MOJOK.CO – Sebelum menggugat Haris Azhar dan Fatia, Pak Luhut semestinya bisa meyakinkan publik bahwa dirinya tidak memiliki konflik kepentingan.
Babak baru pertikaian antara Aktivis HAM Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dengan Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, sudah mencapai tahap pelimpahan kasus ke Kejari Jakarta Timur. Lalu, apa yang akan terjadi?
Pelimpahan tahap dua berupa tersangka dan barang buktinya ini dilakukan setelah berkas perkara keduanya dinyatakan lengkap atau P21. Dalam kasus ini, Haris Azhar dan Fatia dilaporkan Luhut Binsar pada September 2021 karena pernyataan keduanya dalam video yang diunggah di akun YouTube Haris Azhar. Video dengan judul “Ada Lord Luhut Di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”, dianggap tidak benar.
Dalam percakapan di video itu, disebut bahwa PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group terlibat dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Luhut merupakan salah satu pemegang saham di Toba Sejahtera Group. Setelah mendalami laporan tersebut, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menetapkan Haris Azhar dan Fatia sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik.
Tuntutan untuk membebaskan Haris Azhar dan Fatia
Banyak aktivis yang menyerukan agar kasus ini dihentikan mengingat yang dilakukan Haris Azhar dan Fatia, dengan menunjukkan bukti-bukti yang ada, adalah bentuk kritik. Ini bukan bentuk pencemaran nama baik seperti yang diadukan Luhut Binsar. Dalam video tersebut, Haris Azhar dan Fatia mengemukakan temuan mereka dan tidak sedang menyudutkan. Untuk negara demokratis, hal semacam ini seharusnya biasa.
Pada 2019, media di Amerika mengkritik putra tertua Presiden Trump, Donald Trump Jr., yang saat itu berencana melakukan perjalanan ke Indonesia untuk peluncuran resor mewah dengan nama Trump di Jawa Barat dan Bali. Banyak orang menganggap bahwa saat itu Trump sedang menyalahgunakan kekuasaannya, melalui lembaga Trump Organization, untuk membuat kesepakatan bisnis yang menguntungkan dirinya.
Kecurigaan dan kritik terhadap Donald Trump Jr. tidak membuat pejabat di negara itu marah lalu melaporkan pencemaran nama baik, Bahwa ada potensi konflik kepentingan yang melekat dalam kesepakatan pembangunan, semestinya dibuktikan sebaliknya. Bukan menggunakan instrumen hukum atau gugatan pidana.
Integritas adalah yang membuat aparatur pemerintah bisa dipercaya
Meski di Amerika Trump berdalih bahwa dia tidak terlibat secara langsung dalam deal bisnis, tapi publik menginginkan nol persen keraguan. Apa yang dilakukan Trump ketika berkuasa sebagai presiden, terlepas langsung atau tidak, memiliki dampak dalam kesepakatan bisnis, apalagi menggunakan perusahaan yang atas namanya.
Tapi, gimana sih seharusnya pejabat seperti Pak Luhut merespons kritik? Ketika memerintah Roma, Kaisar Agung Marcus Aurelius sangat khawatir untuk tidak membiarkan kekuatannya yang besar membuatnya besar kepala. Marcus Aurelius menyadari kecenderungan orang-orang kuat untuk terbawa oleh jabatan dan kekuasaan mereka. Sesuatu yang kerap terjadi, di mana pemimpin atau pejabat, dikelilingi penjilat yang membuat mereka lupa pada realitas.
Marcus Aurelius dikabarkan mempekerjakan seseorang yang tugas utamanya adalah mengikutinya berkeliling saat berjalan dan bekerja. Setiap kali ada orang yang memuji, memberikan penghormatan, atau sekadar mengucapkan terima kasih, Marcus Aurelius menginstruksikan pelayan itu untuk membisikkan beberapa kata di telinganya. Kata-kata itu adalah: “Kamu hanya manusia. Kamu hanya seorang pelayan.”
Tradisi stoik semacam ini banyak digunakan oleh pemimpin-pemimpin di peradaban zaman dulu. Seneca misalnya, memperingatkan sikap anti-kritik lahir dari kesombongan, merasa sangat baik juga bisa jadi hal yang salah. Jika kita puas terhadap pujian, apalagi sanjungan, kata-kata manis tadi akan menumpuk dan membuat kita kehilangan sikap bijak. Sangat bisa dicontoh oleh Pak Luhut.
Konflik kepentingan
Pak Luhut, menjadi pejabat memang seharusnya begitu, mereka lebih dari apapun, adalah pelayan orang yang dibayar menggunakan pajak rakyat, untuk memberikan yang terbaik pada tuannya. Dalam setiap pekerjaan yang berkaitan dengan kekuasaan, konflik kepentingan semestinya dihindari, kita kan tidak sedang hidup di Orde Baru, di mana anak presiden bisa bikin mobil nasional dan melakukan nasionalisasi cengkeh?
Sudah banyak contoh konflik kepentingan yang akhirnya membuat pejabat jadi rusak. Di Malaysia, mantan perdana menteri Najib Razak, didakwa atas dugaan korupsi, pencucian uang, hingga penyalahgunaan kekuasaan. Namun, berkat kekuatan yang dimilikinya, Najib baru diputuskan akan dipenjara pada \2020. Kekuasaan mudah korup dan akan semakin buruk jika pemimpinnya tak mau dikritik.
Dear Pak Luhut, pemerintahan yang bersih akan membuat rakyat percaya pada aparaturnya. Saat ini, pejabat di Indonesia sedang dalam pengawasan ketat rakyatnya sendiri. Selama beberapa minggu terakhir, pemerintah semestinya sadar dan melakukan evaluasi. Pejabat dirjen pajak dan bea cukai yang ketahuan hidup mewah dengan harta miliaran, dibuka datanya oleh publik.
Pak Luhut nggak punya konflik kepentingan, kan?
Jika Pak Luhut ingin publik percaya, maka yang harus dilakukan adalah menunjukkan bahwa bisnis yang dia miliki tidak memiliki konflik kepentingan. Misalnya, beberapa waktu lalu, ekonom Faisal Basri marah besar dan menyebut proyek kerja sama kendaraan listrik GoTo dan ToBa. “Jadi dia bikin kebijakan, dia siapkan perusahaannya. Jadi obvious sekali. Ini pemerintahan sudah harus dijatuhkan ini kalau begini namanya. Motor listrik itu juga jadi cawe-cawe mereka,” ujar Faisal Basri.
Tentu Pak Luhut bilang, bahwa sahamnya di perusahaan itu sudah minoritas, sudah terbatas. Tapi, apakah kita bisa yakin, tanpa ada keraguan, bahwa proyek kendaraan listrik yang ada, tidak terjadi karena akses dan jabatan yang dimiliki oleh Pak Luhut? Apakah arahan presiden tentang mendorong kebijakan kendaraan listrik, rahasia, tidak diakses publik, dan kerjasama yang ada antara GoTo dan Toba murni kebetulan?
Untuk itu, sebelum mengadili atau menggugat Haris Azhar dan Fatia, Pak Luhut semestinya bisa meyakinkan publik, bahwa, apapun yang dibuat tidak memiliki konflik kepentingan. Sementara itu sebagai rakyat, kita perlu lebih keras dan jeli melihat geliat bisnis pejabat publik kita. Apakah kekayaan yang mereka miliki didapat karena jabatan atau memang kerja keras belaka?
BACA JUGA Luhut Binsar Panjaitan adalah Mimpi Tertinggi Seorang Batak di Indonesia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno