MOJOK.CO – Mau sesukses apapun perempuan Madura, selama tidak kunjung menikah maka siap-siap aja bakal dilabeli berbagai stigma yang cukup menyesakkan dada.
Pembangunan Jembatan Suramadu yang membentang dari sisi utara Jawa Timur dan sisi selatan Pulau Madura sedikit memberi angin segar bagi kemajuan daerah saya. Dikatakan “sedikit” karena setelah seremonial pembukaan hingga beberapa kali pergantian kepala daerah, tidak ada perubahan yang berarti.
Yah, di sektor pariwisata dan ekonomi berkembang sih, meski sangat lamban.
Walau bagaimana pun sebagai orang Madura yang tinggal di dusun, kemajuan ini tetap saya syukuri. Sebab, mulai banyak para orang tua yang berpikiran lebih luas soal standar pendidikan anaknya, wabil khusus perempuan.
Perempuan Madura saat ini lebih mudah mendiskusikan ke mana ia hendak melanjutkan nasibnya setelah lulus SMA atau pesantren. Mau sekolah atau bekerja?
Tidak seperti generasi saya dulu, tidak ada tawar-menawar perihal itu. Belum lulus pesantren atau SMA sudah geregetan banget dicariin suami. Katanya, perempuan itu yang penting tahu ilmu agama dan akhlak. Sisanya mengabdi pada orang tua dan suami.
Maka beruntunglah kalian jika mendapatkan kesempatan ditanya mau ngapain setelah lulus SMA atau mondok. Itu keistimewaan yang nggak semua perempuan Madura miliki lho.
Sayangnya, keterbukaan sikap orang tua ini terbatas pada situasi tertentu saja. Perempuan Madura tetap memiliki batas atau lebih tepatnya tetap dibatasi kapan ia harus menempuh pendidikan dan bekerja. Salah satu tuntutan yang paling sering adalah tuntutan untuk cepat-cepat menikah.
Tuntutan semacam ini masih sama kencengnya diteriakkan meski si perempuan dianggap sudah mendapatkan pendidikan tinggi dan punya karier bagus. Sebab, mapan secara ekonomi itu urusan lelaki, yang kelak menjadi pendamping hidupnya, bukan urusan perempuan.
Mau sesukses apapun perempuan Madura, secantik apapun ia, selama menyandang stasus lajang, tiada artinya dibandingkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak. Perempuan melajang dilabeli berbagai stigma yang cukup menyesakkan dada.
Berikut ini saya rangkumkan beberapa label yang sering ditempelkan pada perempuan Madura yang betah melajang.
Nampek (Pilih-pilih)
Di posisi pertama label nampek atau pilih-pilih.
Perempuan Madura yang dijodohin jarang banget ikut terlibat dalam pemilihan jodohnya. Kalau jaman sekarang kita kenal dengan ta’aruf, antara perempuan dan lelaki sama-sama tahu, di tradisi perjodohan orang Madura agak berbeda.
Kamu bisa aja tiba-tiba dijodohin sama saudara sepupumu, anak tokoh di kampungmu, anak kiai di kampungmu, anak tetangga, atau anak siapa aja yang keluarganya dianggap cocok dengan keluargamu untuk besanan.
Lah mending kalau yang dijodohin sama-sama suka, kalau sebaliknya? Runyam pasti.
Nolak nggak enak, diterima juga padahal nggak ada cinta. Benar-benar nggak segampang putusnya remaja ibukota saat putus dengan pasangannya dengan cukup bilang, “maaf kamu terlalu baik,” atau “aku mau fokus skripsi.”
Kondisi yang paling ekstrem dan masih ada, baru jadi cabang bayi aja kamu udah dijodohin sama cabang bayi yang lain. Terus tumbuh gede bareng layaknya adik dan kakak, tambah bingung dan sungkan kan mau nolak?
Penolakan perempuan atas jodoh yang dipilihkan akan dianggap pilih-pilih, terlalu arogan, sok cantik. Bahkan dianggap pula sebagai penyebab keretakan hubungan antar keluarga.
Ada juga yang komentar, “Emang situ siapa? Anak pejabat?” Atau komen macam, “Emang maunya kayak gimana sih? Gitu aja kok pilih-pilih.”
