MOJOK.CO – Padahal kalau kamu aja nggak mau pindah agama, terus ngapain bersikeras nyuruh orang lain buat pindah agama?
Usai tulisan tentang status saya penganut Katolik tapi ber-KTP Islam kemarin, mayan banyak lho netizen yang kasih perhatian. Baik yang japri di medsos, atau yang kirim imel ala surat tjintah tanpa emotikon waru-waru.
Dan dari deretan surat tjintah yang penuh dengan bujuk rayu mendayu-dayu ala lagu-lagunya Bang Rinto Harahap (anak jaman now, gugling dulu yak), banyak sekali kalimat bernada doa sematjam ini:
“Ya semoga mbaknya dapat hidayah, cepat-cepat masuk Islam, karena yang mbaknya lakukan itu dosa.”
Uwuwuwuwuwuwuw, ngerih.
Kok ngerih? Ya iyalah, ngerih, dapet imel bernada doa semacam itu, plus ancaman dosa yang seyakin-yakinnya hakul yakin, kan biasanya bukan kerjaan manusia.
Karena yang punya kerjaan ngitung dosa manusia, kan cuma malaikat. Kalau manusia mah, kerjaannya ngitung duit sama kalender doang, kapan tanggal gajian, sama berapa lembar sisa duit di dompet.
Gara-gara surat tjintah sematjam itu, saya seneng dong, dapet target stalkingan baru.
Ya kali aja, mereka yang kirim surat tjintah penuh doa itu, beneran malaikat. Kan mayan yak, saya boleh GR dikit, dikenal sama malaikat jew. Walau saya kenalnya cuma malaikatnya Charlie doang, yang kerjaannya bag-big-bug pake gaya cantek tapi mematikan.
Etapi, ternyata mereka-mereka yang ngirim doa semacam tadi, ya manusia-manusia juga, yang masih doyan selfi pake gaya duck face, atau lagi pamer halan-halan ke mana-mana dengan riang gembira.
Kalau saya lagi kurang kerjaan, biasanya sih, surat semacam itu, hanya diaminkan saja. Tapi kalau lagi kurang ajar, ya tak balas gini;
“Amien, ya semoga mbak/masnya juga diurapi Roh Kudus, dan menjadi pengikut Kristus yang taat, Tuhan Memberkati, Shalom.”
Lengkap pake emot senyum malaikat dengan “halo” di atas kepala.
Kalau sudah begitu, dijamin dah, jawaban tersebut bakal berbalas panjang dan awet.
Dan sayangnya, surat tjintah yang isinya doa agar saya mendapat hidayah, dapat tandingan juga. Dari beberapa orang, yang mengaku sebagai PaGem, BuGem, hingga orang-orang yang aktif di lingkungan gereja, yang merasa bahwa saya adalah bagian dari ”domba yang hilang”.
Eh, intermezzo dulu yak, perkara kalimat ”domba yang hilang”. Banyak yang baper, ngerasa disamain sama domba, gara-gara kalimat ini, terutama justru sobat-sobat dari kalangan muslim.
Banyak yang mennganggap bahwa ungkapan tersebut, ditunjukkan bukan kepada umat Kristiani, namun kepada orang-orang yang belum mengenal Yesus dan mengimani ajaran kasihnya. Atau dengan kata lain, non-Kristiani (or whatever you name it).
Padahalnya, makna dari kalimat “domba yang hilang”, sebenarnya ya ditunjukkan ke mereka-mereka, umat Kristiani, yang “nyeleweng” dari ajaran gereja.
Misalnya yang males ke gereja (kayak saya), yang jarang berdoa (kalau ini saya rajin, rajin berdoa minta rejeki), atau hal-hal lain yang nggak sesuai dengan 10 Perintah Tuhan, atau aturan hidup bergereja.
Oleh karena itu dijuluki domba yang hilang, domba yang tersesat, karena dianggap masih tersesat di jalan. Belum pulang sepenuhnya ke “rumah” Bapa.
Makanya, kadang kita denger ada panggilan PaGem atau BuGem, yang memang singkatan dari Pak Gembala atau Ibu Gembala, yang ditunjukkan, kepada mereka-mereka, para pendeta.
So, gosah baper lagi yha, kan udah jelas, kalimat itu ditunjukkan untuk siapa.
Nah, balik lagi ke perkara surat tjintah tandingan yang tadi. Mereka-mereka ini, yang ngirim surat tjintah, ngerasa bahwa selama ini, jalan yang saya tempuh juga salah.
Karena menjadi seorang Kristen, harusnya juga bisa membawa keluarga, mengimani Kristus juga, dan bersatu dalam ikatan keluarga kudus.
Dan yang saya lakukan, dengan membiarkan suami dan anak-anak saya tetap memeluk agama Islam, adalah sebuah dosa, sebuah kesalahan.
Apalagi saya ini orangtua, ibu dari anak-anak saya, sudah menjadi kewajiban saya, untuk menuntun mereka mengimani Kristus, dan menjadi umat-Nya.
Lah to, salah mulu kan saya? Harus ikut remidi berapa kali coba?
Dan yhaa… bisa dipastikan jugak, kalau saya lagi selow binGit, pengen liat orang ngamuk, ya saya jawab agak bertele-tele.
