MOJOK.CO – Aktivisme seolah dianggap sebagai gaya hidup, kemapanan baru, dan jalan menuju sukses. Untuk itu, mari mengupas tipe aktivis yang tidak patut diandalkan.
Negeri ini menyenangkan sekali sekarang. Semua orang boleh bicara, yang dibicarakan pun boleh apa saja. Negara tidak melarang. Jika sekali saja melarang, negara akan dirisak habis-habisan. Kalau tidak melalui aksi-aksi di jalan, minimal di media sosial. Di sana, nantinya akan ada tagar semacam #negaragagalpaham, #negerirepresi, sampai #shameonyoumycountry. Tagar terakhir dibaca sambil warganet mendendangkan Dangdut is the Music of My Country. Retweet, bagikan, like, love, wow, lalu viral. Jadi trending topic.
Dalam bahasa lain dan dengan hipotesa yang dipaksakan, dapatlah disebut bahwa negeri ini ramah aktivis. Akibatnya, cukup banyak orang yang terjun ke dunia itu, mulai dari terjebak menjadi aktivis di kampus karena keseringan numpang nginap gratis di sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa, aktivis di kampung karena merasa bertanggung jawab moral untuk mengawasi penggunaan dana desa yang terlampau banyak, sampai aktivitas yang gemar reuni. Ooops!
Aktivis adalah salah satu pilar demokrasi. Mereka menyuarakan apa yang seperti sengaja dilupakan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Menjadi ‘alat’ kontrol sosial, menjaga roda pembangunan bergerak pada rel seharusnya, aktivis kemudian menjadi ‘golongan sosial’ baru.
Tetapi dasar kita adalah manusia, yang pada titik tertentu dalam menurut Abraham Maslow membutuhkan puja-puji, banyak orang tertarik menjadi aktivis agar disanjung-sanjung. Dijalankan dengan penuh semangat, mulai karang cerita, lalu tersandung. Aktivis lalu dianggap sebagai pekerjaan. Hmm, jangan-jangan sebentar lagi, di KTP, akan ada kolom yang boleh diisi: Aktivis. Bisa saja.
Yang jadi soal adalah, menjadi aktivis dengan motif puja-puji itu membuat ideal sikap dan perjuangan para aktivis sebagaimana diharapkan masyarakat, menjadi jauh panggang dari api. Sejauh langit ke dasar jamban. Mamamia e.
Aktivisme lalu dianggap sebagai gaya hidup, kemapanan baru, dan jalan menuju sukses berikutnya. Menjadi aktivis kemudian menjadi stepping stone alias batu loncatan untuk pekerjaan impian. Biasanya, sih, jadi politisi. Kan banyak yang begitu. Iya to? Atau minimal jadi penyebar hoax seperti Ibu yang memanipulasi operasi plastik itu. Eh?
Alih-alih dapat diharapkan menjadi alat kontrol sosial, banyak masyarakat yang kemudin merasa terganggu oleh kehadiran sebagian aktivis, terutama para aktivis berbayar; mereka yang ‘turun ke jalan’ membela yang menyokong dengan amplop. Kehadiran mereka lalu terasa begitu lucu. Atau sedih?
Ada aktivis yang tidak memberi warning kepada pemerintah, tetapi malah menyampaikan keinginannya untuk remember pemerintah. Mengapa mereka menjadi begitu romantis? Apakah karena Glenn Fredly sudah berhenti mengeluarkan album-album penuh kerinduan, derai air mata, dan cinta dengan teknik falsetto yang memukau itu? Titip tagar #saveglennfredly, ya. Halaaah.
Karena itulah, saya merasa bahwa lima tipe aktivis berikut ini sebaiknya tidak perlu ada.
Tipe Satu, Terlampau Bersemangat
Puja-puji pada para aktivis akan membuat calon aktivis menjadi bersemangat. Saking bersemangatnya, mereka melihat semua peristiwa/situasi dari sudut pandang aktivisme. Kecenderungan berikutnya adalah mereka merasa setiap hal yang tidak sesuai dengan cara pandang mereka sebagai kesalahan pihak lain. Biasanya negara.
Kalau antrean di bank terlampau panjang, negaralah yang salah karena tidak membuka banyak cabang. Urus administrasi di catatan sipil terlalu lama? Negara juga salah karena membuat birokrasi berbelit-belit. Calon mertua menolak memberi restu? Tetap negara yang salah karena tidak berhasil mendidik generasi terdahulu menjadi demokratis. Pokoknya, dalam semua ketidakberesan, negara selalu salah.
Karena terlampau bersemangat, aktivis tipe satu ini cepat sekali berpindah isu, persis seperti seekor kutu loncat. Konsistensi perjuangannya tidak layak dikenang: cepat berganti topik, dari politik ke kesenian ke Pak Edy di PSSI. Dari lingkungan hidup ke politik ke korupsi sampai ke soal pribadi; kenapa saya masih nganggur?
