“Nasipkoe soedah begini. Inilah yang disoekai oleh Pemerintah Hindia Belanda.Biar saja meninggal, Indonesia pasti merdeka”. (Surat terakhir WR Supratman sebelum meninggal di Surabaya)
Bukan sembarang jomblo. Pejuang juga komposer ini punya spirit move on yang menginspirasi bangsanya untuk keluar dari keterjajahan masa lalu.
Di luar kemahirannya bermain biola dan mencipta lagu, WR Supratman terlibat aktivitas jurnalistik di Koran Sin Poo dan harian Kaoem Moeda. Buku Perawan Desa salah satu karya jurnalistiknya yang dicap subversif, lantaran mengungkap kebiadaban Pemerintah Belanda yang menindas dan memperkosa perempuan-perempuan desa. Tak ayal, Perawan Desa dilarang beredar pada masa itu. Namun spirit yang terkandung dari buku itu terlanjur membakar semangat para jong untuk semakin bertekad satu, mengusir kaum penjajah.
Wage Rudolph Supratman lahir di Jatinegara, Senin Wage 1903 dan wafat pada Rabu Wage 1938, lantaran sakit yang dideritanya semasa menjadi buronan polisi Belanda. Namun lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan pada kongres Sumpah Pemuda II 1928 bukan hadir sebagai lagu penghibur lara, bukan lagu yang mengajak para jong untuk merayakan rasa Sakitnya Tuh Disini. Bagi Bung Wage, rasa memiliki dan bertanah air satu jauh lebih penting dibanding melagu-lagukan kejombloan. Termasuk bagi saya, mantan jomblo yang gagal punya band seeksis Slank atau Aerosmith.
Dari susunan liriknya, lagu Indonesia Raya merupakan sonata atau sajak 14 baris. Terdiri dari satu oktaf (atau dua kuatren) dan satu sekstet. Penggunaan bentuk ini terbilang avant garde, meskipun soneta sudah populer di Eropa semenjak era Renaisans. Penggunaan soneta tersebut menginspirasi ekspresi seniman Angkatan Punjangga Baru, karena lima tahun setelah dikumandangkan, para seniman angkatan itu mulai banyak menggunakan soneta sebagai bentuk ekspresi puitis.
“Biar saja meninggal, Indonesia pasti merdeka.” Spirit optimis itu terbilang senada dengan quote bijak yang diamini para jomblo hari ini, “aku rapopo, sing penting kamu hepi.” Nah, ini yang penting dicatat, walaupun WR Supratman tidak ikut merasakan udara kemerdekaan, namun lagunya abadi dalam ingatan manusia Indonesia. Setidaknya abadi sebagai lagu pelengkap acara beraroma khusus.
Optimisme adalah jamu. Meski bisa jadi racun bila salah dosis. Apalagi sampai dioplos cairan pembersih lantai. Ayahab, Bro!
Dan kita mesti bersyukur, di Kongres Pemoeda 1928 seorang Cita Citata belum seeksis sekarang. Setidaknya lagu Sakitnya Tuh Disini cukuplah menjadi lagu pengejek para jomblo hari ini.
Jika saja penyanyi unyu itu sudah ada dan dipesan untuk melaunching lagu Sakitnya Tuh Disini pada kongres 1928, jangan kaget kalau puisi Mohammad Yamin pun berubah judul menjadi ‘Soempah Pemoeja’. Kemudian sejarah mencatatnya sebagai ‘Kongres Pemoeja’. Pemoeja bahasa sakit hati. Niscayalah Bung Wage panjang umur, karena tak perlu ada musisi avant garde yang menjadi buronan polisi Belanda. Lalu hubungan gelap Bung Wage dan Cita Citata pun menyusul terkuak, laris menjadi gosip hot di Koran Sin Poo dengan headline Skandal Cinta di Balik Lagu Kebangsaan Jomblonesia Raya.
Yaelah segitunya. Hehe.
Brengseknya lagi, seniman pro kretek macam saya ini merasa diolok-olok pula. Video klip lagu itu terkesan mengejek para perokok. Sudah difitnah lewat gambar kemasan rokok berdada rusak, diejek pula lewat gerak nyanyi Cita Citata. Olok-olokan semacam ini pasti tak lepas dari konspirasi kepentingan pasar obat. Laris deh bisnis cocot motivator jualan obat sakit hati.
Bung Wage pun di alam sana mungkin cuma bisa meyesali; “mosok sih kita jadi bangsa pemuja sakit hati.” Kenapa coba Cita Citata menunjuk-nunjuk sakitnya melulu ke arah dada, bukan ke kepala, atau ke organ vital lainnya. Apa iya, diselingkuhi melulu mengancam hati? Bagi yang berdompet cekak, diselingkuhi pacar mungkin bencana bagi kemakmuran dompet. Itu berlaku bagi yang memposisikan pacar semata ATM. Tapi bagi yang diplorotin? Kan malah jadi lebih sehat.
Nah, mumpung lagi musim serba-serbi tandingan, apa perlu saya bikin lagu tandingannya: SAKITNYA TUH DI SITU. Di pikiranmu itu lhoh, Cit.