MOJOK.CO – Daripada terus menarasikan kesuksesan tim nasional sepak bola Indonesia yang telah berpuluh tahun lewat, PSSI sebaiknya membuat sejarah baru.
Historia magistra vitae (Sejarah adalah guru terbaik). Adalah benar bahwa sejarah adalah guru terbaik, namun lebih baik jika kita bisa menorehkan sejarah. Demikian pula, sejarah bukan hanya gelimang prestasi, tapi juga pahit getir peradaban.
Membincangkan prestasi, sepak bola kita agaknya hanya mengungkit sejarah yang semakin lama durasinya dengan waktu saat sejarah itu diperbincangkan. Sejarah pertama yang selalu diulang adalah keikutsertaan tim nasional “Indonesia” di Piala Dunia 1938 di Prancis. Sejatinya memang bukan Indonesia, sehingga kata Indonesia perlu diberi tanda petik. Yang bertandang ke Prancis adalah Tim Nasional Hindia Belanda.
Sejarah kedua yang acapkali dinarasikan adalah prestasi tim nasional sepak bola pada dekade 1950-an sampai dengan 1960-an. Keberhasilan tim nasional merah putih di Piala Emas Aga Khan, dan keberhasilan menembus perempat final Olimpiade 1956 melawan Uni Soviet, menjadi cerita kebesaran sepak bola Indonesia.
Periode waktu paling dekat adalah keberhasilan tim nasional sepak bola kita meraih emas di SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Indonesia menang 4-3 atas lewat adu penalti di partai final di Stadion RIzal Memorial.
Cerita-cerita itu terjadi berpuluh tahun yang lalu, bahkan lebih dari setengah abad yang lalu. Kini sepak bola Indonesia telah jauh mengalami penurunan. Kemarau panjang prestasi sepak bola telah terjadi secara akut. Negara jiran yang dulu acapkali menjadi lumbung gol saat berjumpa Indonesia, kini justru bergeliat. Thailand, yang menjadi rival di masa lalu, kini prestasinya telah melesat meninggalkan Indonesia.
Tata kelola yang buruk dalam sepak bola, berkelindan dengan kuatnya kepentingan politik praktis menjadi penyebab utama ambruknya prestasi sepak bola. Menjadi ketua umum Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) adalah jalan ninja terbaik bagi para politisi untuk meraih popularitas. Mungkin, hanya presiden yang bisa mengalahkan popularitas ketua umum PSSI di media massa.
Dalam kajian jurnalisme, ini adalah anomali. Di Amerika Serikat, kajian jurnalisme menempatkan jurnalisme olahraga sebagai jurnalisme mainan (toy journalism). Berita tentang olahraga ditempatkan di halaman belakang koran. Halaman pertama koran mutlak menjadi milik jurnalis yang meliput isu politik, dan selanjutnya ekonomi. Menjadi jurnalis olahraga dianggap tidak sementereng jurnalis politik.
Sebaliknya di Indonesia, berita tentang pemilihan ketua umum PSSI justru tampil di halaman muka. Koran, yang saat ini mengalami senja kala bersaing dengan media daring, menjadikan isu pemilihan ketua umum PSSI di halaman muka. Sejurus dengan media cetak, media daring juga secara berkelanjutan memberitakan perkembangan pemilihan ketua umum PSSI.
Warganet bersuara, menambah keriuhan. Semakin riuh, ketua umum PSSI semakin mendapatkan perhatian publik. Bahkan, perhatian publik itu telah mengemuka saat masih menjadi calon ketua umum PSSI. Daripada membakar uang untuk membuat baliho dari Sabang sampai Merauke, pilihan maju sebagai calon ketua umum PSSI adalah pilihan tercerdas bagi para politisi untuk meneguk publisitas.
