MOJOK.CO – Arteria Dahlan memang sudah minta maaf, meski sebelumnya ngotot merasa tidak bersalah meski gelombang protes dari orang-orang Sunda bermunculan.
Sampurasun, Kang Arteria Dahlan.
Kumaha, damang?
Maaf, Kang Arteria Dahlan, saya menyapa Akang menggunakan Bahasa Sunda. Karena, bagaimanapun, bahasa Sunda berkontribusi besar pada bagaimana Akang dikenal luas oleh publik.
Saya akan jelaskan sedikit kenapa begitu.
Bahasa ini menyumbang satu kata ajaib, yang tak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, dan tepat guna mendeskripsikan status Kang Arteria Dahlan; “Jomlo“. Untuk gaya bicara khas yang agak kelimpungan dalam melafalkan huruf ‘r’, bahasa Sunda juga menyediakan kata “Cadel“.
Sementara untuk menggambarkan sifat konsistensi Akang—yang kerap disalahartikan sebagai keras kepala itu, “wedel” adalah kata yang paling akurat.
Nah, kata-kata seperti “Jomlo“, “Cadel” dan “Wedel” yang bisa Akang jumpai dalam KBBI itu diserap langsung dari Bahasa Sunda. Dan untuk sementara, hanya tiga kata itu yang secara spesifik terasosiasi pada sosok Kang Arteria Dahlan.
Bukan. Sungguh bukan karena keterbatasan bahasa Sunda yang tidak mampu mengidentifikasi sosok sebeken Akang. Bahasa yang saya gunakan sejak lahir itu, selain termasuk dalam bahasa paling banyak dituturkan, juga menjadi bahasa daerah paling banyak diserap oleh kamus besar kita—setelah Jawa dan Minangkabau, tentu saja.
Kecuali tiga kata di atas, publik sejujurnya agak kesulitan untuk menjelaskan sosok Akang dengan cara yang paling representatif.
Paling mentok, Akang akan dikenal sebagai sosok politikus muda yang pernah memaki Prof. Emil Salim di televisi yang ditonton oleh jutaan orang, atau mas-mas Anggota DPR yang ngebet banget disebut “yang terhormat”, atau mas-mas random penyuka klub Manchester United.
Akang, bagaimanapun, berutang pada Bahasa Sunda karena ia memperkuat citra dan identitas Akang. Oleh karena itu, betapa kecewanya saya saat Akang meminta seorang Kejati dicopot hanya karena ia menggunakan bahasa Sunda dalam rapat. Itu permintaan yang sangat muluk, dan berlebihan.
Banyak orang Sunda yang marah karena itu, Kang. Dari Dedi Mulyadi hingga Ridwan Kamil, teman-teman satu fraksi Akang, para budayawan seperti Budi Dalton dan Ahda Imran, dan yang lebih mengkhawatirkan, Masyarakat Sunda secara umum—termasuk saya.
Kang Arteria Dahlan yang baik, Alif Danya Munsyi alias Yapi Panda Abdiel Tambayong alias Remy Sylado punya ungkapan bagus—yang kemudian jadi salah satu judul buku monumentalnya—untuk menyadarkan sikap Akang tersebut, katanya “sembilan dari sepuluh kata dalam bahasa Indonesia adalah asing”.
“Asing” dalam konteks tersebut, menurut Alif Danya Munsyi, bukan hanya merujuk pada bahasa lintas negara, tetapi juga bahasa daerah—Sunda tentu saja termasuk.
Ini bukan omong kosong. Data dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1996 saja mengungkap, paling tidak kita menyerap ribuan kata dari bahasa Belanda, Arab, Inggris, Tionghoa, Portugis, Tamil, dan lain-lain.
Ribuan, Kang Arteria, itu jumlah yang sangat banyak, dan angkanya pasti akan terus membengkak.
Dengan begitu, saat Akang bilang “Kita ini Indonesia” sembari meminta seorang penutur Bahasa lain (baca: Sunda) dicopot jabatannya, itu suatu aksi kamikaze yang paling kocak dalam sejarah kita.
Maksud saya, seharusnya Kang Arteria Dahlan juga memecat diri sendiri, karena setiap kalimat yang Akang ucapkan—baik di ruang publik maupun ruang privat—sesungguhnya lebih banyak meminjam dari bahasa “asing”.
Lebih-lebih, sebagai politikus, Akang pastilah tahu idiom-idiom politik mayoritas diambil dari bahasa asing, terutama Yunani, kan?
“Kita ini Indonesia,” kata Akang, dan saya sebagai pengagum berat sedikit kecewa.
Mengapa Akang punya obsesi akut terhadap sesuatu yang murni, seolah-olah “Indonesia” itu sendiri jatuh dari langit, tanpa ada proses panjang yang melatarbelakanginya? Padahal kata pelawak zaman baheula, yang betul-betul murni di Indonesia hanya susu murni asal garut (produk sunda, lho!).
Lucunya, ketika gelombang protes untuk Akang Arteria Dahlan sudah menggelora dan mencapai klimaksnya, Akang sempat ngotot untuk tidak mau minta maaf.
Saat itu Akang bilang, “Kalau saya salah, kan, jelas, mekanismenya ada di MKD. Apakah pernyataan saya salah?”
Lalu Akang juga bilang, “Tetapi izinkan saya juga menyatakan yang demikian. Repot, dong, kalau anggota DPR tiba-tiba seperti ini. Kita punya mekanisme, kita punya kanal-kanalnya. Dan saya bisa membuktikan yang saya katakan itu tidak ada maksud untuk mendiskreditkan.”
Untungnya kengototan Akang ini berubah seketika saat Ketua DPP Partai PDIP Perjuangan menegur. Dari yang awalnya Akang kayak singa perkasa menolak minta maaf, tiba-tiba jadi kayak kucing penurut yang lucu.
“Saya dengan sungguh-sungguh menyatakan permohonan maaf kepada masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda atas pernyataan saya beberapa waktu lalu,” kata Akang Arteria Dahlan yang berubah sikap.
Oh, ternyata selama ini Akang di DPR Komisi III itu bukan Wakil Rakyat, tapi Wakil Partai.
Ribuan teriakan masyarakat Sunda tidak terdengar, satu bisikan Ketua DPP langsung menggelegar. Ya nggak apa-apa, kami sudah sering dengan yang begitu-begitu kok Kang Arteria.
Salam sehat Akang Arteria Dahlan. Semoga selalu sadar dan tidak blunder-blunder lagi.
BACA JUGA Ada yang Menjabat Sampai 30 Tahun, Kenapa Masa Jabatan Anggota DPR Tidak Dibatasi? dan ESAI lainnya.
Penulis: Muhammad Nanda Fauzan
Editor: Ahmad Khadafi