MOJOK.CO– Kerendahan hati yang membuat dakwah tak terkesan menggurui. Kerendahan hati itu pula yang membuat kita optimis melihat orang lain yang masih belum baik.
Thomas W. Arnold menyebut Islam sebagai “agama dakwah”. Memang, tampak sekali Islam sebagai agama yang sangat menekankan pada aspek dakwah. Sementara itu, muslim adalah umat paling antusias dalam berdakwah. Begitu antusiasnya, hingga tampaknya tak ada ruang publik di negeri ini yang tak diisi oleh obrolan bertema dakwah. Dari media sosial, warung kopi, hingga jalanan Malioboro di Yogyakarta.
Memang, sedari awal, melalui lisan Nabi Muhammad, dalam sabdanya riwayat Imam Bukhari, umat Islam didorong untuk “menyampaikan apa yang datang dari Nabi Saw walau satu ayat”. Diperkuat oleh Al-Qur’an dalam Surat Ali Imran ayat 110 yang melabeli umat Islam sebagai umat terbaik lantaran dakwah: mengajak pada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan.
Tentu, hal itu positif dan revolusioner sebagai salah satu visi utama dalam Islam. Namun, yang terjadi, umat muslim masih kerap tidak menjalankan Islam dengan tepat, membuat visi itu menjadi bumerang yang mendorong umat muslim bersemangat dalam berdakwah tanpa kecakapan keilmuan dan metodologi. Sehingga, dakwah yang seharusnya mengajak, justru bisa menjadi titik di mana orang justru alergi pada agama ini.
Oleh karena itu, Imam Malik buru-buru menekankan bahwa Islam itu ada tiga, yakni Al-Qur’an, sunnah, dan kata “tidak tahu”. Bisa jadi hikmahnya adalah bahwa kalau tak punya kompetensi untuk memahami Al-Qur’an dan sunnah serta menggali metode dakwah dari Al-Qur’an dan sunnah, “dakwah” terbaik bagi muslim model begitu adalah diam alias ngaku kalau tidak tahu.
Pada batas tertentu, tak menjerumuskan orang pada alergi terhadap Islam lantaran ketidaktahuan itu jauh lebih baik dan bisa disebut juga dakwah daripada sok mau dakwah padahal tak ngerti ilmu Islam dan metodologi dakwah. Makanya, dakwah itu harus super hati-hati. Kalau grusa-grusu dan salah, bisa jadi bukan hanya mereka tak mau ikut, tapi trauma pada agama ini lantaran mendengar Islam dari mulut yang tak islami blas.
Kali ini saya ingin urun rembuk dalam aspek yang relatif mendasar dalam metodologi dakwah Islam. Khususnya di tengah Milenial dan Generasi Z yang memadati ruang digital.
Pertama, dakwah itu sudah pasti bukan dengan metode yang bisa mempermalukan, tapi justru menjaga kehormatan. Persis seperti yang dilakukan Nabi SAW dalam riwayat Imam Abu Dawud, di mana suatu saat menjelang waktu Isya, setelah makan daging unta bersama, ada sahabat yang tak sengaja buang angin.
Tentu, manusiawi jika tak ada yang ngaku. Sebagian berdesas-desus tentang betapa tidak sopannya yang buang angin itu, dan karenanya sangat ingin tahu siapa dia. Mereka menunggu siapa yang akan ambil wudu saat hendak salat Isya nantinya, karena kemungkinan dialah yang buang angin.
Eh tiba-tiba Nabi SAW bersabda bahwa yang makan daging unta sebaiknya berwudu kembali. Maka, Nabi SAW kemudian bergegas berwudu dan diikuti oleh semua yang hadir saat itu. Akhirnya, tak ketahuan siapa yang buang angin.
Begitulah Nabi SAW berdakwah, membenahi tanpa mempermalukan, lantaran menutup aib siapa saja di muka bumi ini adalah kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana disampaikan Nabi SAW dalam sabdanya riwayat Imam Tirmidzi.
Kedua, dakwah itu bukan hanya menghukumi, tapi merehabilitasi. Dakwah bukan hanya menghukumi bahwa ini haram dan itu salah, tapi mencari solusi terbaik bagaimana orang bisa keluar dari keharaman dan kesalahan. Sering terjadi orang tahu ini haram dan itu salah, tapi tetap saja terjerumus lantaran sebab-sebab yang sulit atau bahkan tak bisa dia hindari.
Misalnya, mana ada orang ingin dan menikmati jadi pelacur atau pemakai narkoba, serta tak tahu keharamannya? Tapi, apa daya terjerumus dan terjerat di dalamnya hingga sulit atau bahkan tak berdaya untuk keluar dari kegelapan itu lantaran hal-hal yang sifatnya sistemik, di mana dia justru butuh support system dari kita untuk keluar darinya.
Persis seperti yang dipertunjukkan Nabi SAW dalam riwayat Abu Hurairah di shahih Bukhari-Muslim bahwa pernah ada seorang laki-laki datang menemui Nabi SAW lalu sontak berkata, “Celaka saya, wahai Nabi!” Nabi bertanya, “Emang kenapa?” Orang itu menjawab, “Saya terlanjur bersetubuh dengan istri saya di siang hari di bulan Ramadan saat kami berpuasa.”
