Meski sama-sama tahu yang barusan menggantikan Andik Vermansah adalah Zulham Zamrun, tetap saja kita membiarkan suara komentator pertandingan memenuhi ruang keluarga kita. “Zulham menggantikan Andik, Bung. Daaan… sayang sekali, pemirsa, sentuhan pertama Zulham Zamrun adalah pelanggaran.” Tak ada tombol mute yang dipencet demi membungkam suara televisi. Tak ada pula telinga yang disumpal bulatan kapas berdiameter tiga senti.
Yak, ganjil rasanya jika tayangan sepakbola tanpa suara komentator. Menurut saya, komentator dalam pertunjukan sepakbola adalah keluwek dalam rawon, atau tempe busuk dalam sambal tumpang. Penting. Tak tergantikan.
Bahkan tak cuma di televisi. Di pertandingan tarkam, setidaknya, kendati penontonnya hadir langsung di seputar lapangan, tetap saja kehadiran komentator diperlukan.
Di daerah saya, biasanya ia duduk di menara kecil bertiang, berdinding, dan berlantai bambu. Sementara atapnya berbahan terpal atau seng. Bersenjatakan sebatang mikrofon, seperangkat amplifier, serta dua-tiga TOA yang diusung dari balai desa atau tempat penyewaan alat-alat pesta–dan barangkali sebungkus kretek serta satu-dua gelas kopi–dengan nafas yang sesekali megap-megap lantaran mulut harus terus mengejar aliran bola, si tukang bacot ini tampil. Bukan main, pertandingan yang sesungguhnya berjalan biasa saja jadi sesemarak final Piala Dunia.
Kalau beruntung, Anda bisa mendengarkan komentar-komentar ajaib yang takkan Anda peroleh dari tempat lain–termasuk dalam game Pro Evolution Soccer 2024 atau FIFA 2045 sekali pun. Misalkan ketika bola membubung lalu menunjam ke kerumunan penonton, si tukang bacot berteriak seperti seorang biduan dangdut sedang mengajak bernyanyi bareng, “Penontoooonn!” Juga komentar degil saat bola mendamprat selangkangan salah seorang pemain, yang bernama Suroso semisal.
“Suroso tampaknya terlalu bersemangat, Saudara-saudara. Sampai-sampai ia nekat memperagakan adegan terlarang: kontrol lakang.”
Atau, yang membuat siapa pun sejenak mengernyit lalu tersenyum sesudah berhasil mencerna komentar “Dan bola pun meninggalkan lapangan lalu jatuh di pangkuan Desi Ratnasari, saudara-saudara” setelah bola terbang dan mendarat di tenda biru milik salah seorang pedagang mi ayam di balik pagar seng sana. Dan tentu perumpamaan-perumpamaan yahud seperti “tendangan sabit”, “merujak pertahanan lawan”, “mengiris-iris sisi kanan pertahanan lawan”, “kiper bertangan ketan” (lantaran lengket), “gocekan yang ulet seperti jenang”, dan sebagainya.
Saya beruntung tinggal di kota kecil yang dikepung desa-desa kabupaten sekitar. Hingga setidaknya, dulu, ketika lapangan-lapangan sepakbola belum berubah menjadi perumahan dan pabrik, juga kala sepakbola masih dilakukan di atas lapangan berumput–bukan di lantai semen atau kayu atau rumput sintetis–serta anak-anak muda masih memiliki waktu luang lantaran belum tersedot kerja-kerja sif atau tumpukan tugas-tugas sekolah, saya sempat akrab dengan pertandingan-pertandingan tarkam. Selain komentar-komentar ajaib tadi, saya saksikan pula polah-polah ganjil dari pemain mau pun para pendukungnya.
Kurang ganjil apa ketika sesaat sebelum pertandingan dimulai, seluruh anggota tim melipir ke semak-semak demi membalik sempak yang mereka pakai. Tentu itu atas perintah dukun. Juga ulah perangkat tim yang mengolesi tiang gawang dengan minyak babi sesaat sebelum adu penalti, mengencingi garis gawang sebelum pertandingan dimulai, atau kiper yang selain sibuk menjaga gawang juga ribet membersihkan letong tinggalan sapi yang merumput siang tadi.
Barangkali Anda yang tinggal di kota besar tak mengalaminya. Namun, jika Anda pernah menjadi penggemar tayangan sepakbola nasional pada masa jaya TVRI hingga masa awal stasiun televisi swasta, saya rasa tak perlu kelewat berciut hati. Paling tidak, Anda pasti intim dengan ungkapan-ungkapan yang kelak menjadi semacam pakem bagi komentator sepakbola negeri ini. Seperti “apa yang terjadi, Saudara-saudara?”, “hampir saja”, “maksud hati”, “umpan tanggung”, “terlalu deras, Bung”, “membombardir pertahanan lawan”, “cita-cita yang terlampau tinggi”, “tendangan geledek”, “salah pengertian”, dan sebagainya yang bisa Anda daftar sendiri seusai membaca tulisan remeh ini.
