MOJOK.CO – Berpidato di Israel, KH. Yahya Cholil Staquf dimarah-marahi netizen di beberapa grup media sosial. Sudah, sudah, tidak perlu membalas balik marah, mereka cuma kurang piknik saja.
Belakangan, netizen ramai-ramai menyerang KH. Yahya Cholil Staquf, atau biasa disapa Gus Yahya. Mantan juru bicara Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini diserang oleh banyak netizen bahwa kehadirannya ke Israel tidak mencerminkan seorang muslim yang baik. Umpatan dan sumpah serapah menyerang Gus Yahya muncul di beberapa grup media sosial.
Meskipun harus diakui ada beberapa kritik yang bisa dimengerti, misalnya karena dalam pidato Gus Yahya tidak ada kalimat tegas mengenai sikap Indonesia yang cenderung menentang sikap agresi Israel kepada Palestina. Meskipun kalau diperhatikan, sebenarnya apa yang disampaikan Gus Yahya isinya sindiran semua ke Israel sih.
Apalagi posisi Gus Yahya, meskipun dibilang sebagai pribadi oleh PBNU, identitas beliau sebagai Wantimpres sekaligus tokoh NU tidak bisa ditanggalkan begitu saja. Artinya, ada wajah Indonesia pula yang dibawa Gus Yahya. Hanya saja, kritik yang diarahkan kepada Gus Yahya, rasa-rasanya tidak perlu kalau disampaikan dengan marah-marah apalagi sampai memaki-maki. Apalagi sampai doa-doa masuk neraka. Duh, duh, apa pada enggak puasa apa ya?
Okelah, bahwa mengritik atau tidak sreg dengan cara Gus Yahya Staquf dalam membuka dialog dengan Israel itu boleh saja. Boleh, tidak dilarang. Akan tetapi, kalau sampai menuduh yang bersangkutan macam-macam, sebagai muslim munafik sampai dianggap mencederai perasaan pembela Palestina, sepertinya kita perlu membacanya lebih jauh. Contoh seperti twit My Lord Fadli Zon ini:
Cuma ngomong begitu doang ke Israel. Ini memalukan bangsa Indonesia. Tak ada sensitivitas pd perjuangan Palestina. #2019GantiPresiden
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) June 11, 2018
Saya pikir seharusnya cara pandang yang berbeda pendapat tidak perlu sekeras itu pula disampaikannya. Soalnya saya takut, naga-naganya malah bakal jadi blunder nanti-nanti. Susah lho Pak Fadli memperbaikinya.
Saya menduga keras, lontaran-lontaran keras yang menyasar ke Gus Yahya ini karena netizen punya satu persoalan penting yang belum terpenuhi kebutuhannya selama hidup, yakni: kurang piknik. Yang kemudian berakibat juga pada kurang luasnya pergaulan lingkaran silaturahminya.
Jadi begini. Sebagai pribadi, saya tidak pernah masalah dengan pihak yang menyatakan bahwa menghadiri undangan atau berkunjung ke Israel sudah mencederai posisi politik Indonesia. Melawan Israel dengan cara memboikot produknya itu sesuatu yang hebat, apalagi kalau bisa melawan pakai senjata, wah itu lebih heroik lagi. Hanya saja, sangat mengeneralisir kalau dikatakan dengan hadir pada dialog dengan Israel lalu serta-merta dianggap tidak mendukung kemerdekaan Palestina.
Apalagi kalau melihat kondisi, bahwa Israel tidak dipandang sebagai sebuah bangsa dengan masyarakat yang majemuk, berbeda-beda, ber-bhineka juga layaknya Indonesia. Apa yang netizen pandang, dilihat dari reaksi marahnya mereka kepada Gus Yahya, bisa dibaca bahwa mereka melihat Israel hanya sebagai pemerintahannya saja. Israel dilihat hanya dari apa yang tentaranya lakukan terhadap rakyat Palestina. Tapi tak melihat ada manusia-manusia Israel yang siapa tahu terbesit sedikit ide untuk juga mendukung kemerdekaan rakyat Palestina.
Padahal sebagai sebuah negara dengan pemerintahan yang ada, jelas sudah bahwa di dalam negara bernama Israel ini hidup juga banyak manusia. Jutaan jiwa dengan kepala yang berbeda-beda. Yang saya yakin betul tidak semuanya 100% betul-betul setuju dengan cara pemerintahan Israel menyelesaikan konflik dengan Palestina.
Lha kok jauh-jauh sampai Israel, yang di Indonesia saja. Apa iya seluruh rakyat Indonesia suka dengan Presiden Jokowi? Lha wong Persaudaraan Alumni (PA) 212 saja yang konon jumlahnya sampai jutaan itu saja memilih Habib Riezieq Shihab buat jadi Presiden kok, belum dengan simpatisan Prabowo Subianto, belum dengan Agus Yudhohoyono sebagai Calon Bupati Pacitan.
Artinya, akan terasa sempit sekali dunia ini kalau melihat atau menilai masyarakat suatu bangsa hanya dari bagaimana pemerintahannya bertingkah laku di dunia internasional.
Hal semacam inilah yang pernah bikin Jerman dan Jepang tenggelam dalam bencana besar dalam Perang Dunia II. Dan ini semua terjadi hanya karena Presiden Amerika Serikat, FD Roosevelt berpidato menggunakan “dua kata” yang bakal jadi blunder terbesar Sekutu pada perang paling brutal ini. Dua kata ini adalah: Unconditional Surrender. Atau menyerah tanpa syarat.
