MOJOK.CO – Soal-soal di survei lingkungan belajar pada awalnya biasa saja. Satu pertanyaan, dua pertanyaan semua terasa normal, sampai kemudian….
Saya selalu berpikir bahwa kemampuan untuk berimajinasi adalah salah satu kriteria terpenting yang harus dimiliki oleh setiap petinggi negara.
Mulai dari orang-orang seperti Juliari atau opung El Bepe, saya melihat betapa esensialnya daya imajinasi untuk bisa tetap eksis dalam menjaga peran mereka masing-masing; Juliari sebagai koruptor, opung El Bepe sebagai menteri semua urusan, termasuk jadi mantri.
Saya jadinya berpikir bahwa ketimbang Tes Wawasan Kebangsaan, orang-orang yang ingin diangkat menjadi aparatur negara, PNS, atau petinggi di tampuk kepemerintahan seharusnya diuji kemampuannya dalam menulis cerita fiksi saja.
Hal ini penting karena menulis fiksi pada dasarnya adalah tata cara menyulap imajinasi menjadi kenyataan. Hal ini sangat selaras dengan seni mengatur negara; mengubah ketidakmungkinan menjadi kemungkinan, ketidaknyataan menjadi kenyataan.
Saya yakin mereka yang sudah berada di kursi kepengurusan negara sebenarnya adalah penulis-penulis fiksi andal. Alasan mereka lebih memilih untuk duduk manis mengurus negara yang sulit diurus sederhana: mereka ingin memberikan kesempatan kepada orang-orang seperti Eka Kurniawan atau Mahfud Ikhwan untuk eksis.
Andai saja mereka memilih untuk turun gunung, jelas Cantik Itu Luka tidak akan jadi setenar sekarang. Paling yang menggantikan adalah, misalnya, Bansos Itu Luka.
Kemampuan untuk berimajinasi ini adalah sesuatu yang ditularkan kepada siapa pun yang mengurus negara ini, di sektor apa pun. Salah satunya, pendidikan. Eits, salah besar kalau kalian berpikir bahwa sektor pendidikan terlepas dari saling berimajinasi ria ini.
Harta Pak Nadiem bisa saja menjadi salah satu yang tidak meningkat (bahkan menurun!) dalam survei kekayaan pejabat negara pasca pandemi ini. Tetapi siapa sih yang bilang ini soal harta? Sekali lagi, ini tentang imajinasi.
Hari ketika saya menulis ini, saya baru saja mengisi sebuah survei dari lembaga tertinggi dunia pendidikan Indonesia, Kemdikbudristek (kependekannya saja sudah kepanjangan, apalagi kepanjangannya ya?). Nama surveinya: survei lingkungan belajar.
Sejujurnya ini bukan kali pertama survei serupa dilayangkan, dan kami sebagai guru-guru yang baik dan rajin menabung (ya iyalah harus ditabung, gaji segitu-gitunya) tentu mengisi dan terus mengisi.
Sementara realisasi dari surveinya? Ya sabar dong, durian aja dibelah, bukan dibedong. Mengurus pendidikan satu negara kan, tidak mudah.
Dari namanya, “Survei Lingkungan Belajar”, kami jelas merasa bahwa ini tidak lebih dari sebuah jajak pendapat tentang kenyamanan di sekolah, fasilitas, dan lain sebagainya. Syukur-syukur jika dalam survei tersebut ditanya tentang hak-hak, tunjangan, dan lain sebagainya.
Tetapi ya kalau rakyat kecil berimajinasinya jangan kejauhan, iya nggak? Privilese untuk berimajinasi dan ngalor-ngidul, itu dimiliki oleh para petinggi negara. Kita yang kroco ini ya yang nyata-nyata saja.
Satu pertanyaan, dua pertanyaan… semua terasa normal. Total pertanyaan ada 60. Dimulai dengan menanyakan jenis kelamin, lalu tanggungan, lama masa jabatan, dan lain sebagainya, kami semakin meyakini ini adalah survei rutinitas.
Sampai pada akhirnya kami sampai di pertanyaan begini:
Dalam suatu acara terdapat rekan kerja guru yang menolak untuk melakukan sumpah jabatan karena di dalamnya terkandung pernyataan untuk setia kepada Pancasila dan UUD 45. Terhadap perilaku rekan kerja tersebut, saya… (GNAT08)
Saya dan seorang rekan guru bertukar pandangan. Karena kebetulan pengalaman mengajar saya di Indonesia baru genap setahun, saya tanyakan apakah hal dalam narasi survei itu pernah terjadi kepada seorang rekan guru yang lebih senior.