Lah? Milih celana dalam aja kita pilih-pilih, masa milih calon suami nggak boleh pilih-pilih?
Sangkal (Susah dapat jodoh)
Rajin menabung pangkal kaya, rajin menolak perjodohan pangkal sangkal atau susah dapat jodoh.
Biasanya para orang tua paling takut kalau anak gadisnya sampai pernah menolak pinangan. Apalagi si calon adalah orang yang punya bebet, bobot dan bibit yang dianggap baik. Bisa masuk daftar hitam sebagai anak gadis yang mau dikawinin.
Ada banyak cara yang dilakukan orang tua agar anak gadisnya tidak sangkal. Dibawa ke acara kondangan, silaturahmi keluarga, silaturahmi dengan ibu-ibu nyai, ke pasar, dan tempat-tempat yang memungkinkan ada yang melirik anak gadisnya.
Mirip kayak safari politik anggota caleg menjelang pileg. Kesannya jual murah setelah tadinya dijual mahal. Tetapi menolak ajakan orang tua seperti mengulang durhaka kedua setelah penolakan perjodohan.
Belum lagi mandi kembang tujuh rupa pula untuk menghindari aji-ajian yang dikirim oleh para peminang yang pernah ditolak. Maklum, ungkapan pinangan ditolak dukun bertindak itu masih berlaku di dusun saya.
Peraben Tuwah (Perawan Tua)
Pada tingkatan ini, alasan perempuan Madura memilih melajang karena belum menemukan calon yang cocok. Oleh karenanya mereka lebih fokus berkarier sebagai karyawan atau pebisnis. Ada juga yang mengabdikan diri sebagai relawan pendidikan, relawan kesehatan, atau relawan hatimu.
Mereka ini bisa dibilang golongan perempuan Madura idealis. Menganggap pernikahan itu sesuatu yang sakral sehingga perlu sakral juga prosesnya—nggak boleh sembarangan kayak milih belanjaan di swalayan. Tidak sembarangan memutuskan pilihan hanya takut dianggap perawan tua.
Label perawan perawan tua tidak ia pusingkan, meski yang pusing tentu saja keluarganya. Karier yang sempurna, pendapatan yang cukup tidak selalu membanggakan bagi mereka. Bahkan ada yang menilai statusmu yang tinggi inilah yang membuatmu jadi perawan tua. Karena hal itu dianggap sebagai penyebab tak ada lelaki yang berani meminang.
Orang tua mulai sering mengeluh tentang statusmu yang mengkhawatirkan ini karena sangat tidak kondangan-able untuk diajak, arisan-able untuk diajak, dan able-able yang lain. Kehadiranmu di sebuah acara justru akan menimbulkan bisik-bisik dan dugaan kenapa tidak jua menikah.
Bahkan bisa jadi semacam sesi tanya jawab atau klarifikasi atas status lajangmu.
“Kenapa tidak menikah?”, “Kok betah sendiri terus?”, “Kapan nih dikenalin sama pasangannya?”
Apalagi kalau ketemu temen lama yang jarang update, tiba-tiba sok akrab dan nanya, “Anakmu udah berapa?”
Yaowoh, akun Lambe Turah aja sampai kalah.
Lok Pajuh (Tidak laku)
Di posisi terakhir ini merupakan jalan pedang seorang perempuan Madura. Label ini semacam vonis sepihak atas diri perempuan Madura yang memilih melajang hingga tua. Itu artinya si perempuan Madura ini telah melewati proses dianggap nampek, sangkal, dan peraben tuwah.
Jika ia masih melajang pada titik ini, maka ia adalah orang yang sangat hebat. Hebat menahan semua pandangan miring tentangnya. Jangan ditanya rasanya seperti apa, coba rasain sendiri. Kamu nggak bakal kuat, biar perempuan Madura aja.
Pada dasarnya, orang Madura itu tahu bahwa juduh, pateh ben rejekeh (jodoh, kematian, dan rejeki) itu hanya Tuhan yang tahu. Sayangnya, orang Madura suka lupa aja kalau urusan jodoh perempuan juga termasuk di dalamnya.
Jadi cuma urusan jodohnya laki-laki aja yang dianggap di tangan Tuhan, jodohnya perempuan sih dipercaya ada di tangan orang tuanya.