MOJOK.CO – Belva sedikit gegabah dengan buru-buru mengundurkan diri. Padahal dia hanya perlu belajar pada senior-seniornya di pemerintahan.
Belva seharusnya tidak perlu baper. Perdebatan publik yang menyudutkan karena diangap punya konflik kepentingan pada program Kartu Prakerja vs Ruangguru seharusnya tidak perlu membuatnya resign dari Staf Khusus Milenial Presiden.
Saya rasa Belva sedikit gegabah. Padahal dia hanya perlu belajar pada senior-seniornya di pemerintahan. Paling tidak, Belva bisa belajar untuk lebih tabah menghadapi mulut-mulut soak netijen. Dan, kepada siapa lagi Belva bisa belajar selain dari Lord Luhut Panjaitan kesayangan jutaan umat.
Bagaimana tidak? Bapak, eh, Lord Luhut yang terhormat ini konflik kepentingannya sudah ditelanjangi habis-habisan, bahkan sebelum Pemilu 2019 dilaksanakan. Namun apakah The Lord jadi baper? Ndak tuh. Doi nyantai aja.
Mau dibikin meme sesarkas apapun belio nampak teteg tak bergejolak. Tidak goyah, sungguh tangguh dan tidak memiliki rasa pekewuh barang sebiji sawi pun. Sungguh, harusnya Belva berguru pada belio ini. Biar teteg juga hatinya dan tidak buru-buru memutuskan untuk mengundurkan diri dari barisan plat merah.
Lagian Belva ini kenapa sih… kok seakan seperti anak bau kencur yang baru dewasa kemarin sore. Kalau memang berniat mau mengakumulasi kapital, ya jangan setengah-setengah dong. Masa iya baru digoreng satu isu aja udah langsung mateng, angkat kaki untuk meniriskan diri. Ndak suka akutu kalo anak muda lemah gitu.
Toh konflik kepentingan kan udah biasa terjadi, Mas Belva. Jangankan di tingkat pemerintahan pusat, pola semacam itu sebenarnya sudah jamak terjadi bahkan di pelosok pemerintahan desa. Ndak usah naif begitu lah. Mau dipaparkan contohnya?
Oke baiklah.
Misal nih Pemkot A mau punya gawe, sudah barang tentu EO-nya tak jauh-jauh dari rekanan orang dinas. Nanti untuk logistiknya, dipesankan katering milik istrinya orang kepala bagian ini atau itu. Kemudian untuk pengadaan barangnya diambilkan dari kontraktor kawan kuliahnya orang pemerintah kota juga.
Apakah itu KKN, Mas Belva? Oh, bagi mereka tentu tidak.
Itu namanya jalan rejeki yang ditentukan dari banyaknya relasi. Tentu saja relasinya tak sekadar pertemanan atau persaudaraan. Tetapi pertemanan atau persaudaraan berasaskan kepentingan. Istilah anak sekarang pripilej.
Yah, yang seperti sampeyan miliki sejauh ini. Apakah hal itu salah, Mas Belva? Ya jelas tidak. Orang mau berteman dan menjalin persaudaraan kok dilarang? Urusan jalinan relasi itu tulus atau berkepentingan, ya itu kan urusan belakangan.
Eh, lha kok… sampeyan ini sudah diparingi jalan rejeki dari Gusti Allah melalui relasi dengan Pak Presiden langsung lho. Kurang sangar apa? Kurang enak apa? Ladalah malah mengundurkan diri. Kufur nikmat betul sampeyan, Mas, Mas.
Saya sadar betul sih, disindir warganet itu memang pedih. Apalagi yang nyindir sak-endonesa-raya. Kalau bukan orang kaya, sudah stres betul mungkin sampeyan itu, Mas. Sudah banyak kasus perundungan yang berujung pada masalah kesehatan mental. Untung, sampeyan masih terselamatkan dengan punya banyak tabungan.
Ya misal, amit-amitnya sampeyan harus jadi penyintas depresi, sampeyan ndak pusing untuk bayar jasa psikiater lah. Coba bayangkan dengan warga kere yang iri sama prestasi Mas Belva di luar sana, kalau kena hantam netijen, mau makan aja susah, ndak punya pekerjaan karena di-PHK, keluar rumah takut corona, mau mudik ke pelukan orang tua dilarang pemerintah. Hasshhh, pedih, Mas Belva. Pediiih.
Tapi saya juga mencoba paham posisi seorang Belva sebagai generasi milenial yang duduk di sebuah instansi profesional. Tidak mudah memang untuk melakoni peran tersebut dengan latar belakang sebagai anak muda, yang tampak berprestasi, dan tercium bakal memiliki jenjang karier gemilang.
Satu sisi, dengan berbagai kelebihan tersebut, Mas Bleva ingin mendobrak tradisi yang mapan. Tradisi yang so last year seperti yang sudah biasa dilakukan oleh generasi boomer. Di sisi lain, melakukan perubahan pada sesuatu yang sudah mapan memang rentan risiko. Dari ancaman sanksi, lama dapat promosi, potong gaji, sampai disuruh mengundurkan diri. Ya, seperti yang terjadi pada Mas Belva saat ini.
Oleh sebab itu, anak muda yang punya otak cemerlang, ingin melakukan perubahan, dan (sok-sokan) idealis seringnya susah kaya raya. Alih-alih ingin memegang teguh misi mulia, akhirnya kehidupan personalnya sendiri yang tak jarang jadi sengsara.
Memang dilematis jadi anak muda itu, Mas. Kalau memang mau kariernya aman, ya manut saja dengan pola yang telah dibuat oleh para tetua. Tapi kalau memang tak tenang hatinya, ya mau ndak mau harus buat perubahan juga, dengan risiko seperti yang sudah saya tulis di paragraf sebelumnya.
Tapi sepertinya pilihan dilematis semacam itu tidak terjadi padamu, ya Mas. Lah sampeyan sudah mundur dari Stafsus Presiden bergaji 51 juta tiap bulan juga tidak langsung jatuh miskin kok. Sampeyan masih bisa nafas lega dan makan enak bahkan sampai satu dekade ke depan.
Kehilangan gaji yang bisa buat makan 10 keluarga sebulan tentu saja tidak rugi-rugi amat bagimu. Kan Ruangguru sudah telanjur tanda tangan kontrak dalam proyek Kartu Prakerja dengan anggaran miliaran rupiah. Udah cukup lah itu, lagian saya yakin Mas Belva itu orangnya ndak kemaruk-kemaruk amat.
Toh, di usia yang masih muda dengan start up yang punya prospek gemilang, langkah karier Mas Belva ke depan tentu ndak bakal suram dan bernasib menyedihkan kayak jutaan orang kere lainnya di republik ini.
Dan bukan tidak mungkin, kalau Mas Belva ke depan mau se-bodoamat pejabat lainnya waktu kena hantam kritik sana-sini, nasib dan perusahaan sampeyan bukan tidak mungkin akan segemilang Lord Luhut Panjaitan pujaan kita semuwa.
BACA JUGAÂ Pada Akhirnya Staf Khusus Milenial Memang Lebih Baik, Lebih Baik Bubar Maksudnya atau tulisan rubrik ESAI lainnya.