Selamat siang Pak Imam Nahrowi, Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Perkenalkan, saya Jose Mourinho. Biasa dipanggil Jose, bisa dipanggil Mou, dipanggil Rinso juga boleh. Suka-suka Bapak lah. Siapalah saya ini, cuma pengangguran.
Sengaja saya bikin surat terbuka ini terkait pemberitaan ramai soal isu saya bakal ditawari jadi pelatih tim nasional Indonesia, negara Bapak yang hobi banget bakarin buku itu.
Aduh, begini, Pak Nahrowi. Bukannya gimana-gimana, ya. Saya sih sebetulnya tertarik saja untuk melatih negara situ. Saya tahu betul negara Indonesia adalah negara yang punya kegilaan luar biasa terhadap sepak bola.
Bahkan konon, sejauh saya dengar, bukan cuma masyarakat saja yang fanatik, tapi juga aparat keamanannya sampai ikutan bikin klub sepak bola. Dari TNI, Polri, dan siapa tahu nanti geng PNS juga ikut-ikutan. Nama klubnya bisa jadi United Sipil. Disingkat jadi Upil.
Nah, euforia begitu besar, bahkan juga dari pemangku kebijakan negeri bapak itu, bikin saya tertarik sekali sebenarnya. Tapi saya tak sembarangan tertarik, lho.
Begini, saya sudah mempelajari apa yang menyebabkan saya dipecat Chelsea. Semua bermula cuma gara-gara saya memarahi staf medis klub, lantas para pemain malah membangkang ke saya. Mereka main ogah-ogahan hampir sepanjang musim. Kalah terus, kalah terus. Eden Hazard dkk sengaja banget bikin saya dalam posisi kejepit.
Yang lebih memalukan, ketika saya melaporkan masalah ini ke Bapak Roman Abramovich, si taipan minyak itu malah lebih percaya sama pemain saya daripada saya sendiri. Alhasil malah saya yang dipecat. Kurang ajar. Untung saja saya takut sama dia, coba kalau berani…
Saya kemudian menyimpulkan, yang membuat saya gagal di Chelsea adalah soal tiadanya bekingan kuat yang menopang pekerjaan saya. Maka karena itulah, saya merasa tertarik waktu mendengar desas-desus Indonesia tertarik memakai jasa saya. Lha terus hubungannya apa?
Lha piye? Sepak bola Indonesia itu katanya cuma soal bekingan siapa yang lebih canggih, kan? Makin penting orang yang membekingnya, pasti aman, semustahil apapun nanti skenarionya. Yang saya dengar sih begitu. Betul tidak?
Di kota Surabaya, misalnya, saya tahu ada klub bernama Bhayangkara Kopi Torabika Surabaya United yang bisa hidup karena bekingannya ciamik punya. Sementara klub bersejarah seperti Persebaya 1927 cuma tinggal nama karena yang dukung cuma kroco-kroco. Ada klub lain yang berganti-ganti nama dan daerah. Dulu Pelita Solo, jadi Pelita Jaya Karawang, sekarang Pelita Bandung Raya karena yang punya orang penting dan yang punya federasi.
Saya sih cuma dengar desas-desus, tapi kalau beneran ada, saya justru tertarik karena berharap bisa dibekengi biar aman. Siapa tahu saya bisa ikutan juga nyalon di Pilkada negara Bapak beberapa tahun lagi.
Oh iya, saya dengar Bapak juga sempat berkonsultasi dengan Erick Thohir, Presiden Inter Milan–klub kedua di kota Milan itu loh–ya, Pak? Sebentar, saya penasaran, blio yang jadi vokalis Endank Soekamti juga bukan, sih?
Nah, kebetulan sekali saya juga punya hubungan dekat dengan Inter, jadi saya bisa ikut nimbrung. Tapi, kurang ajarnya, belum juga ikut urun opini, asisten saya pernah bilang jika bung Erick ini malah mengusulkan ke Bapak nama Guus Hiddink. Kata blio, Guus Hiddink (saya enggak yakin dia jebolan pesantren) lebih berpengalaman menangani timnas daripada saya.
Ealah… Aki-aki medioker begitu kok ya dipercaya.
Adapun ketertarikan saya lainnya untuk menerima tawaran Bapak adalah karena soal, ehem, bayaran. Ya gimana ya, Pak, meskipun saya ini pelatih kelas dunia, tapi sekarang saya lagi nganggur jeh. Lagi pula kalau dikategorikan di negara Bapak, saya ini kan cuma pegawai outsourcing.
Walaupun saya tahu ekonomi negara Indonesia memang enggak bagus-bagus amat, tapi saya yakin kok Kemenpora pasti menemukan cara buat membayar gaji saya yang cuma 250 miliar rupiah per tahun itu. Angka tersebut juga masih bisa di-nego kok, Pak. Asal jangan kelewat afgan aja nawarnya.
Enteng kok itu, Pak. Kan tinggal patungan saja Pertamina dan rakyat, masuk sudah itu barang. Lha wong Rio Haryanto saja bisa sukses balapan dengan mobil prototipe di Formula One karena hasil patungan satu negara kok. Apalah artinya bayarin gaji saya yang cuma 250 M itu Pak dibandingin 15 Juta Euro buat modalin satu orang balapan mobil?
