MOJOK.CO – Synchronize Festival dan Pestapora diselenggarakan di venue yang sama. Persamaan antara keduanya semakin mencolok jika kita menengok poster acara.
Pagebluk itu mereda juga dan masyarakat kembali punya kans untuk berhura-hura. Orang-orang, demi menumpas ampas korona, mengerubungi bioskop, mal, bandara, hingga stadion.
Nadi musik yang amat bergantung pada pertunjukan live juga berdetak kencang. Musisi dapat menjumpai audiensnya, kita kembali dilimpahi pilihan untuk bersenang-senang. Selain gig, pensi, dan konser tunggal, musik dirayakan dalam format festival. Biasanya diselenggarakan lebih dari satu hari dan menyajikan puluhan penampil.
Omong-omong soal festival musik, sulit untuk tidak menyebut nama Synchronize Festival dan Pestapora. Mereka menjadi parameter tak hanya dari segi teknis dan produksi, tapi sebuah ide dan nilai yang memberikan kesan kuat kepada khalayak.
Synchronize Festival, pagelaran yang dinahkodai Demajors ini membuktikan bahwa festival musik tidak membutuhkan musisi mancanegara. Ketika dikemas secara matang dan memikat, penonton dan sponsor bersedia kok merogoh kocek dalam-dalam.
Brand positioning festival ini kuat. Saking kuatnya, salah satu pemuka Demajors (penyelenggara Synchronize Festival), Kiki Ucup, memilih pindah barisan dan menghelat festival lain bernama Pestapora.
Synchronize Festival dan Pestapora berlangsung selama 3 hari dan diselenggarakan di venue yang sama. Persamaan antara keduanya semakin mencolok jika kita menengok poster acara. Nama-nama penampil tertera dalam ukuran huruf yang sama. Mengenyahkan popularitas atau senioritas, nama para penghibur ditulis sesuai urutan abjad. Nama Slank, band raksasa yang telah memiliki 24 album, sejajar dengan Skastra yang baru punya 3 album.
Synchronize Festival dan Pestapora banyak menampilkan band-band arus pinggir yang 10 tahun lalu sulit mendapat tempat di festival besar. Ada memang nama-nama seperti Seringai atau Mocca, tapi jumlah dan intensitasnya tidak banyak. Band-band tersebut bukan domain khalayak umum.
Menimbang persamaan-persamaan tadi, saya mengukur seluruh penampil di kedua festival dan mencoba mencari pola. Premis awal saya sederhana saja: lokalitas macam apa yang sedang menjadi gejala? Sudah sejauh dan seberagam apa musik populer Indonesia saat ini?
Saya coba mengukur seluruh penampil Synchronize Festival dan Pestapora berdasarkan asal, komposisi personil (solo, duo, atau band), jenis kelamin, tahun lahir, manajemen/afiliasi, jumlah album, jumlah pengikut di Instagram dan Spotify, jumlah pendengar bulanan di Spotify, serta jumlah subscriber dan tontonan di YouTube.
Pengukuran jumlah pengikut Instagram untuk menaksir popularitas, mengingat Facebook dan Twitter sudah mulai ditinggalkan pengguna dan kehilangan relevansinya. Sementara Spotify dan YouTube adalah barometer pengganti penjualan CD atau album musik, yang fungsinya telah menjadi memorabilia atau klangenan semata.
Memang, tidak seharusnya karya seni dikuantifikasikan begini. Tapi berbicara mengenai festival musik, yang melibatkan modal dan kepentingan besar, tentu saja membutuhkan matriks acuan.
Gampang-gampang susah jadi musisi
Tak hanya Synchronize Festival dan Pestapora, memasuki festival musik apa saja, Anda akan mendapati di dalamnya ada hierarki dan dinamika kekuasaan. Mengapa band A dikasih main siang hari sementara band D mentas saat prime time? Mengapa solois muda yang baru punya 1 album itu dapat jatah panggung utama, sementara band folk kawakan-cum-influential-cum-pujaan-kritikus hanya bermain di panggung kecil?
