MOJOK.CO – Downtown Mall Summarecon Bekasi bukan sekadar tempat. Ia menjadi oase, seperti obat melupakan lelahnya hidup di bawah sengatan matahari Bekasi.
Jumat malam, sekitar pukul setengah tujuh. Lampu-lampu di Downtown Mall Summarecon Bekasi mulai menyala lebih terang dari harapan hidup kaum komuter yang baru saja saya antar.
Dari arah bundaran menuju Bekasi Central Business District (Bekasi CBD), gedung tinggi dan kafe-kafe modern berdiri megah, memantulkan cahaya yang tak kalah dari pusat Jakarta. Bekasi kini bukan sekedar tempat orang pulang, tapi kota yang tumbuh dengan percaya diri, tempat warganya mulai merasa layak untuk menikmati hasil jerih payahnya sendiri.
Penumpang saya, seorang karyawan swasta yang sepanjang perjalanan dari stasiun LRT tadi mengeluhkan target bulanan, melakukan sebuah ritual yang selalu membuat saya terpesona. Di dalam mobil, bahunya terkulai, wajahnya lelah dimakan layar laptop, dan suaranya datar.
Namun, begitu mobil saya berhenti di lobi Downtown Mall Summarecon Bekasi, sebuah metamorfosis terjadi. Bahunya mendadak tegap. Wajahnya yang kusam kini dipasangi senyum tipis penuh percaya diri. Tangannya yang tadi terkepal lesu kini menggenggam ponsel dengan mantap, siap untuk mengabadikan momen. Dia turun, mengucapkan “Makasih, Pak,” dengan nada yang sama sekali berbeda dari 5 menit yang lalu.
Dari balik kemudi, saya menyaksikan dia berjalan memasuki keramaian. Dia bukan lagi seorang karyawan yang lelah, tapi seorang performer. Dan inilah tesis ngawur saya malam ini.
Downtown Mall Summarecon Bekasi bukanlah sekedar tempat makan. Ia adalah panggung validasi terbesar di Bekasi, dan mobil saya adalah ruang ganti di belakang panggungnya.
Panggung, aktor, dan properti wajib di Summarecon Bekasi
Coba perhatikan. Atmosfer di Summarecon Bekasi berbeda dari sekedar “tempat nongkrong”. Cahaya temaram yang disetel sempurna, alunan live music yang membuat semua orang merasa menjadi pemeran utama dalam video klip, dan meja-meja yang disusun seperti kursi penonton. Semua orang di sini sadar bahwa mereka sedang dilihat, dan secara sadar pula ikut melihat. Ini adalah sebuah pertunjukan kolektif.
Sebagai driver, saya melihat para aktornya datang silih berganti. Ada “Keluarga Cemara 2.0”, sang ayah jadi fotografer tak berbayar demi memastikan ibu dan anak punya foto candid sempurna.
Lalu, ada “Geng Anak Muda Sukses”. Obrolannya terdengar seperti podcast startup, padahal isinya cuma keluhan kantor berbungkus istilah Inggris. Ada pula “Pasangan Romantis Konten” yang menghabiskan 10 menit pertama menata kopi dan makanan demi satu Instagram Story, sebelum akhirnya tenggelam di ponsel masing-masing.
Properti di Summarecon Bekasi pun sudah standar. Ponsel seri terbaru adalah tongkat sutradara, kunci mobil yang diletakkan di atas meja adalah penanda status, dan kantong belanja dari merek ternama (yang kadang isinya kosong) adalah kostumnya.
Mobil saya adalah ruang pengakuan dosa
Ironisnya, saya tahu cerita di baliknya. Saya adalah saksi bisu dari sesi “gladi resik” mereka sebelum menginjakkan kaki di Summarecon Bekasi. Di dalam Toyota Raize saya inilah, mereka menjadi manusia seutuhnya.
Saya mendengar telepon dari atasan yang memarahi mereka, keluhan soal cicilan yang belum lunas, atau pertengkaran kecil dengan pasangan soal “mau makan di mana” yang sebenarnya adalah soal “kita ini mau dibawa ke mana”.
Di dalam mobil saya, mereka adalah teks drama yang mentah dan jujur. Begitu pintu mobil terbuka dan mereka melangkah ke lobi Downtown, mereka menjadi pertunjukan yang sudah disensor dan diedit dengan sempurna.
Mengapa mereka butuh panggung ini? Karena Bekasi adalah kota yang menempa warganya dengan keras. Siang hari adalah tentang bertahan hidup di tengah kemacetan, target, dan panas yang tak kenal ampun. Malam hari adalah tentang membuktikan bahwa semua perjuangan itu ada hasilnya.
Nongkrong di Summarecon Bekasi bukanlah soal kemewahan, tapi soal mengambil kembali narasi. Ini adalah cara mereka berkata kepada dunia, dan yang lebih penting, kepada diri mereka sendiri: “Hidup gue nggak cuma soal macet di Tol Cikampek dan kalimalang. Lihat, gue juga bisa menikmati malam secantik ini.”
Summarecon Bekasi: Panggung kecil untuk pulih
Maka, setiap kali menurunkan penumpang di Summarecon Bekasi atau Bekasi CBD, saya selalu tersenyum kecil. Saya tahu, mereka sedang memulihkan diri, meski dengan cara yang tak lagi santun bagi sebagian orang: lewat selfie, kopi mahal, atau caption manis yang sedikit berlebihan. Tapi tak apa. Itu bentuk doa paling modern yang kita punya.
Dan lucunya, saya pun kadang melakukan hal serupa. Setelah seharian menjemput dan mengantar orang dengan segala keluh-kesahnya, saya sering parkir di sudut Summarecon Bekasi atau danau buatan di CBD, memesan kopi atau sekadar air mineral dingin, lalu duduk diam menatap lampu-lampu yang temaram itu.
Rasanya seperti menepuk bahu sendiri. “Kerja kerasmu hari ini ada artinya. Lihat, kamu juga berhak menikmati malam yang cantik ini.” Karena panggung ini bukanlah soal kemewahan atau pura-pura, tapi soal kebutuhan jiwa yang paling sederhana.
Di kota yang menempa dengan keras di siang hari, kita berhak menjadi bintang utama di malam hari, walau hanya untuk beberapa jam saja. Dan di antara kilatan lampu dan blitz kamera, ada kelegaan yang nyata: bahwa cerita kita, serumit apa pun di baliknya, malam ini terlihat baik-baik saja.
Penulis: Akhmad Yunus Vixroni
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Di Mata Driver GoCar Lulusan Psikologi, Bekasi Saat Ini Sudah Jauh Lebih Nyaman Dibandingkan Jakarta dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