Lebih-lebih jika Anda tergolong hardimeners yang tega membatalkan janji begitu tahu yang menjadi komentator pertandingan di sebuah sore adalah Bung Hardimen Koto. Tentu, lekat di ingatan teriakan legendaris si Bung begitu Salim Alaydrus, yang ketika itu membela Persib Bandung, membobol gawang Ulsan Hyundai: “Cap jaguuuuung!” Juga ucapan melebih-lebihkan-namun-asyik seperti “tendangan yang berpotensi mengganggu penerbangan domestik” setelah bola membubung tinggi di atas gawang. Atau sindiran pedih macam “gerakan yang berhasil menipu kawan sendiri”. Dan yang hingga kini masih membikin saya misuh ketika teringat ialah “sodok from behind”. Ampun reog, Bung Hardimen! Aku bocahmu!
Sementara itu, dari jagat televisi kekinian, belakangan populer teriakan “ahay” dari Bung Hadi Gunawan dan “jebret” dari Bung Valentino Simanjuntak. Bagi beberapa orang, barangkali dua barang baru ini melegakan. Namun, bagi saya ini firasat buruk.
Menurut saya, dibandingkan ungkapan-ungkapan ajaib milik para komentator tarkam ataupun, katakanlah, Bung Hardimen Koto, “ahay” dan “jebret” terdengar biasa. Dua barang baru ini menjadi populer lantaran dunia perkomentatoran selama ini begitu-begitu saja. Tak ada kebaruan. Mandek. Alih-alih berdaya cipta tinggi, yang muncul adalah kata-kata serapan dan istilah-istilah teknis dari bahasa Inggris dalam takaran menelerkan hingga membuat kuping sempoyongan. Sampai-sampai ada kalanya saya curiga, apakah kini selain berperan di video klip lagu “Tahu Bulat”, Vicky Prasetyo juga menyambi menjadi komentator sepakbola?
Lebih-lebih saat tim nasional bertanding. Hampir pasti para komentator mengungkit-ungkit perihal tubuh katai dan loyonya daya tahan pemain kita dalam berlari dan menggajul bola. Seakan negara-negara Amerika Latin, yang para pemainnya umumnya bertubuh sama kerdilnya dengan pemain kita, tak pernah sekali pun menjadi juara dunia. Seolah pula Maradona sekadar tokoh fiksi yang merupakan tandem Kapten Tsubasa.
Memang, sesekali Bung Hadi Gunawan cukup berani menjadi tidak begitu-begitu saja. Misalnya saat Indonesia bertemu Filipina di babak penyisihan grup AFF 2016, ia mengganti nama salah seorang pemain Filipina, Younghusband, menjadi “Suami Muda”. Apalagi ia menggantinya tanpa menggelar selamatan terlebih dulu. Luar biasa.
Masih di gelaran yang sama, sehabis Singapura unggul satu gol atas Indonesia lewat Khairul Amri, barangkali lantaran putus asa, ia berujar, “(Bagi) Khairul Amri adalah golnya yang pertama di AFF 2016 dan gol yang ke-32 buat timnas Singapura. Sedangkan tadi, (bagi) Kurnia Meiga Hermansyah adalah golnya yang ke-7 di ajang AFF 2016.” Namun, sekali lagi, secara keseluruhan, jagat perkomentatoran kita cenderung membosankan.
Pertanyaannya kemudian, jika komentator tarkam dan, semisal, Bung Hardimen bisa menyelipkan guyonan serta permainan bahasa, kenapa yang lain tidak bisa? Padahal menurut saya itu penting. Sebab komentator, sekali lagi, bukan sekadar pelengkap pertandingan sepakbola. Melainkan bagian dari pertunjukan sepakbola itu sendiri.
Belum lagi ketika prestasi sepakbola kita yang untuk menjadi jago di Asia Tenggara saja ngos-ngosan, kehadiran komentator yang menarik bisa menjadi penawar kekecewaan yang, saking beruntunnya, sampai serasa tulah turunan. Menang senang, kalah masih semringah. Indah, bukan?
Ayolah, Bung-bung sekalian, Anda pasti bisa!
Ujian pertama tentu saja laga tandang timnas melawan Vietnam, 712 nanti. Kalau gagal, siap-siap saja posisi Anda tergusur. Asal Anda tahu, dua hari yang lalu Bung Brama Kumbara bilang kepada saya bahwa duet Bung Komeng dan Bung Cak Lontong siap memproklamirkan diri memimpin revolusi jagat perkomentatoran sepakbola Indonesia.
Benar begitu, Bung Cak?