“Ya nggak lah, jelas. Memangnya ada orang yang sengaja mau memotong nafkah dan kepala sendiri?” ujar rekan tersebut sambil tertawa.
Saya juga bingung. Kira-kira orang anarko jenis apa yang rela-relanya jadi guru, di sebuah institusi pendidikan terdaftar, lalu ketika sumpah jabatan malah menolak dengan alasan tidak mau setia dengan Pancasila dan UUD 45?
Alhamdulillah, saya tidak terburu-buru untuk mengucapkan ejekan kepada Kemdikbudristek. Negara kita, sebagaimana yang kita tahu, sangat darurat nasionalisme dan patriotisme. Itu pulalah yang menjadi dasar pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang salah satu pengurusnya bukan main; anak founding father langsung, Bu Megawati.
Saking darurat nasionalismenya, Kemdikbudristek sampai harus beralih ke pertanyaan yang benar-benar imajinatif, dengan skenario yang dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat betul darurat nasionalismenya di mana.
Tidak cukup sampai di situ, pertanyaan-pertanyaan lain yang sangat rinci sekali bagaimana skenario dan narasinya bermunculan satu demi satu. Kita ambil saja contoh ini:
Salah seorang rekan guru mengeluh bahwa dirinya merasa diperlakukan berbeda oleh kepala sekolah mengenai masalah perijinan. Ia tidak diijinkan untuk mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan keimanan yang diselenggarakan oleh suatu institusi, sementara rekan guru lain yang memiliki agama yang berbeda darinya mendapatkan ijin untuk pelatihan. Pendapat Saya terhadap hal tersebut adalah… (GEQR05)
Sayangnya, saya kebetulan mengajar di sebuah Sekolah Islam Terpadu (SIT), yang memang sangat jarang sekali merekrut guru dengan keyakinan selain Islam. Eits, tetapi ini bukan artinya kami anti-toleransi. SIT sendiri memang sudah ada jaringannya, yaitu Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia.
Kira-kira SIT ini bisa dikatakan agak semi pesantren, jadi kalau ada yang mengatakan kami anti-toleransi karena tidak merekrut guru beda keyakinan, berarti mereka yang sebenarnya tidak bisa mentoleransi keberadaan SIT yang sah secara hukum.
Tetapi walau tidak bisa relate dengan narasi soal surveinya sekalipun, rasanya kita perlu mengapresiasi siapa pun yang mau dengan rinci dan teliti membuat skenario diskriminasi agama dalam pertanyaan tersebut.
Ini andai saja dijadikan soal PG dalam ujian Bahasa Indonesia, tinggal berikan pertanyaan: ide pokok dari narasi pertanyaan tersebut adalah… berikan beberapa pilihan yang tidak sesuai, lalu salah satu beri pilihan diskriminasi agama. Yakin saya, hampir semua murid bisa menjawabnya.
Lalu perhatikan juga soal di bawah ini:
Dalam sebuah kegiatan belajar di kelas, diadakan kegiatan menonton film bersama. Terdapat sebuah adegan di film tersebut yang memperlihatkan seseorang yang menginjak-injak bendera merah putih ketika sedang melakukan demonstrasi. Saya memberikan penjelasan kepada siswa-siswa di kelas bahwa … (GNAT05)
Lagi-lagi kita bisa mengapresiasi tentang betapa rinci dan jelasnya penerangan imajinasi dan skenario pelecehan terhadap simbol negara yang ingin diungkapkan dalam soal ini.
Seakan tersurat (iya, tersurat, bukan tersirat lagi) jelas bagaimana si pembuat survei sangat peduli dengan isu-isu kemerosotan nasionalisme, toleransi, dan cinta tanah air di kalangan masyarakat. Sehingga guru, sebagai garda depan pemberian ilmu kepada masyarakat, harus dipastikan bersih dari ide-ide negatif seperti itu.
Oleh karena itulah, dibuat skenario-skenario sedemikian rupa, setendensius mungkin, untuk menggiring suara guru dan melihat: mana yang radikal, dan mana yang pro-negara. Luar biasa.
Saran saya satu: survei yang seperti ini jangan dinamakan survei lingkungan belajar, lebih bagus kalau sekalian dinamai Tes Wawasan Kebangsaan atau Tes Wawasan Memahami Imajinasi Negara.
BACA JUGA Gibran, Gajah, dan Kulkas atau tulisan Kurnia Gusti Sawiji lainnya.