Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Woody di Toy Story Itu Hiperbolis: Lebih Susah Jadi Anak-Anak!

Abinaya Ghina Jamela oleh Abinaya Ghina Jamela
19 Juli 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Menurutku, Woody di film Toy Story itu terlalu hiperbolis, seolah-olah dia saja yang paling menderita di dunia ini. Memang, dia pernah jadi anak-anak?

Beberapa hari lalu, aku menonton film Toy Story 4 bersama Bunda. Saat film diputar, aku berbisik pada Bunda, “Bun, jadi mainan ternyata susah, ya?”

Bunda cuma tersenyum. Malahan, ia seperti tidak mendengarkanku. Waktu aku lihat, eh ternyata Bunda sibuk membersihkan matanya yang kebanjiran. Pssst, ternyata Bunda bisa nangis juga  lagi nonton film.

Aku mengira jadi mainan itu gampang. Mainan itu benda mati, pakai baju bagus, diberi bungkus yang cantik, dipajang di rak-rak, ruangannya ber-AC (tidak semua, sih!), disukai anak-anak, dibawa pulang, dimainkan, dan disayangi. Tapi, ketika menonton semua film Toy Story, aku jadi memikirkan hal yang berbeda: Jika jadi mainan saja sudah begitu menyusahkan, apalagi jadi anak-anak?

Woody di Film Toy Story yang Agak Lebay

Aku rasa semua orang sudah kenal Woody. Ya, Woody tokoh utama dalam semua film Toy Story. Ia mainan koboi yang bisa bersuara jika tali di punggungnya ditarik.

Woody mainan milik Andy. Andy jadi dewasa dan Woody terpaksa dihadiahkan kepada Bonnie. Saat jadi mainan milik Andy, Woody begitu disayangi dan diistimewakan. Tapi, nasib Woody berubah ketika bersama Bonnie. Aku tidak begitu yakin apakah ini terjadi karena Woody mainan koboi dan Bonnie anak perempuan (Jika iya, mereka gender sekali! Tapi namanya film, ya, suka-suka yang bikin. Oggy saja jatuh dari tangga tidak apa-apa—apalagi Woody, mainan kesayangan semua orang di dunia!) .

Woody sedih karena merasa tidak diperhatikan dan disayangi lagi. Tapi menurutku, Woody itu terlalu hiperbolis, seolah-olah dia saja yang paling menderita di dunia ini! Karena stres tidak diperhatikan, Woody mulai melakukan ini dan itu.

Bayangkan, Woody rela menyusahkan dirinya sendiri dan melakukan hal-hal berbahaya. Ia mau bersusah payah masuk ke tas sekolah Bonnie biar tahu Bonnie gembira di hari pertamanya sekolah. Woody juga bersusah payah menjaga Forky, mainan jelek dari sendok garpu plastik yang disayangi Bonnie, supaya tidak kabur ke tong sampah.

Menurutmu, apakah Woody benar-benar tidak cemburu dan melakukannya dengan senang hati? Kalau menurutku, Woody sudah tidak jujur sebagai mainan. Yang lebih mengerikan lagi, Woody rela menukar kotak suaranya hanya untuk menyelamatkan Forky, mainan sendok yang bodohnya minta ampun itu. Aku benar-benar bingung!

Setelah menonton film itu, aku berpikir bahwa menjadi mainan adalah pekerjaan paling sulit di dunia. Tidak ada tandingannya. Mainan harus melakukan banyak hal agar tetap disayangi anak-anak. Mereka harus berusaha keras agar tidak dibuang atau disumbangkan.

Jika ada anak-anak yang nakal dan menyakiti mereka, mereka harus sabar saja. Bahkan ada juga mainan yang mencelakai mainan lainnya hanya untuk menarik perhatian. Sepertinya, jadi mainan itu tidak hanya harus cantik dan bagus, tapi juga harus kuat, banyak akal, dan tidak menyerah.

Yang Lebih Menyedihkan daripada Mainan di Film Toy Story

Tapi, ketika melihat adik sepupuku, aku jadi memikirkan hal lain lagi. Nama adik sepupuku itu Malikha. Umurnya baru empat tahun. Aku memanggilnya bayi-nakal-yang-takut-air-dan-suka-menangis.

Malikha itu tidak suka makan. Maksudku, dia tidak suka makan nasi. Ketika waktunya makan, ayah dan ibunya terpaksa memarahinya. Kadang Malikha sampai muntah. Aku tidak tahu apakah dia muntah karena dipaksa makan atau hanya berpura-pura saja biar tidak disuruh makan.