”Mas/mbaknya, kira-kira mau nggak, pindah agama lain gitu, masuk Islam kek, siapa tau terus terkenal gitu kayak Felix Siauw. Atau nyoba convert ke Hindu, Buddha atau Konghucu, siapa tahu bisa liat ’matahari’ lain gitu. Atau yah mungkin nyoba mengimani ajaran Subud, yang digagas oleh Subuh Sumohadiwidjojo.
Itu orang Indonesia loh yang bikin, nggak pake impor dari luwar negeri. Jadi nggak ada cap aseng asing. Lha wong nama Sumohadiwidjojo kan gak mungkin kalau DNA-nya 100% orang Yurop gitu.
Tapi yang ngimani ajaran itu, nggak hanya orang Indonesia loh, tapi banyak juga dari negara lain. Di Inggris aja, ada 61 titik tempat mereka belajar dan berkumpul, mengenal ajaran Subud. Piye, tertarik yang mana?”
Habis itu, kalau ndak malah diomelin balik, ya saya diblokir.
Ya gimana lagi, buat saya, yang juga diberi kebebasan oleh orangtua saya, dalam memilih agama mana yang bakal saya imani, rasa-rasanya saya kok terlalu egois jika memaksa mereka pindah agama.
Kalau perkara dosa, ya biar lah saya yang menanggung, wong itu memang tanggung jawab saya sebagai orangtua.
Lagipula, toh anak-anak ini juga sebenernya nggak minta dilahirkan juga ke dunia, tapi ego kita, sebagai manusia, yang menginginkan mereka ada.
Masa iya, sudah dipaksa lahir ke dunia, dapet orangtua antik macam saya, masih dipaksa pula dalam memilih agama. Orangtua macam apa saya ini coba? Kok ngasih beban anak bertumpuk-tumpuk.
Cukup lah saya mengajarkan kebaikan saja, agar mereka belajar menjadi manusia, yang memanusiakan orang lain, tanpa labeling macam-macam.
Saya rasa, kejadian-kejadian yang saya tulis ini, mayan sering kita denger atau lihat akhir-akhir ini. Masa di mana banyak yang merasa perlu, menjadi bagian dari tangan Tuhan, yang merasa wajib, bisa ”menarik” manusia lain, agar mengimani iman yang sama dengan iman yang ia imani.
Kayak balik lagi ke masa jaman-jamannya jualan Tuhan lewat ”acara” Gold Glory and Gospel itu lagi booming-boomingnya.
Tapi lucunya, saat dibalik, apa mau, mereka convert ke agama lain, yang tak mereka imani? Ya tentu bakal ngamuk-ngamuk, marah-marah sambil nuduh kalau saya keturunan setan.
Padahal kan ya, kalau sendiri aja nggak mau pindah agama, ngapain nyuruh orang lain buat pindah agama. Paradoks yang aneh to?
Sama saja kan, dengan analogi kalau nggak mau dicubit, ya jangan mencubit. Kalau nggak mau dipukul, ya jangan memukul.
Jangankan mencubit atau memukul, yang biasanya jelas dapet balasan yang sama, hawong kita mencium aja, kadang dapet balesannya bisa ditapuk pakai sandal.
Dan sadar ngga sih, kalimat-kalimat penuh doa dan harapan yang nyelenong di surat tjintah tadi, sebenernya nyakitin loh.
Ya bayangin aja, dibilang semoga dapat hidayah, kan sama aja, nganggap lawan bicara itu nggak punya iman, nggak punya keyakinan. Makanya merasa perlu didoakan agar dapat hidayah dari Tuhan.
Lah, yang diajak bicara kan belum tentu ia tak beragama bukan?
Lagipula, dengan berkata seperti itu, sama saja dong, menganggap kerdil iman si lawan bicara, menganggap iman orang tersebut, kepada Tuhannya, hanya setipis kulit ari.
Sama aja tuh, yang bilang bahwa saya itu tak benar dalam mengimani iman Kristus, dengan membiarkan keluarga saya, menemukan jalan menuju Tuhannya sendiri-sendiri.
Hadeh, kalau memang manusia di dunia ini harus menjadi orang Kristen semua, ngapain juga sih Tuhan menciptakan kita begitu berwarna?
Terus, kalau seluruh penduduk bumi ini beragama Kristen semua, lalu mau apa, dapet apa? Bukannya perkara iman itu perkara pribadi, panggilan jiwa?
Ibaratnya, kamu sendiri nggak suka, saat ada yang sibuk mengukur imanmu, dosamu, lalu kenapa justru kamu berbuat sebaliknya, mengukur iman dan dosa seseorang, lalu berbuat seolah malaikat, menjadi ”savior” bagi mereka, dengan cara menawarkan agama baru.
Apa nggak ada kerjaan lain gitu? Bantuin petugas kebersihan kek atau ngelakuin trash challenge. Kayaknya lebih berguna deh. Lebih bermanfaat bagi kemaslahatan lingkungan, timbang mancing emosi jiwa orang lain.
Lagian, musim hujan begini mbok ya jualan payung gitu lho, malaaah agama.