Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Akui Saja, Sejak Kecil Kita Memang Dididik untuk Rasis

Fawaz Al Batawy oleh Fawaz Al Batawy
1 November 2017
A A
diskriminasi

diskriminasi

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] Jangan kaget melihat anak kecil rasis dan bahkan sampai melakukan kekerasan fisik. Itu sudah terjadi bergenerasi-generasi.

Empat orang anak mengepung saya. Memukul saya menggunakan tas milik mereka. Saya berusaha melindungi diri sebisa mungkin. Kantung plastik berisi es kelapa muda yang saya beli di halaman sekolah saya lemparkan ke arah salah seorang di antara mereka. Selanjutnya saya melepas tas yang saya gendong di punggung, menggunakannya untuk menghalau serangan dari keempat anak itu. 

Awalnya mereka menyerang saya karena kelas mereka kalah saat bertanding sepak bola dengan kelas saya. Entah mengapa saya yang menjadi bulan-bulanan mereka. Padahal ada belasan anak lain dari kelas saya. Tak berapa lama akhirnya saya paham mengapa saya yang mereka incar.

Sembari terus mencoba memukul saya, mereka berteriak, “Arab goblok!”, “Dasar onta!”, “Idung panjang! Idung pinokio! Idung gede!”, dan beberapa ejekan rasis lainnya.

Diskriminasi ini terjadi di perbatasan Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat saat saya duduk di kelas tiga sekolah dasar. Mereka yang menyerang saya setelah pulang sekolah adalah anak-anak kelas empat.

Dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan rumah, jika ada sedikit saja kesalahan yang saya lakukan, caci maki semacam “Arab bahlul”, “Onta geblek”, “kontol gede” harus saya terima dengan saksama. Hingga saat ini, entah dimulai sejak kapan, ketika kembali ke kampung saya di Rawabelong, saya masih disapa dengan panggilan “Idung”, sapaan rasis yang perlahan saya maklumi dan anggap candaan belaka.

Adik laki-laki saya disapa “Ayam Sayur” karena keturunan Arab dianggap pemalas dan lamban. Dan, bukan sekali dua saya mendengar mereka mengejek Umi dan saudara-saudara perempuan saya, mereka kerap bilang perempuan-perempuan keturunan Arab nafsu seksualnya besar. Saya yakin kamu-kamu semua juga kerap mendengar selentingan semacam itu, dan diam-diam banyak di antara kamu yang mengamini diskriminasi dan stereotipe itu.

Secara genetis, darah Arab di tubuh saya hanya seperempat saja. Itu berasal dari kakek saya dari pihak Ibu. Konon ia dan keluarga besarnya datang ke Batavia dari Hadramaut yang sekarang masuk wilayah Yaman. Ia datang untuk berdagang di Batavia, kemudian orang Arab ini menikah dengan gadis Betawi yang ia temui di Rawabelong.

Sedang dari pihak Bapak, gen saya murni Betawi. Konon lagi, nenek moyang Bapak adalah rombongan awal yang membuka kampung di Rawabelong. Jika merunut ini, saya lebih Betawi dibanding mereka yang mencemooh saya dan keluarga. Sayangnya, gen yang seperempat itu begitu dominan pada penampilan saya dan saudara-saudara saya. Hidung kami berbeda dari mereka, dan tampilan fisik kami lainnya pun begitu.

Serangan-serangan rasis yang saya alami semasa kecil akan mereda jika ada sasaran lain, bukan lagi kepada keturunan Arab, tetapi kepada mereka yang berada pada posisi puncak diskriminasi dan perlakuan rasis: para keturunan Tionghoa. Jika kepada saya ejekan biasanya diawali setelah saya membuat kesalahan, kepada mereka keturunan Tionghoa, tidak perlu semua itu.

Mereka datang, perilaku rasis lekas dimulai. Dahulu saya selalu merasa bersyukur saat ejekan kepada saya berhenti karena kedatangan anak-anak keturunan Tionghoa. Sering saya juga turut serta berlaku rasis agar dianggap setara dengan mereka yang berlaku rasis itu, sekaligus untuk melampiaskan kekesalan saya karena diperlakukan rasis.