Internet digadang-gadang akan menciptakan arena tanding yang berimbang. Siapa saja bisa menerbitkan musik secara masif dan gratis. Di semesta yang diidealkan (dan diwujudkan) big tech seperti Google, ternyata itu hanya utopia.
Musik, sebagai produk, perlu menemukan audiensnya. Musisi tidak bisa sekonyong-konyong mendatangi kerumunan dan memaksa orang asing untuk mendengarkan karya mereka. Berbeda dengan karya seni rupa, perantara/cultural intermediary suatu lagu atau album tak kentara. Di festival seperti Synchronize Festival dan Pestapora, saya melihat “tangan-tangan tak terlihat” itu bekerja.
Suka tidak suka, festival mensyaratkan proses seleksi. Berapa besar pun modal yang EO punya, mereka akan selalu menemui hambatan. Contoh paling sederhana adalah pembatasan tempat dan waktu. Maka jargon bombastis akan kalah oleh kepentingan pemodal, kalkulasi kehadiran penonton, serta hambatan teknis.
Proses seleksi menghadirkan eksklusi, alias peminggiran. Pola pikir begini sudah terjadi sejak era Poster Cafe hingga Indiefest. Arena kebudayaan adalah ring tinju di mana para kontestan lebih dulu adu jotos dengan ratusan juri, gatekeeper, abang-abangan skena, serta calo.
Harap dicatat bahwa data-data ini saya rangkum selama kurun 21 sampai 27 September 2022. Perubahan jumlah followers, stream, atau view adalah keniscayaan. 258 adalah jumlah penampil di Pestapora dan Synchronize Festival, sehingga menghapus nama-nama musisi yang tampil di kedua festival ini.
Tak salah jika Pestapora dan Synchronize Festival disebut identik. Jumlah musisi yang dipercaya tampil di 2 perhelatan ini adalah 51. Di samping nama-nama yang telah menjadi langganan headliner seperti Efek Rumah Kaca atau MALIQ & D’essentials, ada Saturday Night Karaoke, Prontaxan, atau Grrrl Gang yang belum dikenal publik secara luas.
Titik kumpul kancah musik masih berada di poros yang sama. Dari 258 penampil di Pestapora dan Synchronize Festival, 126-nya berasal dari Jakarta, menyusul Bandung (58) dan Yogyakarta (19). Melebarkan skop berdasarkan provinsi, 5 besar urutannya adalah DKI (126 penampil), Jawa Barat (75), DIY (19), Jawa Timur (10), serta Bali (9).
Jika dipilah menjadi Jawa atau luar Jawa, hasilnya lebih mengerikan: 242 berbanding 31 (4 lainnya merupakan artis mancanegara). Setop, jangan dimaknai sebagai kegentingan. Anggap saja kenyataan tersebut sebagai cerminan kita bernegara (dan berkebudayaan?) selama dasawarsa terakhir.
Sekarang mari kita telaah berdasarkan performa para penampil di internet.
Follower Spotify | Pendengar bulanan di Spotify | Subscriber YouTube | Jumlah tontonan di YouTube |
Tulus 7,131,162 | Tulus 5,927,318 | Denny Caknan 5,180,000 | Denny Caknan 1,544,587,738 |
Fiersa Besari 4,812,008 | Pamungkas 4,699,117 | Fiersa Besari 3,080,000 | Tulus 837,371,563 |
Pamungkas 3,553,811 | Yura Yunita 4,595,704 | Last Child 2,910,000 | Last Child 747,694,943 |
Payung Teduh 3,018,158 | Fiersa Besari 3,815,240 | Feby Putri 2,840,000 | Armada 655,770,349 |
Raisa 2,780,297 | Tiara Andini 3,604,089 | Tiara Andini 1,910,000 | Pamungkas 616,683,977 |
Fourtwnty 2,592,036 | Feby Putri 3,523,951 | Tulus 1,870,000 | Raisa 429,564,118 |
Armada 2,174,237 | Soegi Bornean 3,349,920 | Armada 1,670,000 | Fourtwnty 426,903,155 |
Tiara Andini 1,854,890 | Afgan 3,057,615 | Kangen Band 1,580,000 | Tiara Andini 410,955,802 |
Last Child 1,764,804 | Juicy Luicy 2,978,928 | Fourtwnty 1,310,000 | Feby Putri 374,707,345 |
Slank 1,576,045 | Budi Doremi 2,727,827 | Agnez Mo 1,290,000 | HIVI! 362,805,959 |
10 penampil dengan jumlah followers Instagram terbanyak adalah sebagai berikut:
Musisi | Jumlah pengikut Instagram |
Giselle (berkolaborasi dengan Last Child, tidak sebagai penampil tunggal) | 36,700,000 |
Agnez Mo | 29,200,000 |
Raisa | 33,500,000 |
Inul Daratista | 17,500,000 |
Melly Goeslaw | 14,400,000 |
Isyana Sarasvati | 11,200,000 |
Tiara Andhini | 5,800,000 |
Afgan | 4,900,000 |
Marion Jola | 4,700,000 |
Fiersa Besari | 4,200,000 |
Saya juga menghitung jumlah personil seluruh penampil Synchronize Festival dan Pestapora berdasarkan jenis kelamin. Anggota grup musik yang saya hitung hanya personil tetap, bukan additional player atau session musician. Musisi pria yang tampil di kedua ajang ini berjumlah 408 orang sementara perempuan 37 (dari total 445).
