MOJOK.CO – Ini dia mekanisme menurut UU jika hanya ada satu calon di pilkada.
Yang namanya kontestasi, paling enak ya kalau ada kontestannya. Termasuk di pilkada.
Apalagi berebut kursi kepala daerah, semangat para partai politik ataupun perseorangan dalam mengusung berbagai variasi calon pemimpin daerah dipastikan semarak: hampir setiap daerah mempunyai setidaknya dua calon kepala daerah yang akan bertanding memperebutkan kepercayaan rakyat di daerahnya masing-masing.
Bahkan, bersumber dari situs web KPU, semangat demokrasi ini bisa dilihat dari adanya 8 calon yang telah mendaftar menjadi calon wali kota di Kota Palangkaraya. Fenomena ini membuat ongkos pencetakan surat suara pemilu Palangkaraya dipastikan membengkak di bagian tinta printer. Yang sabar ya KPU, Palangkaraya emang kompetitif gitu orang-orangnya.
Tapi, bagaimana ceritanya kalau ternyata di daerah tertentu hanya ada satu calon yang mendaftar sebagai calon kepala daerah? Apakah mungkin!?
Yha, mungkin saja! Fenomena calon tunggal inilah yang terjadi kepada 11 daerah dalam pilkada 2018, yakni di Kabupaten
- Tangerang,
- Lebak,
- Pasuruan,
- Enrekang,
- Minahasa Tenggara,
- Mamasa,
- Tapin,
- Jayawijaya,
- Padang Lawas Utara,
- Kota Tangerang (iya Tangerangnya dua, saya juga baru tahu), dan
- Prabumulih.
Bayangkan ketika acara debat publik nanti: alih-alih berdebat dengan calon lain, para calon tunggal ini akan melakukan debat terbuka dengan masyarakat! Berdebat dengan pemuka agama! berdebat dengan alam semesta! Berdebat dengan dirinya sendiri! Waw.
Lalu bagaimana sistem pencoblosannya? Apa yang mau dipilih kalau pilihannya cuma satu?
Tenang, guys, DPR yang sudah paham akan keresahan masyarakat ini mengesahkan UU No. 10 Tahun 2016 yang menjabarkan solusinya dengan ciamik. Hayo, bilang apa sama Mas Fadli Zon dkk.?
Solusinya adalah: para calon tunggal akan disandingkan dengan kolom kosong!
EMEJING sekali bukan?
Yha, proses pencoblosan akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal di daerah masing-masing. Untuk daerah dengan calon tunggal, para pemilih akan diberikan kertas yang berisikan (tetap) dua kolom: Kolom pertama adalah foto si pasangan calon tunggal, yang satunya adalah kosong. Yha. Kosong. Bahkan tidak ada avatar default seperti Facebook atau siluet telur seperti Twitter. Hanya kosong saja. Bersih. Cling.
Calon tunggal dianggap memenangkan suara di daerahnya ketika dia dan pasangannya mendapatkan lebih dari 50% dari suara sah. Artinya, harus ada lebih dari setengah jumlah orang yang memilihnya dibandingkan kebersihan kolom kosong yang fitri itu. Perlu dicatat bahwa golongan putih tidak dihitung memilih kolom kosong, ya!
Karena dipaksa society untuk kritis, akhirnya muncul pertanyaan,
bagaimana kalau ada calon tunggal yang kalah perolehan suaranya oleh kolom kosong? Apakah daerah itu akan dipimpin oleh kekosongan? Ataukah daerah tersebut akan menjadi negara sendiri dan dipimpin oleh anonymous seperti di film “V for Vendetta”?
Dan yang terpenting,
apakah sang calon tunggal kejiwaannya akan terguncang ketika mengetahui kenyataan kalah dari no one alias kalah tanpa lawan?
Tenang, DPR (lagi-lagi) sudah memikirkan skenario unik ini di dalam UU No. 10 Tahun 2016 dan kembali memberikan solusi. Hayo, bilang apa sama Mas Fadli Zon dkk.?
Menurut Pasal 54D, apabila sang calon tunggal ditumbangkan oleh kolom kosong, maka sang calon tunggal harus menerima kekalahan dengan lapang dada, namun diperbolehkan ikut lagi di pemilu berikutnya kalau masih punya muka.
Kapan pemilu berikutnya diadakan?
Di UU itu sih disebutkan pemilu selanjutnya ada di “tahun berikutnya” atau sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Di sini kadang saya kesel, kenapa sih kita nggak dikasih tahu aja kapan waktu fix-nya gitu? Kenapa undang-undang harus bilang bahwa jadwalnya dimuat di peraturan perundang-undangan padahal dia sendiri adalah undang-undang???!! Jadi gunanya undang-undang itu apa kalau masih harus lihat undang-undang??!!!1111!
KZL akutu.
Sembari menunggu pemilu berikutnya, pemerintahan yang sedang menjabat akan menunjuk pelaksana tugas kepala daerah sampai pemilu kembali digelar. Lucunya, semua calon tunggal yang ikut dalam pilkada 2018 adalah petahana. Yha, sehingga apabila mereka dikalahkan oleh kolom kosong, pemerintahan yang sedang menjabat (yang juga mereka pimpin) diberi kekuasaan untuk menunjuk pelaksana tugas kepala daerah sementara, yang bisa jadi malah menunjuk kembali si calon tunggal ini. Ups, loophole.
Menurut Syamsuddin Haris, peneliti senior LIPI, fenomena calon tunggal bisa dihindari apabila selain ambang minimal 20%, ambang maksimal 75% juga diberlakukan agar peta kekuatan bisa terbagi sehingga calon kepala daerah tidak bisa memborong hampir semua partai seperti yang terjadi saat ini.
Sebab, gara-gara aktivitas berborong partai ini jualah, hampir setiap kasus calon tunggal di pilkada selalu dimenangi oleh si calon tunggal tersebut. Kemenangan kolom kosong masih sekadar angan-angan. Fakta bahwa setiap calon tunggal didukung oleh setidaknya 7 partai politik menghambat rasa penasaran kita untuk merasakan kemenangan kolom kosong.
Bahkan, Ahmed Zakki Iskandar, calon bupati Tangerang, didukung oleh 12 partai politik di belakangnya. Hm, kalau lagi rapat konsolidasi pasti warna-warni banget nih ya jaketnya.
Tinggal dikasih Helmi Yahya dan Alya Rohali, bisa jadi “Kuis Siapa Berani”.