Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Tisu Basah Fredy S di Bareskrim Polri

Muhidin M. Dahlan oleh Muhidin M. Dahlan
4 Februari 2015
A A
Tisu Basah Fredy S di Bareskrim Polri

Tisu Basah Fredy S di Bareskrim Polri

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un. Indonesia Raya kehilangan satu lagi pengarang berbakatnya: Bambang Eko Siswanto, atau lebih dikenal dengan nama pena Fredy S. Fredy pergi diam-diam dalam keriuhan jagat raya. Ia bahkan tak mengganggu linimasa media sosial yang biasanya jika ada penulis terkenal mangkat menjadi barisan parade panjang dengan membawa pamflet bertuliskan #RIP.

Fredy S memang tidak seperti Sitor Situmorang atau Pramoedya Ananta Toer yang kematiannya diabadikan media massa seantero negeri dan karya-karyanya bisa dibacakan berhari-hari. Fredy kalis dari semua itu. Bahkan katalog Perpustakaan Nasional Republik Nasional (PNRI) emoh merekam karyanya karena mungkin dianggap buku jorok; seberapa puluh pun judul yang ditulis Fredy.

Belum lagi ditambah Fredy seorang pemalu; membiarkan barisan karyanya menyerang titik saraf terpanas warga negara Indonesia yang berjembut, sementara sosoknya sendiri seakan lenyap dari dunia pop yang riuh. Sampai akhirnya kalender menunjuk 24 Januari 2015.

Lewat informasi yang remang-remang dan sepotong-sepotong, kabar mangkatnya Fredy S saya ketahui dua hari setelah kematiannya di hari Sabtu yang ribut oleh ledakan berita polisi yang berseteru dengan KPK. Itu pun hanya setarikan napas melintas di facebook. Mirip dengan kabar kematian penulis “The Bugis”, Christian Pelras, yang informasinya minor.

Napas hidup Fredy S memang berada dalam dunia bisik-bisik, sebagaimana buku-buku karangannya bergenre buku-kamar. Semua jenis bukunya mesti dibaca mandiri oleh lelaki atau perempuan sejak mendapatkan ada bulu aneh yang tumbuh di selangkangannya. Dikhidmati dalam kesendirian yang diam-diam, dengan napas tertatih-tatih dan disertai desahan-desahan kecil.

Novel Fredy adalah bacaan basah. Dalam rukun kesucian, karya-karya Fredy menjadi salah satu musabab terjadinya apa yang disebut “mandi junub”. Saya tak tahu persis berapa jumlah karya Fredy S. Yang ada di perpustakaan Radio Buku, sekitar 60-an karya dengan rata-rata ketebalan 200-an halaman. Beberapa dibuat tunggal. Satu buku, tamat. Namun banyak buku dibuatnya serial. Mungkin bagian dari strategi pemasaran.

Tapi itu tadi, temanya sekitar pergawulan tante-tante dan oom-oom urban yang kesepian di kota-kota besar metropolitan. Saya akui stamina menulis Fredy S memang aduhai untuk mengurusi tema-tema daging ini. Saya tidak tahu, tips apa yang dipakai Fredy untuk bisa bertahan hampir dua dekade di dunia rintih dan aduh-geli ini.

Pada suatu malam yang larut di salah satu blok bangunan lawas di sekitar Monas, Gambir, saya menanyakan soal ini kepada kawan Wenri Wanhar yang mengaku bahwa istri Fredy adalah tetangganya. Wenri yang dibakar penasaran oleh sepak-terjang fantasi pop Fredy S ini kemudian menurunkan laporan “Misteri Fredy S” di majalah sejarah Historia.

Alkisah, tutur Wenri, jika Fredy kehabisan cerita, ia bikin ulah; memacari sahabat istrinya, lalu ia mencatat tindak-tanduk istrinya yang dibakar cemburu. Sudah! Tahu-tahu satu cerita selesai ditulis. Template cerita pop Fredy S sederhana begitu. Dan umumnya yang ditunggu adalah adegan ketika tante dan oom masuk ke kamar hotel atau saat pintu vila-vila yang ditudungi dingin itu ditutup dari dalam.