Sangat, sangat timpang. Tapi saya rasa Anda takkan terlalu terkejut, bukan?
Di sisi lain, mayoritas musisi dangdut, dan turunannya seperti koplo, tidak atau belum memedulikan kehadiran mereka di Spotify. Nama-nama seperti OM New Pallapa, Alam, serta Hasoe Angels tidak dapat ditemukan di Spotify. Nassar, yang hampir memiliki 3 juta pengikut di Instagram, hanya mempunyai 5 lagu di layanan musik asal Swedia itu.
Kekurangan ini tampaknya bisa diselamatkan YouTube, wahana di mana mereka memanfaatkannya dengan cukup baik. Contohnya DJ Tessa Morena (297,000 subscriber) dan OM New Pallapa (2,850). Nahas bagi Nassar, musisi yang bakal bikin panas panggung Synchronize Festival dan Pestapora, seluruh videonya di YouTube tidak berada dalam kendalinya. Kecuali “Gejolak Asmara”, klip-klip mantan suami Muzdalifah itu ada di tangan label atau stasiun TV.
Fenomena ini juga terjadi di band-band lain semisal D’Masiv, Potret, Barakatak, hingga Trio Ambisi. Mungkin itu merupakan konsekuensi dari perjanjian mereka dengan label. Yang perlu kita pertanyakan, apakah ada pembagian hasil dari performa karya mereka di YouTube? Jika ada, apakah bagi hasilnya memuaskan?
Kiamat anak band?
Chart musik dunia membuktikannya. Musisi-musisi solo lebih ngetop dibanding anak band. Menghitung BLACKPINK dan kompatriot K-Popnya sebagai pengecualian, karya musik para penyanyi solo mendominasi selera masyarakat hari ini dan sangat diminati ketika tampil di festival seperti Pestapora atau Synchronize Festival.
Proporsi berdasarkan komposisi personil di 2 festival ini memang masih dikuasai band/grup. Perbandingannya sebagai sebagai berikut: 147 (band), 90 (solo), dan 20 (duo). Namun kenyataan ini akan berubah 180 derajat jika para penampil diukur berdasarkan performa di tangga lagu (cek di Spotify atau Billboard) dan popularitas di internet.
Terlebih di masa pandemi, para musisi solo sangat aktif berkarya dan meraup popularitas begitu besar. Mereka antara lain Sal Priadi, Yura Yunita, Pamungkas, Hindia, Idgitaf, hingga tentu saja si raja mellow dari Bandung, Tulus. Lineup yang keren untuk Synchronize Festival dan Pestapora.
Di tabel popularitas internet di atas, band diwakili Fourtwnty, Armada, Last Child, Payung Teduh, Slank, Juicy Luicy, Soegi Bornean, Kangen Band, dan HIVI!. Di antara mereka tidak ada satu pun yang memuncaki urutan pertama daftar follower dan stream Spotify, serta subscriber dan tontonan di YouTube.
