MOJOK.CO – Setidaknya, meski Indonesia kerap kalah di urusan timnas sepak bola, tapi kalau lawannya adalah rakyat, negara sih selalu menang.
Timnas Indonesia kalah (untuk yang keenam kalinya) di Final AFF. Dikalahkan Thailand secara telak 0-4 di pertandingan pertama dan hanya imbang 2-2 di pertandingan kedua beberapa waktu yang lalu.
Ini kejuaraan di tingkat ASEAN yang mana praktis hanya ada sedikit tim dari 10 negara yang cakap bersaing dalam sepakbola: Thailand, Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Singapura.
Pertanyaannya, di antara kelima negara itu, kenapa Indonesia selalu gagal juara?
Pertanyaan itu punya banyak jawaban. Mulai dari sistem kompetisi, sistem pendidikan sepakbola, sistem pelatihan, stamina dan fisik, hingga ke kebudayaan bersaing para pemain timnas kita.
Semua jawaban itu ada kebenarannya. Namun, jarang orang melihat soal kekalahan timnas Indonesia ini dari perspektif negara atau dari perspektif politik dan sosial kita.
Mungkin Anda akan berpikir; ah, ini terlalu mengada-ada. Sebetulnya tidak juga. Prestasi olahraga kita sangat terkait dengan problem-problem struktural yang kita hadapi sebagai bangsa.
Maksud saya, sepak bola adalah hasil dari bagaimana kita mengelola hidup sosial dan politik kita; bagaimana para elite dan pengelola negara kita menentukan prioritas, dan bagaimana bakat-bakat bagus dibangun sehingga tidak hangus atau mati di tengah jalan.
Sebenarnya sepakbola atau cabang-cabang olahraga lain adalah alat politik efektif. Kita lihat kalau ada tim serta perorangan kita yang meraih prestasi, mereka dihujani hadiah dan politisi-politisi kita bagai lintah. Saling berlomba menempel dan menghisap prestasi itu untuk kemenangan politiknya.
Itu berbanding lurus dengan rakyat kita yang sangat haus akan kemenangan. Para selebriti, motivator, pemengaruh, hingga ke politisi kita selalu memompakan semangat untuk menang. Pokoknya semua dari kita ingin menjadi pemenang!
Jadi, olahraga—khususnya sepak bola—itu alat politik yang maha-penting. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara lain juga demikian. Di beberapa negara, sepak bola bahkan bisa menimbulkan perang antar-negara atau jadi penentu jatuh bangunnya sebuah rezim.
Lalu, mengapa kita sering (terlalu sering malah) kalah? Mengapa kita tidak bisa memilih bakat-bakat bagus mengolah bola dari bonus demografi kita yang sampai ratusan juta jiwa itu?
Secara personal, saya sangat yakin kalau bakat-bakat itu ada sebenarnya. Keterampilan itu ada. Fisik dan stamina yang baik itu dimiliki oleh anak-anak muda kita, cuma tidak dikelola saja. Persoalannya, mengapa orang-orang yang berkemampuan seperti ini tidak muncul?
Pertanyaan yang sama sebenarnya berlaku di semua lini hidup sosial kita. Mengapa kita sebagai bangsa cenderung terbelakang? Mengapa kita tidak mampu bersaing? Mengapa kita punya banyak sekali orang miskin?
Jawabnya ada pada kemampuan kita mengelola masalah-masalah struktural. Misalnya, kita tidak miskin dipandang dari segi kemampuan produksi. Kita miskin karena kita tidak mau membagi kekayaan negara ini secara lebih berimbang.
Ada yang kaya sekali dengan mengambil banyak sekali keuntungan dari sikap baik negara terhadap mereka, tapi sebaliknya banyak juga orang miskin yang justru kerap mengalami kerugian kalau sedang berurusan dengan negara.
Kita tidak kekurangan orang pandai yang baik. Namun sayangnya, lebih banyak orang-orang pandai dan baik yang terbengkalai karena tidak mendapat pendidikan dan sistem yang adil. Akhirnya mereka tak mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan menyumbangkan kemampuan mereka untuk masyarakat.
Problem yang kita hadapi adalah problem kekuasaan dan kekuatan. Sama seperti sepak bola yang tak bisa diisi oleh pemain-pemain terbaik di posisinya, sebagai negara kita juga tidak bisa mendapatkan yang terbaik di pos-pos tertentu di birokrasi.