Waktu ayahnya mau berangkat kerja, Malikha akan menangis sekencang-kencangnya. Ya, sekencang-kencangnya, sampai-sampai telingamu rasanya mau pecah dan kamu mau menutup mulutnya dengan selimut! Dia menangis karena mau ikut ayahnya. Tapi, tentu saja dia tidak boleh ikut. Anak-anak tidak boleh seenaknya ikut semua kegiatan orang tua mereka.

Iklan

Muka Malikha akan merah karena menangis. Kadang-kadang, sampai muntah. Aku pikir Malikha hanya menyiksa dan menyakiti dirinya sendiri. Tapi Malikha-kan tidak tahu jika dilakukannya itu tidak baik. Dia hanya ingin dekat dengan ayahnya. Sayangnya, orang-orang dewasa harus memarahi anak-anak karena itu. Uh, susah juga, ya?

Jika begitu, sudah pasti jadi mainan seperti Woody belum ada apa-apanya: Jadi anak-anak jauh lebih sulit daripada jadi mainan. Lagi pula, mainan, kan, tidak benar-benar hidup di dunia nyata. Itu hanya terjadi di film, sementara anak-anak hidup tiap harinya. Anak-anak menghadapinya sendirian. Sementara itu, Woody? Ada sutradara, tukang gambar, pengisi suara, dan peran-peran lainnya yang akan membantu.

Maaf saja jika orang dewasa tersinggung, tapi mereka harus mengetahui kenyataan ini: Jadi anak-anak itu tidak selalu mengenakkan dan menyenangkan, apalagi jika orang dewasa sudah menyuruh anak melakukan ini, melakukan itu, menjadi begini, menjadi begitu. Orang dewasa mau agar anak-anak jadi anak yang baik, anak yang patuh, anak yang mendengarkan semua perkataan dan permintaan mereka.

Duh, memangnya anak-anak itu adonan donat?

Menjadi anak-anak itu hal yang paling berat untuk dilakukan. Ya, pasti tidak semua orang akan menerima pendapat ini—maksudku, para orang dewasa. Mereka pasti akan menolaknya. Orang dewasa itu tidak mau dikritik, tidak mau disalahkan, apalagi oleh anak-anak. Orang dewasa itu adalah orang yang selalu benar dan sudah pasti benar di atas dunia ini.

Anak-anak dipaksa bangun pagi-pagi sekali. Kata mereka, agar tidak terlambat ke sekolah. Tapi, mengapa anak-anak harus berangkat ke sekolah? Mengapa ke sekolah harus pagi-pagi sekali?

Mereka akan menjawab, biar kalian pintar. Memangnya mereka tidak bisa mengajar kami di rumah saja sehingga kami tidak perlu bangun pagi-pagi sekali? Mereka bilang, biar kamu tidak terlambat. Memangnya kenapa, sih, jika kami terlambat sampai di sekolah?

Jawabannya, mereka akan malu. Malu dipanggil guru atau kepala sekolah karena kami nakal dan suka terlambat. Tapi apakah mereka tahu jika bangun pagi-pagi sekali itu sangat menyiksa? Mengapa mereka tidak membiarkan saja kami tidur, paling tidak sampai pukul enam atau setengah tujuh dan sekolah dimulai pukul delapan? Apakah ada yang salah dengan jam tangan mereka?

Di sekolah, kami harus belajar banyak hal: Bahasa, Matematika, Olahraga, Kesenian, dan hal-hal lain yang aku pikir tidak perlu. Mengapa kami harus belajar sebanyak itu? Setelah itu, kami juga harus mengerjakan PR. Kami harus les. Lalu, kapan kami bisa bermain dan melakukan hal yang seru?

Mengapa kami tidak boleh belajar apa yang benar-benar kami sukai? Mengapa guru atau orang dewasa tidak pernah menanyakan pada anak-anak soal pelajaran apa yang paling disukai dan mengizinkan kami belajar itu saja? Kami malah disuruh belajar semuanya.

Kami tidak boleh protes. Anak-anak hanya boleh ikut saja. Lalu dapat nilai bagus. Lalu jadi juara kelas. Lalu orang dewasa akan membanggakannya. Apakah orang dewasa tahu jika kami tidak benar-benar menyukai dan menginginkannya?