Deretan nama yang maju sebagai calon ketua umum adalah La Nyalla Mattalitti, Erick Thohir, Arif Putra Wicaksono, Doni Setiabudi, dan Fary Djami Francis. Sementara untuk wakil ketua umum, mengemuka nama-nama ini, Ahmad Riyadh, Ahmad Syauqi Soeratno, Andre Rosiade, Azrul Ananda, Doni Setiabudi, Duddy S. Sutandi, Fary Djemy Francis, Hasani Abdul Gani, Hasnuryadi Sulaeman, Iwan Budianto, Juni Rachman, Maya Damayanti, Ratu Tisha Destria, Sadikin Aksa, Yesayas Oktavianus, Yunus Nusi, Zainudin Amali, Bambang Pamungkas, Gede Widiade, dan Ponaryo Astaman.
Nama Iwan Budianto, sosok yang menjadi sorotan publik pasca Tragedi Kanjuruhan menjadi kontroversi karena sebelumnya menyatakan tidak bersedia maju kembali. Sedangkan di posisi exco, ada delapan puluh tiga nama yang beredar. Dari beragam nama yang beredar, berikut lima nama yang cukup mengemuka menjadi perhatian media dan publik.
Dari beberapa nama yang beredar sebagai calon ketua umum, ada dua nama yang paling meraih perhatian publik. Pertama, Erick Thohir, dan kedua La Nyalla Mattalilti.
Erick Thohir
Di tahun 2013-2018, saat masih menjadi pengusaha Erick Thohir membeli 70 persen saham klub besar Italia, Inter Milan. Erick Thohir juga memegang saham klub sepak bola Oxford United pada November 2018.
Saat menjadi pengusaha cum menteri BUMN, Erick Thohir mengambil alih 51 persen saham klub yang berlaga di Divisi III di Inggris ini di tahun 2021. Di Liga 1, Erick Thohir melalui Mahaka Group mulai menunjukan ketertarikannya dengan mengambil saham Persib Bandung. Selanjutnya, meskin dengan jumlah yang lebih sedikit, Erick Thohir berperan di Persis Solo.
La Nyalla Mattalitti
Selanjutnya adalah La Nyalla Mattalitti. Jejak karier sepak bolanya di tingkat nasional dimulai dengan menjadi Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jawa Timur sekaligus menjadi anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI. La Nyalla pula yang menjadi salah satu pemrakarsa Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI). KPSI adalah organisasi saingan PSSI pada 2011 yang membuat kompetisi sepak bola tandingan.
Keberadaan KPSI akhirnya berujung pada dualisme kompetisi dan konflik yang berkelanjutan di PSSI. Kiprahnya semakin meningkat setelah dipilih menjadi Wakil Ketua Umum PSSI 2013-2015. Kariernya terus memuncak saat meraih kursi Ketua Umum PSSI pada 2015. Namun setelahnya, menteri pemuda dan olahraga membekukan PSSI dan FIFA menghukum Indonesia.
La Nyalla Mattalitti adalah sebuah anomali. Sebagai senator yang berasal dari Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti justru terlibat dalam pusaran polemik. Pusaran konflik yang bermula dari Jawa Timur, terutama Surabaya. Pusaran yang terus membesar menjadikan Surabaya episentrum geger geden sepak bola Indonesia.
Di masa kepemimpinannya di PSSI, dua klub diloloskan untuk berkompetisi pada musim 2015. Keduanya adalah Persebaya Surabaya dan Arema Cronus. Persebaya adalah yang dimaksud di sini adalah sebuah klub jadi-jadian yang sering diledek sebagai Persebaya Kubar, karena diboyong dari Persikubar Kutai Barat.
Padahal hasil rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) menyatakan kedua klub tidak bisa berkompetisi karena dualisme. Perlawanan deras terjadi dari para pendukung Persebaya (1927) terjadi secara terorganisir dan spartan, meskipun diiringi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok paramiliter.
Akhirnya Persebaya (1927) yang memenangkan konflik, dan sekaligus memenangkan hati publik. Persebaya Kubar berusaha meraih hati publik dengan berganti nama dengan Bonek FC, dan Surabaya United. Kini klub ini menjadi Bhayangkara FC.
