MOJOK.CO – Agaknya, dunia akan terbelah lagi. Perseteruan klasik antara bubur ayam diaduk dan bubur ayam nggak diaduk akan dilanjutkan oleh “soto with kerupuk” dan “soto without kerupuk”.
Suatu kali, saya sedang menulis status Facebook tentang betapa mesranya Jogja dan buku. Jogja adalah kota buku. Kamu nggak akan berhasil menjadi warga Jogja yang sungguh-sungguh berhati nyaman tanpa bersayang-sayangan dengan buku.
Maka, dalam tulisan itu, saya membukanya dengan kalimat hasil perenungan spiritual yang amat mendalam.
“Jogja dan buku ibarat soto dan kerupuk: keduanya hanya akan sempurna jika hadir bersama.”
Kalimat pembuka itu saya sambung dengan gambaran lika-liku industri buku di Jogja, berikut duka derita dan cacat celanya.
Puas sekali saya dengan tulisan itu. Sungguh mengena, betapa paripurna.
Hingga kemudian, saat umat manusia mulai ramai melontarkan komen demi komen, muncullah segolongan kaum yang nggak terima dengan takdir kehidupan yang sudah digariskan.
“Heh! Sejak kapan soto dan kerupuk mesra-mesraan? Soto tuh sama tempe, Maaas!”
“Iyoik! Soto kok sama kerupuk lho! Bukannya soto tuh berkuah? Kalo kerupuknya nyemplung ke kuah, ya langsung lembek trus ancur tooo!”
“Lain kali kalo bikin analogi mbok yang mashoook to Mase! Nggak ada lainnya po? Soto kok dipaket sama kerupuk….”
Keruan saja saya terpukul mendengarnya. Bagaimana bisa rangorang itu tertutup nuraninya, merem mata batinnya, sehingga nggak tahu sama sekali bahwa soto dan kerupuk adalah kombinasi paling romantis dan filosofis di segala masa?
Soto dan kerupuk adalah paduan ultimate yang mencerminkan kebhinnekaan. Kombinasi antara basah dan garing, rangkaian antara mblenyek dan kriuk. Basah saja nggak greng, garing saja nggak nyumnyum. Keduanya harus dipadu-padankan, menjadi kelezatan yang menggabungkan dua sifat yang sungguh-sungguh berlainan.
Harap ingat, kombinasi seperti itu ada juga pada wafer yang memadu krim coklat dan biskuit garing, pada nasi pecel berbumbu encer dengan rempeyek kacang, dan lain-lain.
Maka, tak salah lagi, yang menolak mengakui soto dan kerupuk sebagai pasangan harmonis jelas-jelas hanya kaum yang menolak keberagaman! Kaum intoleran! Lawan! Hidup kebhinnekaan! Saya Indonesia Saya Pancasila! NKRI Harga Mati!
Sialnya, mau diberi penjelasan selugas apa pun, kaum radikal yang menolak kebahagiaan pasangan soto dan kerupuk itu tetap nggak akan sudi mengakui fakta gamblang ini. Mereka pura-pura tak tahu, bahwa di sudut-sudut warung soto, di dalam kaleng-kaleng berwarna biru atau ijo yang kalau dibuka kadang bagian dalamnya cap batre ABC itu, tersembunyi jodoh sejati yang sangat dinanti-nantikan oleh soto.
Mereka lebih suka mengambil apa yang terpajang telanjang dan tergapai tangan: tempe goreng, sate ati, atau perkedel. Nggak ada usaha sedikit pun untuk mempertemukan kemesraan dua karakter yang dipaksa-pisahkan oleh selembar cangkang plat kaleng.
Sungguh, itu karena orang-orang itu nggak paham hakikat sifat dasar manusia.
Sifat dasar manusia itu saya dengar langsung ketika pada suatu ketika di tahun 2009, di dalam pesawat cap singa terbang, saya duduk bersebelahan dengan Pak Yusuf Agency. Pak Yusuf adalah satu dari dua legenda buku obral di Jogja, yang konon sekarang lebih suka menjajah Pantura dan luar Jawa. Begini Pak Yusuf bersabda di hadapan saya.
“Saya sebenarnya kepingin berhenti jualan buku lho, Mas.”
Saya kaget. Tahun itu, saya malah baru memulai bisnis kecil-kecilan dalam bidang yang sama. Kenapa ini salah satu masternya malah mau pensiun??
Lantas Pak Yusuf bercerita tentang masa depan buku yang belum tentu akan berjalan seterusnya. Pada suatu masa, buku kertas pasti punah. Lain halnya dengan komoditas baru yang saat itu diincarnya.
“Saya malah kepingin jualan kerupuk je, Mas.”
“Wot? Dari buku pindah ke kerupuk? Kenapa kerupuk, Pak??”
“Kerupuk itu dagangan yang nggak akan ada matinya, Mas. Sampai kiamat. Selama orang masih makan soto, selama itu pula orang makan kerupuk.”
Jeng jeng jeeeng!
Sumpah, semacam itulah yang saya dengar dari Pak Yusuf. Itulah sifat dasar dan perilaku manusia yang paling hakiki: Selama orang masih makan soto, selama itu pula orang makan kerupuk! Camkan.
Makanya, saya benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa ada yang menyangkal sifat dasar manusia itu? Jadi mereka itu manusia apa bukan, sih? Terdengar sangat nggak manusiawi.
Atau, jangan-jangan mereka golongan manusia yang membatasi pergaulan hanya di dalam kepompong imajinasi diri mereka sendiri?
Jenis-jenis manusia kurang piknik ini pernah juga mengorbankan kombinasi mesra yang lain lagi. Ini kesaksian guru foto saya, Suhu Alvein. Ceritanya, di sebuah kelas D3 Fisipol UGM, ada tugas memotret makanan. Nah, saat semua hasil jepretan mahasiswa dikumpulkan dan diperiksa satu demi satu, Pak Dosen mengernyit.
“Hmmm… ini fotonya bagus. Tapi kok tidak logis, ya?”
“Tidak logis gimana, Pak?” tanya para mahasiswa.
“Ya kombinasinya nggak umum. Tidak wajar. Masak bubur kacang ijo kok dipadu dengan roti tawar? Apa hubungannya?”
Kontan saja seisi kelas geger. “Wooooo ya itu wajar Poaaaaak!! Masak Bapak nggak tahu kalau burjo itu pasangannya memang roti tawar?? Bapak nggak pernah sarapan di warung Putra Sunda siiiih!! Huuuu!!”
Kira-kira seperti itulah respons massa, meski tentu saja “huuu” mereka masih dalam batas-batas nilai Pancasila.
Pak Dosen njenggelek. Dia kaget sekali. Sepanjang hidupnya, belum pernah satu kali pun dia menjumpai fakta sosial konkret yang bernama kombinasi antara burjo dan roti tawar. Tapi ternyata jamaah di hadapannya bersaksi yang sebaliknya.
Nah, apakah kaum yang menolak pasangan soto dan kerupuk sesungguhnya sama belaka dengan Pak Dosen Fotografi? Apakah mereka jenis makhluk yang cuma sibuk dengan diri mereka sendiri, dan piknik-pikniknya kurang syar’i?
Atau, jangan-jangan mereka malah sama sekali nggak pernah makan soto? Lalu, sebenarnya mereka makan apa, ya? Hmmmm.