Menariknya, banyak musisi yang berada dalam spektrum non-mainstream turut sukses bersolo karier. Sebut saja nama-nama seperti Pusakata, Hindia, Pamungkas, Jason Ranti, juga Enau. Ini melanjutkan keberhasilan para pendahulu mereka seperti Anda Perdana, Adhitia Sofyan, Frau, juga Danilla.
Paradigma ini bisa saja merupakan cermin suatu generasi: sebuah kondisi di mana anak-anak muda semakin terisolasi, bukan hanya oleh keadaan tapi juga teknologi. Mencipta musik tak lagi memerlukan pertemuan sosial/nongkrong yang intens berkat semakin canggih dan terjangkaunya teknologi pendukung untuk berkarya dan sangat menarik untuk mengisi Synchronize Festival dan Pestapora.
Ngeband itu capek. Lebih parah dari pacaran, ngeband menuntut seseorang untuk berkompromi dan baper-baperan dengan lebih dari satu orang. Urusan musisi pendukung untuk rekaman atau manggung bisa dicari belakangan. Toh otonomi dan otoritas dalam berkarya ada dalam genggaman dan tidak melalui proses yang bertele-tele. Kira-kira begitu pembacaan saya.
Apakah generasi Synchronize Festival dan Pestapora hari ini semakin egois? Apakah kita semakin dekat dengan kiamat anak band? Semoga tidak dan sepertinya bukan itu poinnya. Di balik nama-nama solois di atas, meruah band ciamik macam the Panturas, Feast, atau Reality Club. Tangga lagu populer mungkin tetap akan didominasi para musisi individu. Yang jadi catatan, di kancah non-mainstream format band tetap jadi andalan dan laris manis tanjung kimpul.
Saya kira hal ini paralel dengan apa yang terjadi di skala global. Ambil contoh Inggris. Meski kejayaan musisi format band mereka telah punah, negara tersebut tetap melahirkan kelompok musik aduhai macam Dry Cleaning, Black Midi, serta si pujaan kritikus Black Country, New Road. Ketiganya lahir di penghujung dekade kedua milenium ketiga, jauh setelah NME kehabisan band untuk dieksploitasi (ingat the Libertines?).
Menyeruak dari internet, tak semata-mata menungganginya
Persaingan antar-musisi kian sengit. Jika Anda adalah seorang musisi, langkah apa yang harus Anda lakukan melihat penjabaran data di atas? Apakah ruang bagi musisi nonpusat (poros Jakarta-Bandung-Jogja/Jawa versus non-Jawa) semakin sempit? Benar, kan, internet saja tidak cukup?
Disparitas kehadiran band-band yang berasal dari luar poros sejatinya bisa lebih menganga andai saja tidak ada Yesnoklub. Kolektif asal Yogyakarta itu yang memberi ruang bagi artis dari Papua, Padang, Sambas, serta Samarinda untuk tampil di Pestapora.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya: bagaimana caranya agar karya seseorang bisa dilirik Yesnoklub? Apakah harus eksperimental (seperti Gabber Modus Operandi) atau kitsch (seperti Barakatak) sekalian?
Siapa yang memiliki peran dalam mengatur playlist Spotify? Bagaimana cara Soegi Bornean, trio asal Semarang, menyeruak di berbagai tangga lagu, sehingga membuat mereka laris manis ditanggap berbagai festival? Selama Oktober 2022 saja, mereka dijadwalkan tampil di 16 panggung, termasuk Synchronize Festival dan Pestapora.
Internet memberi kesempatan, tapi logika sosial dunia nyata masih menjadi penghambat. Media musik mungkin telah mati (al-fatihah buat Rolling Stone dan Trax), tapi institusi dan individu otoritatif penentu selera masih ada. Kita tak bisa menyalahkan algoritma melulu karena invisible curator kini menjelma dalam wujud yang variatif. Mereka semakin kasat mata dan perlu dibedah.
Tonton juga obrolan Kiki Ucup dengan Kepala Suku Mojok tentang Pestapora dan Lagu 2000an dan baca juga analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Fajar Martha
Editor: Yamadipati Seno