udara. Bola matanya terus bergerak, nggak pernah fokus membalas tatap mata saya. Angin kembali semilir mendatangi kami yang tengah berbincang banyak perihal mitos hantu di sekolah ini. Dedaunan yang gugur, tanpa permisi menambah suasana medeni yang sedang melanda kami. Ya, suasana yang dibuat amat sengaja oleh kami.
Bagi Drian, tiap sekolah memiliki kisah-kisah horornya tersendiri. “Sialnya, hantu di SMA-ku dulu itu serem banget. Okelah kalau mewujud, bisa jadi traumatik dan mawas akan bentuk, ha nek cuma suara piano, itu bikin traumatik menahun tiap ada yang main piano di ruang musik. Nggak hanya di ruang musik sekolah, wes. Aku bahkan takut denger adikku main pianika di dalam rumah. Setraumatik itu, lho.”
Drian bercerita lebih lanjut, pernah, piano itu berdenting pada pukul empat sore. Ketika semua ekstra sedang bersiap untuk usai. Semua orang yang mendengar, lari tunggang-langgang. “Padahal, yang main itu guru musik dan beberapa murid, guna mempersiapkan lomba esok hari,” katanya.
Drian mengatakan, ia yakin tiap sekolah punya mitos hantu bermain piano. Sama halnya dengan mitos di mana letak kamar mayat, bagi sekolah bekas rumah sakit. “Dan hantu piano di sekolahku ini, anjiiir serem banget,” katanya.
“Pernah ada yang melihat sosok hantu lain, selain bermain piano?” tanya saya.
Drian menganggukan kepala. menurutnya, paling seram tetap mitos hantu bermain piano pada sore menjelang malam. Hanya denting saja yang terdengar, bukan penampakan, tapi itu seram bukan main, tuturnya.
Hari kian sore, matahari sudah tidak lagi kuasa memberikan sinarnya bagi halaman sekolah ini yang memiliki dua pohon besar pada bagian tengah. Angin semilir membelai pundak saya. Hening begitu dominan di antara kami—saya dan Drian. Ia sibuk bermain ponsel, janjian dengan kawannya yang lain, di tempat yang lain pula. Sebelum pada akhirnya… suara piano dengan denting lirih itu menyapa pendengaran kami. Saya bisa menebak, mata saya terbelalak. Pundak saya terasa kebas nggak bisa gerak. Sedang gigi saya bergemeretak.
“Sudah, pulang aja, yuk?” tawar Drian. Dengan anggukan paling ritmis, saya mengiyakan.
Kepala tanpa badan dan teori kamar mayat
Andra (24), salah satu alumni sebuah SMP di Yogyakarta punya pengalaman horor yang cukup menarik. “SMP aku itu dikenal amat horor. Bangunannya tua, dekat Taman Sari, dan katanya, sih, bekas rumah sakit. Hawanya sejuk, namun jika terlalu lama merasakan udara yang berputar di dalamnya, rasanya seperti ada yang memeluk dari belakang, banyak mata yang mengintai, dan suara-suara lirih aku dengar dari sepenjuru ruangan,” ungkapnya.
Andra awalnya hanya merasa itu adalah perasaan takutnya saja. “Ternyata, beberapa kawanku turut serta mengalami perasaan serupa. Halusinasi yang kian hari kian bertambah. Katanya, ada kamar mayat di sekolah dan semua siswa bertanya-tanya; di mana kamar mayat itu?” katanya.
Dan kata Andra, itu hanya sebatas teori-teori saja. “Teori yang terkenal ya di ruangan TIK,” katanya.
Laki-laki yang beberapa kali pernah kesurupan ini mulai bercerita. Ia sangat sebal karena menjadi murid yang datang paling pagi ke sekolah. “Ayahku itu kerja amat pagi, dalam perjalanan menuju tempat kerja, aku turut nebeng agar nggak repot harus naik ojek atau bus saat pergi sekolah. Yah, itung-itung hemat ongkos. Nah, tiap datang ke sekolah, aku adalah murid pertama yang sampai sana. Itu rasanya… aduh.”