“Cine”, “encek”, “sipit”, dan bermacam ejekan lainnya berhamburan menyerbu anak-anak keturunan Tionghoa tanpa mereka tahu apa salah mereka. “Pelit”, “Medit”, “Licik” keluar untuk menghina karena stereotip yang ditimpakan kepada mereka seperti itu. Sedang untuk mereka keturunan Tionghoa tetapi dianggap miskin, ejekan “Cina nggak punya toko” harus mereka terima. Sejak kecil perilaku-perilaku kebencian semacam ini sudah diajarkan. Entah semua itu dimulai sejak kapan, saya tidak tahu pasti. Dan apakah semua itu sudah dihentikan kini, saya juga tidak tahu pasti. Namun, saya pesimis jika semua itu sudah berhenti.

Perilaku-perilaku rasis terus-menerus diproduksi, direproduksi, dimodifikasi, dan diperbaharui. Selanjutnya, secara sadar atau tidak, perilaku itu ditularkan kepada generasi selanjutnya. Orang tua saya mengalami, saya mengalami, dan generasi di bawah saya, saya kira juga mengalaminya. Semua ini belum akan segera berakhir.

Selain keturunan Arab dan Tionghoa, masih di kampung saya, Jawa dan Padang juga kebagian jatah untuk diejek. Ejekan-ejekan yang saya dapatkan perlahan berkurang sejak saya merantau ke Yogya, tetapi kemudian pasang lagi dalam gelombang yang lebih deras setelah keberadaan media sosial dan Habib Rizieq membuat ulah.

Iklan

Ketika di Jakarta, hampir semua suku dan etnis di luar Betawi menjadi bahan ejekan. Di Yogya pun begitu, yang dari luar Jawa kerap menjadi bahan ejekan karena Arab. Bahkan sama-sama berbahasa Jawa tapi beda logat (Banyumasan, misal) tetap menjadi bahan ejekan. Mungkin maksudnya sekadar candaan, namun saya pikir tidak ada candaan yang lebih busuk dibanding candaan-candaan berbau SARA.

Kecuali Kalimantan, saya sudah mengunjungi semua pulau-pulau besar di negeri ini. Dan di semua tempat, ada saja diskriminasi dan perlakuan-perlakuan rasis yang saya terima karena tampilan fisik saya yang berbeda. Saya enggan menggeneralisir, tetapi, ayolah, mari kita akui bersama-sama, berlaku rasis dan kerap menyinggung unsur SARA itu sudah menjadi tabiat bukan?

Cara demikian sudah menjadi cara untuk mempertahankan identitas dan merasa berkuasa terhadap sebuah wilayah. Kuasa politik dan terutama kuasa ekonomi. Maka, ketika isu pribumi kembali ramai diperbincangkan, kemudian ramai-ramai dipermasalahkan, akui saja, di lubuk hati terdalam, sentimen perbedaan serta diskriminasi entah itu perbedaan suku, agama, ras, dan golongan selalu bergejolak dalam diri kita. Perasaan paling pribumi selalu kita simpan karena memang sedari kecil, begitu kita dididik, bukan?

Terakhir diperbarui pada 1 November 2017 oleh

Tags: anakArabbullyingcinaDiskriminasijoseph sebastian zebuaRas Arabrasissekolahtionghoa
Fawaz Al Batawy

Fawaz Al Batawy

Artikel Terkait

Guru tak pernah benar-benar pulang. Raga di rumah tapi pikiran dan hati tertinggal di sekolah MOJOK.CO
Ragam

Guru Tak Pernah Benar-benar Merasa Pulang, Raga di Rumah tapi Pikiran dan Hati Tertinggal di Sekolah

8 November 2025
Rahasia di Balik “Chindo Pelit” Sebagai Kecerdasan Finansial MOJOK.CO
Esai

Membongkar Stigma “Chindo Pelit” yang Sebetulnya Berbahaya dan Menimbulkan Prasangka

29 Oktober 2025
Relawan di GIK UGM mencegah bullying. MOJOK.CO
Kilas

Ratusan Relawan di GIK UGM Siap Berkeliling ke Sekolah di Yogyakarta untuk Memberantas Bullying

4 Mei 2025
pencari kerja usia tua asal Malang menderita. MOJOK.CO
Mendalam

Syarat Usia Melamar Kerja Sebaiknya Dihapus Saja, Cuman Bikin Pencari Kerja Usia Tua Putus Asa

29 April 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.