Pernyataan ini bikin pihak Sekutu tidak akan membedakan antara pemerintahan Jepang atau Jerman dengan rakyatnya. Celaka sudah, ketiadaan pemisahan deklarasi perang antara rakyat dengan pemerintahannya, malah bikin seluruh rakyat Jerman dan Jepang tak lagi punya pilihan selain bertempur untuk tanah airnya. Berperang untuk nyawa mereka sendiri-sendiri.
Mereka pun mau bertempur mati-matian untuk pemerintahan NAZI-nya, atau Kaisar Dai Nippon-nya. Bertahun-tahun, peperangan jadi brutal dan sampai saat ini, masih jadi perang paling mematikan dalam sejarah umat manusia. Menghabiskan jutaan korban manusia dan dunia harus ditata ulang dari reruntuhan perang tersebut. Hal yang terjadi karena kesalahan sederhana, blunder kalimat yang tidak memisahkan rakyat dengan pemerintahannya.
Hal semacam ini jelas berbeda ketika Perang Dunia Pertama. Ketika Woodrow Wilson, Presiden AS sebelum Roosevelt yang berada di belakang Inggris sekalipun tidak ikut perang secara langsung, berkata: “Kami tidak punya masalah dengan rakyat Jerman. Kami justru punya simpati dan perasaan persahabatan dengan mereka. Perang ini dikorbarkan oleh Pemerintah Jerman, bukan karena keinginan rakyat Jerman.”
Maka, tanpa harus sebrutal dan semerusak Perang Dunia Kedua, Perang Dunia Pertama bisa selesai tanpa mengorbankan banyak masyarakat di Jerman dan daratan Eropa lainnya.
Cara pandang yang sama seperti itu, dengan tidak memisahkan antara rakyat dan pemerintahan tentu saja akan membuat kita jadi benci kepada apapun yang berhubungan dengan Israel. Apa yang dilakukan Gus Yahya di sana, kalau cuma dilihat bahwa Israel (hanya) berisi pemerintahannya, tentu saja terlihat Gus Yahya sedang bicara di hadapan serdadu yang pernah membunuh anak-anak di Jalur Gaza atau Gus Yahya sedang berdialog dengan para pembantai rakyat-rakyat sipil di Tepi Barat.
Tidak ada sama sekali pandangan bahwa Gus Yahya sedang bicara dengan akademisi atau tokoh-tokoh Israel yang mungkin bisa dibukakan cara pandangnya, bahwa selama ini cara pikir pemerintah mereka soal Islam itu salah kaprah. Atau cara pikir negara-negara yang mendukung bangsa yang mereka jajah (Palestina), seperti Indonesia itu adalah negara-negara yang beradab dan bermutu meski bukan negara super power. Atau syukur-syukur cara pandang ini bisa memunculkan benih-benih ide kepada rakyat Israel bahwa apa yang mereka lakukan selama ini salah, sehingga rakyat Israel sendiri yang akan menghentikan agresi militer pemerintahan mereka. Bukankah itu lebih hebat lagi?
Dan hal-hal semacam itulah yang saya lihat dari Gus Yahya, dan juga Gus Dur ketika dulu membuka hubungan bilateral dengan Israel ketika masih jadi Presiden. Saya yakin mereka paham betul bahwa tidak ada namanya kesamaan berpikir. Bahkan dalam satu negara jahat seperti Israel sekalipun, tidak mungkin semua orang di sana jahat semuanya.
Pasti ada juga yang penasaran, ingin tahu, atau merasa ditipu mengenai perspektif tanah Palestina. Nah, melalui pendekatan-pendekatan semacam ini, saya pikir akan lebih efektif untuk sementara ini dibandingkan dengan angkat senjata atau boikot. Dua tindakan yang sama-sama baik, hanya saja, sependek pengetahuan saya, hal itu belum punya dampak signfikan. Bukankah tujuan kita sama? Lalu kenapa tidak saling menghargai cara masing-masing dan saling dukung saja sih?
Oh iya, saya lupa. Kita orang Indonesia kan emang beda-beda cara mikirnya. Hal seharusnya kita sudah sadari bersama.
Kecuali kalau memang ada orang yang terbiasa cuma mau berkumpul sama yang segolongan. Bikin pikiran yang berbeda jadi kelihatan berbahaya dan mengkhawatirkan. Ada yang sedikit saja beda, dianggap kafir, munafik, golongan murtadin. Pada akhirnya, bisa dimaklumi kalau melihat sesuatu jadi serba hitam-putih. Kalau pilih A pasti jahat, kalau pilih B pasti baik. Sudah, begitu-begitu saja.
Oleh karenanya, pesan saya sederhana saja. Kalau nanti mudik dan sudah sampai kampung halaman, ayo dong perluas lagi area silaturahminya. Jangan cuma sama ke tetangga desa, tapi juga sama orang-orang yang sudah mati juga (ziarah), yang beda aliran, yang beda agama, sampai yang beda pilihan presidennya.
Karena dengan berkunjung ke beda-beda komunitas dan golongan kita akan memahami, bahwa orang kafir yang lebih baik budi pekertinya dibanding politikus muslim itu ada juga, bahwa kecebong itu ternyata enggak goblok-goblok amat ya, atau bahwa bani kampret itu ada yang jenius juga ya?
Pandangan yang akan membuat kita memahami, bahwa ada banyak cara melihat dunia ini, sekaligus ada banyak cara pula untuk menyelamatkannya.
Termasuk menyelamatkan Palestina ala Gus Yahya.