[MOJOK.CO] “Coco bukanlah film anak biasa. Coco bisa juga dijadikan alat kampanye humas Polri untuk gerakan antikorupsi.”
Awalnya saya juga mengira Coco fokus berkisah tentang perjuangan seorang bocah mengejar mimpinya sebagai musikus. Dengan konflik, impiannya tersebut ditentang keras oleh keluarga besar, baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal. Tapi sebelum lanjut membaca, saya peringatkan, ini adalah resensi spoiler!
Mengingatkan saya dengan premis Perahu Kertas dari sudut pandang Adipati Dolken, eh maksud saya, Keenan. Di film Perahu Kertas, Adipati kepengin jadi pelukis, tapi dilarang oleh ayahnya sampai ditampolin segala. Itulah penyebab kenapa Adipati gahar di film Posesif: trauma dianiaya orang tua di film sebelumnya.
Passion dan mimpi yang terbentur restu ortu memang menarik untuk digoreng sebagai benang merah cerita. Nyambung dengan generasi milenial yang punya mimpi-mimpi aneh; menjadi content creator, youtuber gaming, daily vlogger, pemain Instagram, pengrajin musical.ly, penjual follower, peternak akun, pengabdi adsense, you name it. Kids zaman now sudah siap dengan beragam profesi mutakhir yang muncul seiring perkembangan zaman.
Namun banyak dari orang tua yang membesarkan anak dengan mengandalkan gaji karyawan selama bertahun-tahun, belum percaya bagaimana caranya bisa dapat uang bulanan dari main medsos doang. Masa iya dapur bisa ngebul cuma pakai hashtag? Lebih masuk akal jadi PNS, pegawai BUMN atau sekalian pengacara macam Om Fredrich yang menjadi Pengabdi Setya N. Om Fredrich jelas kayanya. Sekali ke luar negeri spend 3M, 5M. Saking sukanya dengan kemewahan, bersin pun nggak keluar ingus, tapi keluar biaya.
Tersebutlah Miguel, seorang anak yang lahir di keluarga pembuat sepatu. Doi senang mendengar musik. Tapi tiap dia ketahuan pegang alat musik, neneknya bakal ngamuk sampai ngelempar sepatu. Alasannya, tak lain dan tak bukan adalah nenek buyut si Miguel pernah ditinggal pergi suami yang mengejar mimpi menjadi musikus dunia. Trauma masa lalu tersebut menurun dan mendarah daging, hingga akhirnya keluar fatwa: musik diharamkan di keluarga Riviera (dan Wahabi).
Kalau dikonversi menjadi cerita dalam negeri, kira-kira begini: Miguel ingin jadi stand up comedian kayak Pandji. Tapi tiap dia ketahuan pegang mic, ibunya bakal ngamuk sampai ngelempar sepatu. Tiap dia mengeluarkan bit-bit lucu, bukannya diketawain, malah diomelin oleh satu keluarga besar. Alasannya, ibunya pernah ditinggal pergi suami yang menyelenggarakan world tour tapi nggak pulang-pulang, beibeh.
Untuk kepentingan pesan moral dalam review, dimulai dari paragraf ini, saya ingin berbagi spoiler cerita dan twist film Coco. Saya sudah memperingatkan. Bagi yang ora kuat dengan spoiler, bisa ditinggal ngopi.
Miguel Riviera, bocah 12 tahun asal Meksiko, mengidolakan Ernesto de la Cruz, seorang musikus tersohor di negaranya. Miguel ingin sukses besar sebagai musisi macam sang idola. Keluarga Riviera menyimpan misteri tentang siapa kakek buyutnya. Sebab di foto keluarga, wajah sang kakek buyut dirobek. Suatu hari, Miguel mengamati foto keluarga tersebut. Gitar yang dipegang kakek buyut tanpa kepala di foto, sama dengan gambar gitar di poster-poster Ernesto de la Cruz yang terpajang di berbagai penjuru kota, macam baliho Cak Imin Cawapres 2019. Miguel langsung mengambil kesimpulan bahwa kakek buyutnya adalah Ernesto.
Padahal Ernesto tak lebih dari seorang pembunuh dan pencuri. Doi meracuni Hector, kakek buyut Miguel yang sebenarnya. Kemudian Ernesto mengambil buku yang berisi lagu-lagu ciptaan Hector, lalu mengakuinya sebagai lagu-lagunya. Tak lupa, gitar Hector juga diembatnya. Alhasil Ernesto terkenal karena karya orang lain. Sementara Hector meninggal sebelum berhasil mudik untuk menemui putrinya, Coco, yang tak lain dan tak bukan adalah buyut Miguel. Apa yang dilakukan Ernesto adalah bentuk manipulasi, cabang dari korupsi. Ernesto mendapatkan kekayaan dan kejayaan dari hasil pemikiran orang lain. Ernesto mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Jika hal di atas masih kurang relate dengan kehidupan sehari-hari, kita coba konversi sekali lagi:
Ketika world tour, seorang komika opener minta izin pulang kepada komika yang punya acara. Sang komika utama melarang, “wah, nggak bisa begitu dong, Bro! Kalau nggak ada lo, show kita nggak bakalan pecah. Paling retak doang.”
Tapi opener tetap ingin mudik karena kangen dengan anaknya. “Gue udah bikin banyak penonton ketawa. Tapi anak gue di rumah belum tentu bisa ketawa tanpa gue di sisinya.”
“Oke, oke. Gue ngerti perasaan lo.” Sang komika utama tersenyum licik sambil menggosok-gosok tangan, lalu bicara dalam hati, “lihat saja. Akan kuracuni minumanmu.”
Akhirnya, sang opener mati keracunan. Komika utama mengambil materi yang ditulis openernya untuk dibawakan sebagai bitnya sendiri. Penonton tertawa di atas kematian penulis materi yang sebenarnya.
Ernesto adalah contoh buruk dari seseorang yang kelewat ambisius mewujudkan mimpinya. Menghalalkan segala cara. Membunuh teman sendiri, lalu mengakui karya orang lain bukanlah ciri pemimpi sejati. Enteng saja Ernesto meraup kekayaan dengan membohongi rakyat yang mengidolakannya.
Sementara Hector meninggalkan keluarga yang membutuhkannya demi menjadi musisi dunia. Padahal harta yang paling berharga adalah keluarga. Ngapain meninggalkan harta yang paling berharga demi harta yang nggak berharga-berharga amat? Namun, ketika Hector menyadari apa tujuan hidup yang sebenarnya, Ernesto menghancurkan segalanya.
Pun, rahasia kesuksesan Ernesto bisa terungkap bukan dengan cara yang mudah. Miguel mesti menyeberang dari Negeri Orang Hidup menuju Negeri Orang Mati untuk menguak tabir misteri leluhurnya. Memang, kejahatan dalam suatu kebohongan akan terbongkar, cepat atau lambat. Namun, hal ini membuat kita bertanya, apakah memang harus ke akhirat dulu untuk tahu fakta sebenarnya dari kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang belum kelar-kelar sampai sekarang?
Ceilah.