Meski kiprahnya meraih hati pendukung publik penggemar sepak bola di Jawa Timur, terutama pendukung Persebaya gagal, La Nyalla Mattalitti terpilih menjadi senator dari provinsi yang kuat tradisi sepak bolanya ini.
Ratu Tisha Destria
Setelah nama Erick Thohir dan La Nyalla Mattalitti, ada beberapa nama yang cukup media darling dalam bursa pencalonan wakil ketua umum dan exco. Ratu Tisha berada dalam deretan pertama nama yang populer. Kiprahnya sebagai Sekjen PSSI pada 2017-2020 menjadi modal sosial yang penting. Ratu Tisha juga sempat menjabat sebagai Wakil Presiden AFF pada 2019-2022. Kemampuan manajerial dan adminitratifnya tentu menjadi modal sosial. Wacana tentang peran perempuan di sepak bola menjadikannya semakin populis.
Azrul Ananda
Azrul Ananda adalah nama selanjutnya. Tangan midasnya dimulai dengan bola basket, di mana dia mendirikan sekaligus menjadi Direktur Utama PT Deteksi Basket Lintas (DBL) Indonesia yang rutin menggelar kompetisi bola basket usia muda. Di berbagai kota, DBL menjadi ajang yang populer, meskipun levelnya amatir.
Di level professional Lulusan California State University, Sacramento ini membuktikan kompetensinya dnegan kemegahan liga basket profesional National Basketball League (NBL) Indonesia dan Women’s National Basketball League (WNBL) Indonesia. Di sepak bola, Azrul Ananda sukses memodernisasi Persebaya. Sebagai tim sepak bola eks Perserikatan yang terbiasa menyusu ke pemerintah.
Persebaya pasca-diakui kembali oleh PSSI di tahun 2017 berubah menjadi tim sepak bola modern. Pertandingan, baik resmi maupun eksebisi Persebaya dikemas dengan megah dan terorganisir. Tiket pertandingan dijadikan daring, toko merchandise dibangun di berbagai titik, dan pembinaan usia muda dilanggengkan.
Persebaya tetap menggarap kompetisi internal, tradisi yang banyak ditinggalkan klub eks Perserikatan. Inilah yang menjadikan Persebaya menjadi pabrik pemain tim nasional dan klub-klub lain. Kompetensinya jelas mumpuni.
Ahmad Syauqi Soeratno
Ahmad Syauqi Soeratno menjadi representasi dari tanah lahirnya PSSI, Yogyakarta. Ahmad Syauqi Soeratno pernah menjadi CEO Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI). Sebelumnya, Ahmad Syauqi Soeratno menduduki posisi Deputi Sekjen PSSI, pada 2009, hingga 2011. Sebelum aktif di PSSI, Ahmad Syauqi Soeratno dikenal aktif ikut berkecimpung di PSIM Yogyakarta.
Ahmad Syauqi Soeratno berhasil menyelamatkan Asprov PSSI Daerah Istimewa Yogyakarta, setelah dibekukan oleh PSSI di tahun 2018 akibat konflik internal. Ahmad Syauqi Soeratno dikenal peduli dengan pembinaan sepak bola di daerah, dan dekat dengan suporter. Kiprahnya diharapkan mampu mengembangkan sepak bola di daerah.
Nama selanjutnya
Selain nama-nama di atas, masih ada beberapa nama lain. Dilatarbelakangi Mojok membatasi jumlah karakter, maka sementara hanya di kelima nama tersebut. Selanjutnya, esai ini bisa berseri, menyambung ke babak-babak selanjutnya. Demikian pula, Anda bisa menambahkan nama-nama selanjutnya. Tentu, kita berharap PSSI bisa mencetak sejarah, bukan hanya mewariskan sejarah yang berpuluh tahun lewat.
Penulis: Fajar Junaedi
Editor: Agung Purwandono