“Menjadi Anak-Anak” Seharusnya adalah Pekerjaan Terberat Kedua Puluh

Anak-anak harus belajar. Kami harus membaca buku yang banyak. Kami dibelikan banyak buku. Tapi orang-orang dewasa tak banyak yang suka membaca dan belajar. Mereka malah asik bermain handphone, membuka Facebook dan Instagram.

Kata mereka, anak-anak harus jadi pintar. Tapi mereka sendiri lebih suka menjadi tolol dan bodoh. Giliran anak-anak protes dan mau bicara, orang dewasa bilang jika anak-anak itu tidak tahu sopan santun. Menyebalkan sekali!

Anak-anak juga ingin berdiskusi dan mengkritik orang dewasa. Tetapi itu tidak dibolehkan. Akhirnya, anak-anak jadi ikutan tidak peduli pada kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang dewasa. Padahal kesalahan itu banyak sekali!

Orang dewasa merasa diri mereka yang terbaik dan tahu segala hal tentang anak-anak. Mereka sering bilang jika anak-anak itu seperti sebuah kertas kosong dan harus diisi. Padahal harusnya, orang dewasa itu tidak seenaknya mencoret-coret kertas kosong itu. Harusnya, mereka mengisinya bersama dengan anak-anak. Tapi orang dewasa pasti tidak akan mengijinkan.

Anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa. Padahal, jika anak-anak tidak tahu apa-apa, yang salah adalah orang dewasa. Bukankah mereka selama ini yang bertugas mencoret-coret kertas itu?

Tapi, ingat, anak-anak tidak boleh protes. Jika di Toy Story mainan bisa hidup seperti manusia, di sini anak-anak justru seperti mainan. Diam saja. Tidak boleh mengeluh diapa-apakan orang dewasa. Semua terserah orang dewasa.

Jadi anak-anak itu memang pekerjaan terberat di dunia. Tidak ada tandingannya. Tapi, aku tidak ingin “menjadi anak-anak” benar-benar menjadi pekerjaan terberat di dunia. Aku ingin anak-anak menjadi urutan kedua puluh saja di dalam daftar pekerjaan terberat di dunia.

Apakah boleh?

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2021 oleh

Tags: anak-anakmainanorang dewasaToy StoryWoody
Abinaya Ghina Jamela

Abinaya Ghina Jamela

Abinaya Ghina Jamela lahir di Padang, 11 Oktober 2009. Naya menulis puisi dan cerpen. Buku puisi pertamanya berjudul "Resep Membuat Jagat Raya", diterbitkan Januari 2017 oleh penerbit Kabarita, Padang. Buku tersebut masuk nominasi 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 17, meraih penghargaan KEHATI Award, dan dinobatkan sebagai Buku Puisi Terfavorit Anugerah Pembaca Indonesia 2017. Buku keduanya berjudul "Aku Radio bagi Mamaku", sebuah Kumpulan Cerita. Saat ini Naya sedang mempersiapkan novel pertamanya yang diberi judul "Rahasia Pier Serbo".

Artikel Terkait

strict parents mojok.co
Kilas

Strict Parents Sudah Ketinggalan Zaman, Bisa Bikin Anak Jadi Pembully

13 Januari 2023
Anak sakit mojok.co
Kesehatan

Gagal Ginjal Misterius Pada Anak, Ini Gejala dan Pencegahannya

13 Oktober 2022
obat batuk mojok.co
Kesehatan

Mengenal Sirup Obat Batuk dari India yang Tewaskan 69 Anak di Gambia

12 Oktober 2022
polisi tembakkan gas airmata kedaluwarsa tragedi kanjuruhan yang mewaskan aremania ada indikasi pelanggaran ham mojok.co
Kilas

17 Anak Jadi Korban Tragedi Kanjuruhan, KPAI Minta Pemerintah Tanggung Jawab

3 Oktober 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

UAD: Kampus Terbaik untuk “Mahasiswa Buangan” Seperti Saya MOJOK.CO

UNY Mengajarkan Kebebasan yang Gagal Saya Terjemahkan, sementara UAD Menyeret Saya Kembali ke Akal Sehat Menuju Kelulusan

16 Desember 2025
Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO

Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman

13 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Wali Kota Agustina Wilujeng ajak anak muda mengenal sejarah Kota Semarang lewat kartu pos MOJOK.CO

Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang

20 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Pamong cerita di Borobudur ikuti pelatihan hospitality. MOJOK.CO

Kemampuan Wajib yang Dimiliki Pamong Cerita agar Pengalaman Wisatawan Jadi Bermakna

16 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.