MOJOK.CO – Lha kok main klaim Himpunan Aman 812 di Kuala Lumpur ada karena terinspirasi dari aksi 212 di Jakarta. Latar belakang keduanya beda jauh lho, Bos.
Sama sekali tidak ada yang spesial di Kuala Lumpur pada tanggal 8 Desember 2018; sebuah hari Sabtu yang malas. Diawali dengan bangun yang setengah jam lebih telat dari biasanya.
Kemarin harinya, (lagi-lagi) kiamat belum terjadi kendati pun sumber-sumber agama dengan gamblang menyatakan bahwa kiamat akan terjadi pada hari Jumat. Oleh karena itu, sebagaimana hukum kekekalan momentum, apa yang terjadi pada hari Sabtu hanyalah lanjutan dari momentum rutinitas yang biasa terjadi pada hari Jumat, hari bekerja kelima dalam satu minggu.
Oh, ada yang spesial. Terutama bagi mereka yang biasanya terjadwal untuk bekerja selama enam hari. Saya misalnya, mendapatkan kabar gembira dari manager yang dengan semringah mengatakan bahwa tanggal 8 Desember dijadikan hari cuti dadakan oleh bos kantor kami.
Konon katanya, kantor-kantor lain di Kuala Lumpur yang mengadopsi enam hari kerja ketimbang lima hampir semuanya—jika tidak semuanya—mengambil keputusan yang sama. Semua keputusan tersebut didasari oleh perkara yang sama; bahwa pada tanggal tersebut, sebuah aksi massa akan terjadi sehingga mungkin akan menghambat produktivitas kerja.
Perhimpunan tersebut dinamakan Himpunan Aman 812. Aksi ini berasal-muasal dari keinginan Pemerintahan Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir untuk menjadikan Malaysia sebagai negara yang menyetujui ratifikasi ICERD (International Convention on Elimination of Racial Discrimination).
Raja Petra Kamarudin, seorang wartawan Malaysia terang-terangan menjelaskan bagaimana ratifikasi ICERD dapat “mengguncang” status quo keberadaan sosial-rasial di Malaysia. Alasan utamanya retifikasi ini bakal menghentikan hukum syariah di negara-negara bagian Malaysia yang berbasis Islam, dibolehkannya pernikahan beda agama, dan hal-hal lain yang bisa membuat seorang Melayu-Muslim fundamentalis rontok giginya.
Alhasil, konon sekitar satu juta umat Melayu-Muslim Malaysia dari berbagai negeri bagian berhimpun di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur berkumpul untuk menolak secara tegas ratifikasi ICERD ini. Sebab hal itu berisiko akan mencederai ke-bumiputera-an mereka di negeri Malaysia.
Dengan jumlah massa sebanyak itu, Himpunan Aman 812 mengakibatkan terjadinya blokade jalan-jalan utama di sekitar Dataran Merdeka. Aksi ini dimulai bakda zuhur lalu berakhir ketika waktu Ashar.
Tetapi apa sih yang spesial dari perhimpunan itu?
Bagi saya dan keluarga sebagai salah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang menetap di Kuala Lumpur, perhimpunan itu sama sekali tidak ada artinya. Begitu pula dengan kawan-kawan saya, guru-guru saya, dan kenalan-kenalan saya yang juga berasal dari Indonesia.
Hari berlalu begitu saja; setelah melakukan salat zuhur, saya bermain gawai sebentar dan mencoba mengunduh Pokemon X tetapi tidak bisa lantaran ukuran game yang terlalu besar, dan akhirnya saya tidur siang sampai azan Ashar berkumandang.
Bakda Ashar, saya dan keluarga memutuskan untuk mengunjungi pameran buku murah Big Bad Wolf di area Mines, Seri Kembangan.
Ketika saya mengatakan sama sekali tidak ada artinya, saya tidak mengatakannya dengan konotasi negatif. Tentu saja aksi ini ada arti besar bagi dinamika sosio-politik Malaysia, tapi bagi orang Indonesia yang hidup di Malaysia, aksi itu benar-benar tidak mengubah kegiatan rutinitas saya—kecuali kantor mendadak libur.
Apalagi bos saya pada hari kemarinnya sudah dengan tegas mengatakan bahwa siapa saja yang kedapatan ikut perhimpunan tersebut akan dihadapkan dengan surat pemberhentian 24 jam.
Tambah lagi saya bukan orang Malaysia, jadi walaupun saya sedikit banyaknya tahu latar belakang sosio-politik Malaysia, tetap saja saya tidak berkewajiban untuk ikut koar-koar. Dan saya yakin, pemikiran yang sama tentu muncul dalam diri para TKI yang bekerja keras di kawasan Chow Kit.
Jadi ketika saya mengetahui bahwa cukup banyak orang-orang di Indonesia yang begitu berbangga diri dengan kegiatan tersebut, saya hanya bisa cengengesan.
Ada yang bilang bahwa perhimpunan tersebut terinspirasi dari rangkaian aksi 212 atau Reuni 212. Tentu saja, aksi 812 ini mendulang berbagai pujian dari orang-orang Indonesia terutama beberapa dari mereka yang ikut aksi maupun Reuni 212.
Yang lebih cringe, ada pula yang bilang perhimpunan 812 adalah hasil “energi” dari para peserta 212 yang mengalir sampai ke saudara-saudara seiman di Kuala Lumpur. Wow, baru tahu saya, kini transfer cakra bukan saja bisa dilakukan oleh Naruto, tetapi juga oleh peserta aksi 212.
Saya pikir ini lucu. Kalau kata orang Malaysia, inilah yang dinamakan syok sendiri; para peserta 212 yang mengklaim aksi 812 ada karena terinspirasi dari mereka itu bukan main bangganya seolah-olah perhimpunan Melayu tersebut ada berkat kekuatan ukhuwah islamiyah dari aksi 212.
Padahal tak sedikit dari mereka yang bangga-banggain itu ternyata buta terhadap latar belakang sosio-politik yang ada di balik perhimpunan 812 tersebut. Bukti mudahnya satu: mereka yang memuji aksi 812 jugalah orang-orang yang juga mendukung naiknya Mahathir menggantikan Najib sebagai Perdana Menteri Malaysia.
Lah ini kan lucu, wong aksi 812 itu ada justru untuk mengkritik keras Mahathir yang menginginkan kesamarataan di antara tiga ras utama di Malaysia kok. Yakni ras Cina, India, dan Melayu. Aksi ini adalah upaya pencegahan terkikisnya supremasi ras Melayu di tanah Malaysia.
Perhimpunan 812, dalam hemat saya sebagai orang Indonesia yang sudah menetap di sini, tidak perlu dikait-kaitkan dengan aksi 212. Latar belakangnya jauh berbeda, Bos, meski kelihatannya sama.
Aksi 212 adalah reaksi frontal dilandaskan pada satu kejadian spesifik yang memusuhi satu tokoh yang kemudian merembet ke beberapa golongan politik yang tidak sepaham. Hal yang dalam perkembangannya jadi kekuatan politik yang cukup besar. Sementara perhimpunan 812 lebih bersifat mempertahankan kekuatan mayoritas berlandaskan ras, suku, dan agama sejak awal.
Lagian aksi 812 juga tidak butuh tokoh nasional yang kepleset lidahnya agar bisa mengumpulkan massa seperti aksi 212 kan?