Andra menuturkan bahwa hal yang paling seram adalah koridor sisi Utara. “Dulu, koridor itu seram sekali. Lantainya licin mengkilap seperti pualam, dinding yang tinggi menjulang, jendela-jendela yang besar dan lebar. Masuk ke sana, saya seperti masuk dalam film horor ala Eropa saja. Dan kelas delapan, kelasku ada di bagian pojok, lantai dua, sebelah Utara. Itu tandanya, aku harus melewati ruang TIK,” katanya.
Ia melanjutkan cerita, menurut teori yang paling terkenal di zamannya sekolah, di ruang TIK itulah kamar mayat dulu berada. Ruangannya yang terasa singup, di pojok, jauh dari hiruk pikuk orang berlalu-lalang, amat cocok dijadikan kamar mayat. “Tiap pagi, nah, aku harus melewati tempat itu… astaga, kalau diingat agak bikin merinding sekaligus ngilu.”
Andra bercerita dengan begitu semangat melalui via telpon, sedang saya yang mendengar, menjadi merinding dibuatnya. Apalagi, Jogja beberapa hari ini hujan dan udaranya cukup sejuk. Entah apa korelasi antara dingin, sejuk, dan cerita Andra, namun akhir dari penuturannya membuat saya saya berhenti bernapas beberapa detik, andrenalin berpacu, laptop yang berpendar di tengah gelap kamar saya langsung saya tutup, dan tentu saja bikin merinding setengah mati.
“Suatu saat aku melewati tempat itu,” katanya, penuh dengan jeda. Dan itu—menurut saya—agak menyebalkan. “Pagi itu amat dingin, seperti malam ini. Nggak ada kabut pagi itu, toh area Kraton itu termasuk kota, namun rasanya cahaya matahari nggak bisa lolos dari rapatnya dinding yang memeluk koridor Utara itu. Aku berjalan, tak ada orang selain aku dan bayanganku. Sepi adalah kawan, rasa takut pun turut menjadi rekan,” ujarnya dengan sedikit melankolik.
Andra berjalan dan berjalan, sampai tangga menuju ruangan kelas, di bawah tangga itu adalah ruang TIK, ia melihat sesuatu yang melintas. “Seperti anak kecil. Di bawah tangga. Depan ruang TIK. Kan teori film horor, kalau melihat atau mendengar apa-apa, jangan diikuti, ya. Nah, gobloknya aku, malah mencari tahu, tadi itu siapa.”
Dengan nada yang ia pelankan, sinyal yang sedikit ndlap-ndlup lantaran pascahujan, Andra berujar dengan lirih dan pelan. “Ketika mataku menyapu dekat ruang TIK, aku mendapati ada kepala yang melihatku balik dengan tatapan galak.”
Saya memastikan, kepala apa dan bagaimana? Andra menjawab lagi dengan tegas, “Iya, kepala. Dan… tanpa badan.”
Andra memberikan keterangan, kisahnya ini tak pernah ia bagikan kepada siapapun selama ia bersekolah di sana. “Bagiku, ya, kisah horor di sekolah itu biasa aja. Tiap sekolah itu ada kisahnya tersendiri. Tapi setelah aku keluar, mendengar banyak cerita horor dari orang lain, saya sadar, ceritaku lumayan seram juga,” katanya.
Laki-laki yang menyamarkan namanya itu menutup, “Walau agak mainstream, ya, ceritaku perihal mitos hantu tanpa kepala? Sering terjadi mitos seperti itu di sekolah lain juga. Ya, ibaratnya sama mainstream-nya seperti kisah hantu di kamar sendiri, hmm… yang ada di dalam lemari pakaianmu ketika malam. Jam sebelas akan gerak-gerak memberontak. Dan itu bisa saja benar apa adanya…”
Ambulans yang melintas ketika malam di belakang sekolah
Cerita sekolah angker diceritakan Asyd (24) alumni SMA negeri di Banguntapan, Bantul. Sebelum jadi sekolah, lokasinya seperti hutan. Setelah itu berdiri sebuah sekolah, pindahan dari Kota Yogyakarta.
