MOJOK.CO – Salut dengan sikap Ustaz Tengku Zulkarnain yang konsisten mewaspadai anjing. Dari cerita anjing masuk masjid zaman dulu, sampai nasi anjing kemarin.
Bagi saya, selain Ustaz Tengku Zulkarnain, tak ada sumber yang lebih otoritatif untuk ditadah informasi juga penjelasan terkait isu agama kekinian. Hanya blio satu-satunya tokoh agama yang saya ikuti di Twitter sebab segala celotehnya—kamu tahu—serupa kicau cucak rowo; merdu, kontemplatif, dan gacor sekali.
Sebetulnya, saya agak ngeri membandingkan polahnya dengan sejenis burung kicau. Sejauh pengamatan saya, selain dengan seekor kuda, ikatan solidaritas Ustaz Tengku Zulkarnain dengan ragam hewan tak begitu menonjol.
Blio pernah mengunggah potret saat berdiri di punggung kuda disertai keterangan yang bisa bikin seorang pujangga minder. Di kali lain, dengan tunggangan kuda yang berbeda, Ia mengunggah gambar dan menegaskan kesiapannya beserta kendaraan arkaik ini jika kelak berjumpa Imam Mahdi.
Saya salut dengan caranya mencintai kuda, sebagaimana saya takjub dengan konsistensinya mewaspadai anjing.
Saat kejadian seekor anjing masuk masjid, Ustaz Tengku Zulkarnain begitu vokal mengeluh di Twitter. Baginya, peristiwa ini hanya layak ditafsirkan sebagai gelagat akhir zaman, di mana Islam sedang terzalimi pol-polan.
Sedangkan beberapa hari belakangan, Blio kembali siaga dan waspada saat mengetahui kasus “nasi anjing”. Blio waspada.
Saya tekankan sekali lagi; W-A-S-P-A-D-A.
Waspada itu harus, asal jangan panik. Kita selalu mendengar petuah bijak itu saat terkena musibah. Karena sikap ini akan menuntun kita pada penyelesaian yang penuh perhitungan dan masuk akal, alih-alih beringas tak tentu arah.
Itulah yang dilakukan oleh Ustaz Tengku Zulkarnain. Katanya, melalui serentetan Tweet, respons warganet terhadap kasus nasi anjing tak lain musibah, dan mencirikan merosotnya harga diri pribumi.
Asli, saya kira blio layak dijadikan staf khusus presiden, utamanya di bidang yang menangani stabilitas harga diri.
Kewaspadaan itu Ustaz Tengku Zulkarnain keluhkan beberapa saat setelah blio menarik kesimpulan dengan sangat double-mind-blowing. Bahwa peristiwa nasi bungkus biasa dinamai dan distempel “nasi anjing” ini hanya memiliki dua arti; 1) nasi untuk makanan anjing; 2) nasi berisi lauk anjing.
Kasus Nasi dgn Label Gambar Anjing Bertulisan Nasi Anjing, TIDAK LAYAK dilakukan oleh manusia di negara Pancasila.
Biantoro Sutijo(Kristen) pihak Pemberi Nasi dgn Ayim(Islam), Penerima sdh BERDAMAI.
Paling tdk ada dua arti:
1. Nasi utk Makanan Anjing
2. Nasi berisi lauk anjing pic.twitter.com/ymapvsgfKF— tengkuzulkarnain (@ustadtengkuzul) April 27, 2020
Dijelaskan dengan cara seapik apapun, Ustaz Tengku Zulkarnain menolak percaya. Meski tak ada kandungan anjing di dalam sajian yang diberikan kepada masyarakat, blio tetap berdiri teguh dengan sikapnya. Kewaspadaan nomor wahid yang layak ditiru.
Blio memang tak menjelaskan kaidah Ushul Fiqh yang berkenaan dengan, misalnya, apa hukum seseorang memberi nama olahan makanan dengan atribut hewani yang najis?
Tentu bukan karena Ustaz Tengku Zulkarnain tak sanggup memberi dasar-dasar fikihnya, melainkan memang yang bersangkutan lebih senang mengungkapkan keprihatinan lewat Twitter aja, bukan sedang berdakwah.
Omong-omong, soal intensitas prihatin di Twitter, ustaz kharismatik yang satu ini barangkali adalah perwujudan SBY 3-4 tahun lalu, tentu dalam kadar yang lebih relijies. Suka prihatin dan suka ngeluh. Eh, atau jangan-jangan adminnya sama? Hmmm…. kita harus waspada.
Kegemaran kita memberi nama makanan dengan jargon yang nyeleneh, dan bagaimana para ulama bersikap, sejatinya bukan barang baru. Tahun lalu, MUI Sumatera Barat bikin fatwa yang membuat saya terheran-heran. Mereka sedikit geram terhadap produsen yang memberi nama olahan makanannya kelewat heboh.
Mulai dari lema “Iblis”, “Setan”, sampai “Neraka” yang jelas-jelas punya citra buruk langsung dijatuhi hukum haram, karena menurut mereka itu bertautan langsung dengan akidah. Jadi, rawon setan bukanlah makanan yang islami.
Ini belum dengan cap makruh untuk produk dengan jargon bertentangan dengan moral—tentu saja moral mereka. Misalnya, “Ayam Geprek Dada Bahenol” karena bisa mengundang syahwat atau “Es Teler” karena memabukkan.
Apa alasan di balik itu semua? Tentu saja waspada. Seluruh yang masuk pada kerongkongan, diolah sistem pencernaan, dan dibuang di lubang jamban, konon harus diwaspadai sepenuhnya sebab ia berkaitan dengan tumbuhnya watak tertentu.
Konon lho, ya. Jika kita makan daging babi, kita akan menjadi rakus. Artinya, jika seorang bocah rutin jajan Mie Ceker Setan, besar kemungkinan ia menjadi fakboy setelah dewasa. Jika gemar ngemil Bakso Neraka, maka bersiaplah kepanasan di akhirat. Aw ngeri pake banget.
Omong kosong lah itu soal asosiasi kesetiaan yang lekat pada seekor anjing, atau niat baik berbagi berkah. Pokoknya, di mata Ustaz Tengku Zulkarnain dan kawan-kawannya, apa-apa yang mencurigakan kayak pemberian nasi anjing ini harus selalu diwaspadai sebagai gejala Islam yang dicurangi, dikadali, atau dizalimi.
Benar begitu kan, Ustaz?
BACA JUGA Kebiasaan Bawa Nama Tuhan untuk Urusan yang Selesai di Tukang Laundry atau tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.