Tipe Dua, Berharap Dipuji
Ini sepertinya efek yang kerap muncul dari tipe pertama: bersemangat dan berharap dipuji, jika perlu sampai dibuatkan film biografi. Yang buruk dari tipe ini adalah ketika pujian tak kunjung muncul, semangatnya langsung melorot ke titik paling rendah. Lantas, mereka memutuskan berhenti menjadi aktivis dan berharap segera jadi politisi. Halaaaah.
Ketika jadi politisi, kalau tidak dipuji, kan tidak masalah, to? Yang penting, mereka sudah dapat uang, eh, maksudnya proyek, eh maksudnya sudah membantu menyalurkan aspirasi rakyat. Begitu.
Tipe Tiga, Peniru yang Buruk
Tiba-tiba saja mereka mengubah penampilan: ingin semirip Che Guevara, gondrong, bercambang, lalu minta temannya yang jago photoshop membuat foto mereka hitam putih dan poster-able. Diunggahlah foto tadi ke media sosial dan jadi foto profil. Bagus, sih.
Tapi ya, jangan hanya foto profil dong yang dimirip-miripkan. Perilaku juga. Minimal, bisa dilihatlah dari status. Apa, coba, yang bisa diharapkan dari (yang mengaku) aktivis tapi update status atau cuitannya amalah tentang konflik terbaru di sinetron Cinta Suci?
Dan yang paling buruk adalah mereka yang mengaku berjuang untuk keadilan tetapi melecehkan perempuan. Ada yang begitu? Banyak! Yang laki-laki, merayu dengan memanfaatkan pesona keaktivisannya plus alasan sikap rebel, melakukan pemerkosaan. Yang perempuan, merasa menjadi aktivis, lalu menganggap perempuan yang mencintai pekerjaannya di rumah adalah perempuan yang murah.
Sungguh peniru yang buruk. Narasi yang muncul adalah semata-mata permukaan. Tidak dalam. Pokoknya asal foto profil sudah pakai siluet, aktivislah kita.
Tipe Empat, Sprinter
Ada yang sekali terjun dan merasa aktivis, langsung main hajar sana-sini. Tipe sprinter atau pelari cepat jarak pendek memang enggan berpikir panjang; selalu berharap perubahan terjadi dengan segera. Karena itu, mereka jarang mencermati isu dengan baik sebelum bereaksi. Datang, lihat, tangkap, hajar.
Tipe sprinter ini membuat banyak sekali aksi mereka yang dijalankan tanpa pemahaman yang memadai tentang satu isu. Akibatnya, narasi mereka menjadi sangat mudah dipatahkan. Mereka lalu patah hati dan segera mencari partai, berharap dengan menjadi politisi mereka bisa berjuang lebih keras untuk kesejahteraan, meski kali ini orientasi perjuangannya adalah kesejahteraan pribadi. Oh oh oh!
Tipe Lima, Dapat Dipesan
Saya sesungguhnya tidak tega bicara tentang tipe ini, tapi ya ditega-tegain saja. Soalnya, jumlah tipe ini semakin banyak.
Aktivis yang melayani pesanan. Dipesan oleh pencinta lingkungan, mereka turun ke jalan menyuarakan pentingnya kelestarian lingkungan. Dipesan oleh perusahaan tambang, mereka turun ke jalan menarasikan besarnya kontribusi tambang bagi pembangunan. Dipesan oleh jomlo yang kelaparan tengah malam, mereka turun ke jalan dengan jaket dan helm hijau, mengantar pizza.
Asal pemesan dapat membayar dengan jumlah yang memadai, mereka bisa menjadi aktivis apa saja. Maka, jangan heran kalau di sekitar kita ada orang yang tampil di setiap aksi. Tetapi tipe ini umumnya tidak sudi dibayar pakai nasi bungkus, kecuali kalau nasinya dibungkus pakai uang. Diriku juga mau, Om. Ajaklah daku serta! Tidak dibutuhkan negara tidak apa-apa. Asal daku bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tetapi tentu saja jika kamu termasuk satu dari lima tipe di atas, kamu tetap aktivis, kok. Jangan khawatir. Jika konsisten, pemilu berikut bisa jadi caleg. Tapi, bukan pemilu terdekat, ya. Pasalnya, untuk tahun depan, jumlah yang begitu sudah banyak. Investasinya sudah sejak lama. Jangan diganggu. Biarkan saja jadi caleg. Kalau tidak terpilih, dia tetap bisa jadi aktivis lagi. Mumpung ingatan masyarakat kita memang pendek. Begitu dan terima kasih!