Asyd bilang bahwa sejatinya gedung-gedung sekolahnya itu nggak bisa dimasukan kategori seram lantaran kebanyakan baru dibuat. “Berdiri Maret 1997, sama aku aja tua usiaku. Dibilang gedungnya horor, sih, enggak. Lha wong kebanyakan masih baru. Namun suasana ketika malam, itu berbeda sekali dengan suasana ketika siang. Eh, pagi juga agak bikin merinding, sih. Apalagi sekolahku yang pernah juara Adiwiyata nasional ini, banyak pohon tinggi yang memberikan efek sejuk, namun medeni bikin ngewel kalau sendiri.”
Sekolah yang terus berbenah dengan cara membangun infrastruktur bagian depan ini memberikan pengalaman yang tidak mungkin dilupakan oleh Asyd. “Aku kan anak Dewan Ambalan, ya, jadi diam di sekolah ini sampai malam atau bahkan pagi itu hal biasa. Banyak hal yang pernah aku dengar, bahwa sekolah ini dulu, ketika masih berbentuk alas, menyimpan pusaka-pusaka. Ada pula yang bilang di dekat gerbang, ada penghuni tak kasat mata yang belum juga pindah tempat mencari tempat yang lebih wingit,” kata Asyd.
Dengan badannya yang terus bergerak-gerak, kakinya yang nggak bisa diam selama duduk di samping saya, Asyd menceritakan pengalamannya yang masih berhubungan dengan dunia Pramuka. “Kalau pengalamanku ya waktu jaga pos belakang sekolah, dalam acara jelajah malam Gladian Pemimpin Sangga. Kondisi malam itu lampu jalan belum seterang sekarang. Pun jalan masih pating gronjal, suasana sepi, dan lapangan belum ada aktifitas perekonomian ketika malam seperti orang-orang yang berjualan. Intinya, sepi… amat sepi. Bahkan sepi itu rasanya begitu mencekik.”
Penuh dengan ketakutan, Asyd melanjutkan, “Nah, beberapa peserta kan lewat. Paling hanya dua menit untuk mengerjakan soal. Setelah kembali sepi, bau telo tecium. Di pikiranku, lari ke sekolah adalah pilihan wajib. Tapi yo isin, cah Pramuka, jhe. Sedang bau telo bakar itu pertanda ada kuntilanak. Bau telo itu jauh, katanya, sih, kuntilanaknya dekat. Kalau baunya dekat, maka sebaliknya.”
Asyd yang katanya nggak religius-religius ini pun mulai berdoa. “Apa aja doanya aku sikat, deh. Mulai dari doa makan sampai doa orang tua. Pikirku, setan itu alergi sama bahasa Arab,” katanya.
Ia melanjutkan, “Suasana sepi sama sekali. Hanya suara jangkrik dan beberapa kicau burung hantu. Tepat dari arah Timur, dari arah Desa Kepuh, terlihat sebuah mobil putih berjalan. Anehnya, nih, ya, tanpa lampu dan pelan sekali.”
Asyd berkali-kali memegang lengannya dan menarik ritsleting jaketnya sampai menyentuh lehernya yang tambun. “Aku langsung berdiri. Mobil itu amat gelap dalamnya, kacanya transparan gitu jadi aku bisa nyawang. Makin dekat, makin dekat, makin dekat, melewati aku, ah…. Bajingan, sumpah deh itu mobil ambulans. Bikin tambah merinding lagi, nggak ada orangnya di dalam sana. Babar blaaaas kosongan.”
Asyd menambahkan detail, bahwa mobil itu terlihat amat tua. Tidak ada stempel rumah sakit atau badan sosial yang menyediakan ambulans tersebut. “Mobilnya putih mbladrus gitu. Bentuknya juga bukan seperti ambulans modern pada umumnya. Seperti mobil kol, namun ada tulisan ambulans.”