Namun seiring waktu, saya menemukan tesis bahwa dalam kesadaran Fredy S yang becek itu terselip sikap politik. Sebut saja politik-ranjang. Tak semua karya Fredy boleh dianggap picisan, walau yang terkenang betul di kepala saya adalah serial karyanya berjudul “Sartika”.

Fredy S adalah anak kandung Orde Baru. Ranjang, kasur, seprei yang kusut dan bernoda ciptaan Fredy tak selalu netral. Maksudnya, tidak melulu diperuntukkan untuk menadahi kebutuhan berahi. Ada kutu-kutu politik merayap di sana. Politik antikomunisma dan antileninisma.

Saat Soeharto menugaskan Arifin C Noor membikin film kolosal “Pengkhianatan G 30 S/PKI”, Fredy S secara diam-diam dan ambisius juga menyiapkan salah satu karya magnum opusnya: Heksagram “Politik Bercinta”. Anda ingin tahu berapa tebalnya? 1200-an halaman, saudara-saudara!

Roman “Politik Bercinta” ini berbeda segalanya dengan puisi-puisi agung Taufiq Ismail yang terkumpul dalam “Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit” (1.076 halaman) atau novel Ajip Rosidi, khususnya “Anak Tanah Air”; walau sama-sama satu barisan perlawanan: antikomunisma antileninisma. “Politik Bercinta” ini fokes, lebih intim, lebih basah, lebih ah uh.

Pejabat-pejabat Sukarno yang haus seks dihantam habis-habisan oleh Fredy. Gerwani sang penggoda ditempatkannya di losmen-losmen pelacuran. Sementara Pemuda Rakjat adalah preman-preman pengantar daging segar pesanan pejabat. Untuk dapat dana rapat kebudayaan, aktivis Lekra digambarkan Fredy meminta donasi dari pejabat-pejabat di Kabinet Kerja. Tapi ya, tentu saja tak gratis. Ada daging, ada biaya untuk rapat konsolidasi kebudayaan menghantam manifes kebudayaan.

Untuk tema sebesar ini, apa boleh bikin, Fredy menyorongkan protagonis seorang wartawati. Cerdas, sintal, menggoda. Mungkin Fredy membayangkan tipe yang begini ini pejabat-pejabat doyan. Sang wartawati dalam 1200-an halaman memenangkan perang akbar; semua anasir kominis hancur, pejabat Sukarno dilikuidasi dari tahta. Sang wartawati lalu kembali ke suami yang ditinggalkannya selama melakukan petualangan berahi “Politik Bercinta”. Utuhlah keluarga Orde Baru. Happy ending!

Senandung “Gugur Bunga” untukmu, Oom Fredy! Kau ksatria pop Orde Baru yang terlupa dan terbuang, seperti tisu-basah buangan Titin Karisma usai joget ngangkang dengan Mas Adam Suseno—suami Inul Daratista.

Hingga Oom Fredy mangkat, Titin Karisma masih terus berikhtiar mencari-cari fosil tisu basah itu untuk barang bukti di “Bareskrim”.

Terakhir diperbarui pada 21 Juni 2017 oleh

Tags: Fredy SObituariPKIPramoedya Ananta Toer
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku.

Artikel Terkait

Republik dan Bayang Penjajahan yang Tak Usai
Video

Republik dan Bayang Penjajahan yang Tak Usai

25 Oktober 2025
PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah
Video

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah

27 September 2025
Ujian Sejarah dan Sastra dari Dosen Pramoedya Ananta Toer MOJOK.CO
Esai

Ujian Lisan Sejarah Nasional dan Sastra dari Dosen Pramoedya Ananta Toer untuk Mahasiswa Tingkat 1 dan 2. Yang Master dan Doktor Nggak Usah Jawab

21 Mei 2025
Muhidin M. Dahlan: Merayakan Seabad Pram dengan Touring ke Blora
Video

Muhidin M. Dahlan: Merayakan Seabad Pram dengan Touring ke Blora

25 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.