Nabi bertanya kembali, “Apa kamu mampu berpuasa 2 bulan berturut-turut sebagai kafarat puasa yang kau tinggalkan dengan sengaja?” Lelaki itu menjawab, “Tidak!”
Lalu Nabi bertanya lagi, “Apakah kamu mampu memberi makan 60 orang miskin sebagai ganti puasa yang kau tinggalkan?”
Lelaki itu lagi-lagi menjawab, “Tidak!” Nabi lantas diam. Lalu ada yang memberi hadiah 1 wadah kurma kepada Nabi. Kemudian Nabi berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?”
Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian Nabi mengatakan, “Ambillah dan bersedekahlah dengannya pada orang miskin.”
Lelaki itu menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Maka Nabi tersenyum lalu berkata,”Kalau begitu, berikan kurma itu kepada keluargamu.” Maka, denda puasanya pun lunas. Hukum ditegakkan Nabi SAW, tapi solusi juga dicarikan.
Ketiga, dakwah itu butuh kesabaran, persis sebagaimana diamanatkan di ujung Surat Al-‘Ashr yang menggandeng kebenaran dan kesabaran. Ia tak bisa instan.
Nabi Nuh berdakwah 950 tahun. Nabi SAW berdakwah dari lingkup terkecilnya, yakni keluarga, lalu ke kawan dekat, lalu ke masyarakat tapi sembunyi-sembunyi, lalu baru secara luas dan terang-terangan. Tak Ada kata batas dalam sabar. Batasnya sabar ya tidak sabar. Gitu!
Jadi, kalau kamu nggak sabar, yaudah biar saya saja. Sebab, Islam itu kompleks dan manusia itu makhluk yang kompleks. Sungguh butuh waktu yang harus diisi dengan kesabaran untuk menjelaskan Islam yang kompleks kepada manusia yang kompleks juga itu.
Kalau mau instan, ya makan mi aja atau pesan fast food di ojek online. Karenanya, Tuhan tak pernah menjadikan hasil sebagai visi dalam dakwah kita. Yang penting fokus berdakwah aja dengan benar dan baik. Adapun hasilnya oke atau gagal, itu bukan tanggung jawab kita.
Persis sebagaimana difirmankan dalam Surat Ali ‘Imran ayat 20. Ini sekaligus pengingat mendasar bahwa dakwah itu bukan proyek nafsu yang menggebu-gebu untuk mendapatkan umat sebanyak-banyaknya, melainkan proyek akal dan hati untuk menyampaikan apa yang menjadi tanggung jawab kita pada Tuhan dan Nabi SAW. Toh hidayah di “tangan” Tuhan, bukan kita.
Keempat, ngomong-ngomong soal hidayah, maka “hidayah” itu satu akar kata dengan “hadiah”. Sehingga, kalau mau ngasih hidayah, lakukan seperti orang mau memberi hadiah. Mentang-mentang hadiah, bukan dilempar seenaknya.
Kata Surat An-Nahl ayat 125, berdakwalah dengan kata-kata yang baik dan santun, serta cara yang bijak dan kreatif. Bukan hanya tak boleh memaksa, tapi harus putar otak kreatif. Karena bisa jadi, kebenaran ditolak justru lantaran cara menyampaikannya tak baik atau kurang kreatif dengan segmen yang didakwahi.
Makanya, Nabi SAW sangat kreatif dalam berdakwah. Dakwahi sahabat Salman Al-Farisi ya dengan pendekatan rasional karena dia mengedepankan rasionalitas. Sedangkan dakwahi sahabat Bilal dengan pendekatan emosional karena dia mengedepankan hati.
Kelima, dakwah itu butuh kerendahan hati. Tak bisa sok. Lihatlah orang lain yang masih kurang baik seperti melihat diri kita di masa lalu yang juga (mungkin) pernah kurang baik, atau di masa depan yang kalau tak rendah hati bisa jadi terjerumus lagi dalam ketidakbaikan. Kerendahan hati itulah yang membuat kata-kata kita bersumber dari hati dan bisa masuk ke hati pula.
Kerendahan hati itu pula yang membuat dakwah kita tak terkesan menggurui. Dan, kerendahan hati itu pula yang membuat kita optimis dalam melihat orang lain yang masih belum baik. Sebagaimana Nabi SAW yang penuh kerendahan hati menyebut semua muridnya sebagai sahabat, sehingga mudah didakwahi. Karena omongan sahabat biasanya lebih didengar dan diterima ketimbang omongan dari guru atau orang tua.
Keenam, ah tapi sudahlah. Lain kali saja saya lanjutkan, ya.
BACA JUGA Iman ala Orang Madura: Jual Bensin Eceran di Pintu Keluar SPBU dan Sate Terbaik Nomor Dua Sedunia dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Husein Jafar Al Hadar
Editor: Yamadipati Seno