Bagi Asyd, belakang sekolah adalah tempat yang masih menyeramkan sampai sekarang. “Kayaknya sih masih sepi. Belum banyak perumahan atau dibangun bangunan gitu. Melewati daerah itu tiap malam, hanya ada dua hal yang saya ingat; ambulans tua tanpa ada yang nyetir, juga ketika aku ngompol di celana karena saking takutnya…”
Menelusuri eksistensi hantu Suster Yani
Berbagai media, menyebut bahwa sekolah bekas rumah sakit ini sebagai sekolah paling angker di Jogja. Saya pun mencoba menelusuri fakta-fakta yang ada di sekolah yang katanya masih menyimpan bekas lemari kamar mayat. Dias (23) salah satu alumni yang nggak mau disebut nama aslinya berujar bahwa suasana di SMA itu memang agak janggal.
Apalagi ketika masuk beberapa ruangan yang masuk dan nggak dapat cahaya matahari langsung. “Nah, kalau perihal lemari bekas kamar mayat itu agak kurang tahu, sih. Lagian apa seremnya lemari bekas kamar mayat? Bukannya lebih serem itu kamar mayatnya, ya?” tuturnya.
Dias juga selama bersekolah di sana belum pernah mengalami hal-hal yang kelewat menyeramkan. “Palingan hanya dijawil dan disuruh pulang lewat bisikan, Mas. Selebihnya (melihat hantu, red) nggak pernah dan jangan sampai lah jancuk!” umpatnya via telfon yang terdengar lucu alih-alih seram.
Saya bertanya, bukankah interaksi “menyentuh” seperti dijawil itu lebih menyeramkan ketimbang sekadar melihat, Dias menolak. “Menurut saya lebih seram kalau lihat secara langsung. Kalau dijawil, kan kita nggak tahu si hantu ini bentuknya gimana. Lucu seperti Casper atau seram seperti Valak, kan nggak tahu. Nah aku biasanya berpikir positif, hantu yang njawil aku itu bentuknya lucu,” katanya sembari melepaskan tawa yang amat pelan.
Saya bertanya perihal bisikan yang pernah ia terima. “Iya, itu bisikan seorang perempuan gitu. Mas, udah sore, pulang atau malang, kiranya begitu suaranya. Aku kira kan guru, tapi kalau dipikir-pikir, suara manusia biasa nggak seperti suara all around you yang mengitari telinga dan bikin merinding seperti suara Dolby Digital di teater bioskop. Tanpa menengok atau mencari sumber suara, saya yang sedang ngaso sore-sore itu langsung manthuk-manthuk, lantas menjawab dengan sopan; nggih, Mbak, saya pulang sekarang,” kisahnya.
Ketika disuruh bercerita bagaimana bisa sampai ia dijawil, Dias menolak. “Udah, ah, aku nggak mau menceritakan lebih jauh. Lagi pula, ceritaku ini nggak serem-serem amat kok,” begitu dalihnya. Ketika ditanya mengenai Suster Yani, ia mengatakan nggak tahu menahu.
Ada yang janggal dengan keterangan Dias bahwasannya mitos perihal Suster Yani itu amat melegenda SMA itu. Dari sumber lain, sebut saja Arka (25) ia tahu mengenai mitos hantu Suster Yani namun tak pernah bersua dengannya. “Untungnya, ya. Tapi dapet info dari kakak kelas di tongkrongan, sih, hantu itu pernah dilihat oleh salah satu dari mereka,” katanya, ketika saya minta kontaknya, Arka sudah hilang kontak dengan kakak kelasnya tersebut.
“Ini ceritanya yang saya ingat, ya. Jadi maaf jika ada salah menerima atau mendengar. Toh udah beberapa tahun silam. Kakak kelasku itu bercerita, ketika sore hendak pulang sekolah, ia melihat ada seseorang yang memasuki kelas—duh, kelasnya aku lupa, Mas. Kemudian ia buntuti, ketika hendak masuk kelas, di depannya sudah ada sosok putih pucat, rambut panjang, dan katanya matanya hitam legam,” ceritanya via pesan Instagram.