Bisa jadi, yang menentukan kebijakan-kebijakan adalah pejabat-pejabat kelas medioker, yang ada di singgasana kekuasaan dan membuat keputusan untuk orang banyak. Mereka ada di sana hanya karena punya koneksi, kemampuan jual-beli suara, atau karena ketaatan pada para oligarki yang mendominasi negeri ini.
Sayangnya lagi, dalam soal timnas sepakbola—seperti rakyat kebanyakan—para pejabat-pejabat medioker itu juga butuh wajah-wajah kemenangan.
Mereka tahu bahwa kemenangan orang lain itu akan membantu mereka bertengger di singgasana kekuasaan selamanya. Namun mereka juga tahu bahwa kemenangan itu harus bersifat loyal terhadap diri mereka.
Dalam realisme politik, kekuasaan itu juga berarti kemampuan untuk mengkoordinasikan sesuatu sehingga mencapai hasil. Di sinilah saya kira kita menghadapi masalah yang serius. Karena koordinasi kita kerap kali didasarkan pertama-tama oleh transaksi.
Karakter hidup politik di dunia olahraga kita sepertinya mirip dengan apa yang digambarkan oleh John Sidel, ilmuwan politik pengajar di London School of Economics, sebagai “bossisme” di Filipina. Setiap cabang olahraga menjadi ranah (bailiwick) dari para bos tertentu.
Siapapun sulit masuk ke ranah itu. Para penguasa ada di sana selamanya. Rezim politik boleh berganti tapi rezim pengelola olahraga tetap sama. Sistem kompetisi baru digulirkan, namun organisasi yang mengeluarkan peraturan tetap sama. Dan organisasi ini menjadi “bailiwick” para bos itu.
Para elite politik yang berkuasa memilih untuk bekerja sama (bertransaksi) dengan para bos ini. Seringkali jasa mereka juga dimanfaatkan untuk memobilisasi pemilih. Bahkan juga untuk mengatur apa saja seturut kepentingan para elite.
Sistem seperti ini pada akhirnya tidak membutuhkan perhatian khusus terhadap atlet. Mereka-mereka yang jadi “prajurit” di garda depan untuk timnas Indonesia. Calon wajah-wajah kemenangan yang dibutuhkan ini, tak betul-betul diurus dan dirawat sedari dini.
Mereka semua cuma dimanfaatkan. Mereka adalah pion-pion yang bisa dengan segera dijatuhkan kalau keberadaannya mengganggu keuntungan para elite olahraga.
Prajurit-prajurit seperti mereka ini hanya akan dipedulikan atau dikontak kalau menang saja, kalau berprestasi dalam kompetisi yang mendapat sorotan seantero negeri, dan punya prestasi yang bisa dijual. Para elite ini hanya tertarik pada “keuntungan”-nya saja, tapi sebenarnya emoh mengelola mereka semua.
Inilah yang jadi sebab kenapa kita semua harus sadar, bahwa problem timnas sepak bola kita ada pada problem struktural.
Tidak hanya beberapa pos-pos di lapangan, di luar lapangan seperti para politisi, pejabat publik, para bos penguasa dunia sepak bola juga bukan orang-orang yang kompeten di pos-posnya.
Mereka di sana bukan karena mereka orang terbaik. Bahkan yang jauh lebih parah, mereka yang berada di pos-pos itu bukan orang yang betul-betul cinta dengan olahraga ini.
Jika sudah demikian halnya, ya wajar kalau kita akan kalah selamanya. Percuma kita punya rakyat sebegitu banyaknya untuk direkrut masuk ke timnas sepak bola, tapi kalau yang “terpilih” di posisi pengendali sistem orangnya itu-itu saja. Dia lagi, dia lagi.
Tak berbeda jauh dengan wajah-wajah pengendali birokrasi kita. Yang meski tak pernah nongol menjadi pejabat, tapi yang akhirnya mengendalikan kebijakan negara ya seputar itu-itu saja. Mereka lagi, mereka lagi.
Rakyat yang tahu, bakal cuma bisa gigit jari karena rasanya seperti menelan kekalahan dua kali. Di timnas sepak bola selalu dikalahkan negara lain, di urusan sehari-hari selalu dikalahkan pemerintahnya sendiri.
BACA JUGA Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia: Negara ‘Survival of The Fittest’ dan tulisan Made Supriatma lainnya.
Penulis: Made Supriatma
Editor: Ahmad Khadafi