Nanti jaket saya ada tulisan Pertamina juga tidak masalah, Pak. Atau mau ditato sekalian muka saya dengan tulisan Pertamina? Ya tak apa, asal jangan di-petrus saja nanti sayanya. Yang penting gaji saya beres dan tidak telat dibayar.
Soalnya informasi yang saya dengar, sepak bola Indonesia itu suka telat bayar gaji pemain. Bahkan kadang malah enggak dibayar sekalian sampai si pemain mati beneran. Ih, ngeri deh.
Mengenai target capaian, saya kok yakin rakyat Indonesia enggak akan peduli timnas berprestasi atau tidak meski saya pelatihnya. Saya belajar banyak dari capaian Rio Haryanto. Cuma dengan modal naik podium dan juara beberapa kali di GP2, tapi dipaksain masuk F1 dengan kebanggaan yang tak masuk nalar. Padahal ya di GP2 tahun lalu, Rio ini juga belum pernah juara dunia
Ini ibarat Emyu yang kepingin masuk Liga Champions padahal peringkatnya cuma mentok di papan tengah, eh terus mereka bayar panitia UEFA biar bisa tembus. Kan agak-agak konyol tolol gimana gitu.
Lagian kok ya prestasi dihitung cuma dari keikutsertaan kompetisi. Udah kayak Arsenal aja. Halah, itu lho Pak, klub dari London juga yang selalu konsisten ikut Liga Champions tapi enggak pernah juara sama sekali. Di negara saya klub model begitu disebut bawang kothong, tahu deh di negara Bapak disebut apa.
Lalu mengapa saya bisa yakin kedatangan saya enggak akan berpengaruh banyak terhadap prestasi timnas Indonesia?
Begini, Pak Nahrowi.
Negara Bapak ini baru aja dicabut sanksi oleh FIFA beberapa waktu lalu. Sanksi yang bikin Liga resmi di negara Bapak enggak ada setahun kemarin. Turnamen sih masih ada, tapi kan masih berkala (kala-kala muncul, kala-kala tenggelam, kaya kodok belentung pas musim hujan gitulah).
Di sini saya jadi sangsi. Soalnya di seluruh dunia ini, timnas yang bagus itu dihasilkan dari sistem kompetisi dalam negeri yang juga wajib bagus. Lha, Bapak ini bikin gebrakan baru dengan membekukan PSSI—yang saya denger korup—di awal kepemimpinan Bapak, tapi sama sekali tidak bikin solusi konkret.
Mana kompetisi usia mudanya? Emangnya legenda-legenda macam Firman Utina atau Bambang Pamungkas mau dimainkan terus sampai mereka berubah wujud menjadi engkong-engkong yang nafasnya senen-kemis? Jangan, Pak, kasihan, tulangnya juga sudah keropos.
Saya pribadi juga enggak sudi bekerja seperti Indra Sjafri yang sampai tombok duit sendiri untuk blusukan ke seluruh pelosok negeri mencari pemain berkualitas. Bahkan blio yang sudah berkorban banyak begitu saja tetap dipecat kok, saya jelas emoh lah.
Kedua, saya kok enggak yakin suporter di negara Bapak suka dengan pendekatan sepak bola saya. Emang kalian ikhlas kalau timnas Indonesia nanti main bertahan terus? Kalau bertahan dari korporasi mafia judi sih jelas enggak mungkin, tapi kalau bertahan dari serangan lawan di atas lapangan saya masih sanggup, deh.
Saya bahkan sudah punya istilah khusus lho untuk gaya bermain timnas Indonesia di bawah kepelatihan saya kelak. Namanya: Park The Mayasari Bakti.
Soalnya begini, Pak. Setelah saya tonton lagi video-video pertandingan timnas Indonesia, saya merasa kalian kok seperti timnas Belanda yang mengagungkan sepak bola indah, tapi minim prestasi. Tapi kejauhan ding kalau dibandingkan dengan Belanda. Mereka sih beneran indah, lha Indonesia boro-boro, malah seringnya suka enggak sadar kemampuan sendiri.
Kalian juga menganggap Thailand dan Singapura sebagai rival, tapi saya sih enggak yakin kedua negara tersebut menganggap Indonesia juga sebagai rival.
Itulah kenapa, saya enggak yakin 100% bisa bikin sepak bola Indonesia bisa maju selama Bapak–dan PSSI–masih mikir instan bahwa dengan mendatangkan pelatih papan atas otomatis bikin timnas jadi naik kelas. Kalau boleh saya usul, lebih baik Bapak belajar bikin sistem pembinaan pemain muda dulu deh.
Lha kalo fondasinya aaja belum ada, gimana saya mau bikin rumahnya, Pak?
Tapi kalau Bapak masih kena sindrom euforia keajaiban Leicester City yang juara Liga Inggris musim ini, berarti Bapak cuma butuh satu solusi yang saya yakin pasti jitu: Segera kontrak Pak Tarno. Si Tukang sulap.
Dibantu, ya… dibantu, ya… Prok-prok-prok, Indonesia jadi juara!
Sudah dulu ya suratnya, Pak. Mau angkat jemuran dulu nih. Nanti kita sambung lagi. Jika ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Jika tidak ada? Ya numpang di mana, kek. Rempong deh kaya petugas kelurahan.