Ketika saya tanya apakah yakin sosok putih itu seorang suster atau ada keterangan lain semisal pakaian, Arka mengetahui bahwa kakak kelasnya itu nggak menjelaskan secara detail. “Namun, banyak yang menduga bahwa itu adalah sosok Suster Yani. Ia juga pernah bilang, ketika malam, ada sosok putih yang mak sliwer melewati dia dan lari tunggang langgang ambil kendaraan untuk pulang,” tutupnya.
Rambut rontok di ruang multimedia SMA
Sejatinya rambut rontok, bagi perempuan maupun laki-laki itu adalah sebuah keadaan yang bisa dijelaskan dalam sudut pandang kesehatan. “Tapi kalau rambutnya yag rontok itu banyak sekali seperti dipotong, kan aneh,” ujar Han (27) yang bercerita dalam pesan Instagram.
Ia alumni SMA yang muridnya putri semua. “Wilayah sekolahku itu dulunya semacam bekas tanah patih Kraton atau bagaimana gitu, makanya nama daerahnya Prawirodirjan.”
Soal anggapan menjadi sekolah angker, Han mengenang sekolahnya memang dikenal wingit. “Misalnya ada pohon mangga tua di lapangan basket. Nah, saking melegendanya pohon mangga itu, beberapa siswa di angkatanku pada manggil pohon itu dengan sebutan Simbah. Mungkin angkatan-angkatan saat ini juga manggilnya Simbah karena itu seperti kaderisasi, turun temurun,” katanya.
“Dari pohon itu, semacam kekuatan sentralnya, di daerah lain pun banyak mitos-mitosnya. Misalnya di ruang multimedia. Di eraku dulu—enggak tahu kalau sekarang, udah renovasi atau penempatan ruangnya berubah—ruang multimedia itu pojok nyempil dekat ruang aula utama sekolah. Ruangannya nggak besar-besar banget, tertutup ruangan besar lainnya seperti aula. Ditambah nggak ada jendela. Jadi pengap. Masuk ke sana, rasanya pikiran udah parno duluan,” tambah Mbak Han.
“Blaaas nggak ada cahaya matahari yang masuk. Ya, pengap, ya, serem bukan main. Dan dari sana, banyak mitos hantu yang berkeliaran. Salah satunya adalah si Mbak penghuni ruangan multimedia,” tutur Han.
Dengan mengetik sekaligus bercerita banyak, Han memberikan keterangan bahwa tidak ada yang tahu mitos si Mbak itu berasal. “Di sekolahku nggak ada jejak yang bunuh diri. Nggak ada pula yang aneh-aneh gitu. Menurut kabar, sih, itu penghuni lama.”
Ditanya perihal mengganggu atau enggak, Han berkata bahwa semua banyak yang maklum. “Ganggu, sih, nggak. Pernah suatu saat ketika pelajaran, si Mbak itu nyaru jadi siswa yang lagi mengikuti pelajaran. Bingung dong, kok siswanya lebih banyak, atau ada yang janggal lainnya. Gila merinding banget tiap presensi, ada yang lebih gitu, suasananya tambah bikin deg-degan.”
Han menuturkan bahwa si Mbak itu nggak hanya nimbrung saat pelajaran, namun juga saat sudah usai. “Coba bayangin, ada rambut di ruangan itu. Okelah rambut rontok wajar, tapi kalau banyak banget seperti rambut habis dipotong, kan jatuhnya aneh. Nggak ada siswa yang potong rambut di ruang multimedia, aku sih pasti yakin, kawan-kawan aku kalau mau potong rambut milih di salon ketimbang di ruangan multimedia,” tutupnya.
BACA JUGA Makam Rara Mendut dan Pesan Perempuan Cantik Berambut Panjang dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.